Floresa.co – Pekan lalu Floresa kembali mempublikasi satu artikel terkait proses sidang dugaan korupsi dalam pengadaan tanah untuk Terminal Kembur di Kabupaten Manggarai Timur.
Dalam pernyataan saat sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang pada Senin, 6 Februari 2023 – yang dimuat dalam artikel itu – , Aristo Moa, salah satu terdakwa mengklaim bahwa perannya sebagai Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan [PPTK] dalam pengadaan tanah terminal pada 2012 tidak terlepas dari perintah dan arahan atasannya.
Berbeda dengan dirinya, atasannya di Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi kala itu kini masih bebas, meski sempat diperiksa.
Fansialdus Jahang, yang saat itu sebagai kepala dinas, sekarang telah berpindah tugas ke Kabupaten Manggarai dan menjabat sebagai Sekretaris Daerah. Sementara Gaspar Nanggar, yang ketika itu sebagai Kepala Bidang Perhubungan Darat, sekarang menjadi Kepala Dinas Pembangunan Masyarakat dan Desa Kabupaten Manggarai Timur.
Sejak penetapan tersangka keduanya pada Oktober 2022, kasus ini memicu protes dan pertanyaan dari berbagai pihak.
Pangkalnya adalah selain karena Gregorius Jeramu, pemilik lahan terminal, yang justeru ditetapkan sebagai tersangka kendati ia menjual lahannya sendiri, juga terkait penetapan tersangka Aristo.
Menurut Kejaksaan, Gregorius menjadi tersangka karena menjual tanah seluas 7.000 meter persegi yang tidak memiliki sertifikat. Ia hanya hanya menggunakan Surat Pemberitahuan Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPT PBB) sebagai alas hak, sementara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, SPT PBB bukanlah alas hak atau bukti kepemilikan tanah.
Sementara Aristo menjadi tersangka karena tidak meneliti status hukum tanah itu sebelum membuat dokumen kesepakatan pembebasan lahan serta menetapkan harganya.
Tanah itu dibeli dengan harga Rp 420 juta atau setelah dipotong pajak menjadi Rp 402.245.455 dan tindakan mereka dinyatakan merugikan negara secara total atau senilai harga tanah itu.
Penetapan tersangka keduanya terjadi setelah Kejaksaan memilih mengutamakan masalah pengadaan tanah, daripada apa yang semula menjadi masalah utama, yaitu terminal yang tidak dimanfaatkan dan kini kondisinya rusak.
Padahal, negara telah menggelontorkan anggaran 3,6 miliar rupiah untuk pembangunannya. Artinya, dana itu tidak berguna apa-apa untuk publik, sia-sia.
Andai terminal itu dimaksimalkan, tampaknya tidak akan ada yang peduli soal status tanahnya dan bagaimana itu didapatkan, karena memang tidak ada yang mempersoalkan kepemilikannya.
Kritikan terhadap penetapan tersangka Gregorius juga berkaitan dengan fakta bahwa tanah yang dijualnya itu adalah tanah warisan dan status kepemilikannya, kendati belum bersertifikat, mendapat pengakuan secara adat sesuai hukum adat yang berlaku di tengah komunitas adatnya.
Ditambah lagi fakta bahwa lahan terminal itu sudah sah tercatat sebagai aset milik pemerintah setelah dibeli dari Gregorius. Tidak ada pula warga yang memprotes kepemilikannya, sejak masih jadi milik Gregorius dan kini milik pemerintah.
Namun, berbagai kritikan dan protes terhadap penanganan kasusn ini diabaikan.
Yang perlu ditunggu dari proses yang kini sedang berlangsung di pengadilan adalah apa alasan kuat yang membuat Gregorius, warga biasa, digiring ke pengadilan. Juga, mengapa Aristo dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab, dan bukan atasan dan staf-staf lainnya di dinas yang sama, dalam pengadaan tanah itu.
Selain itu adalah menanti proses hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab terhadap pembangunan terminal yang mubazir, yang membuat dana 3,6 miliar hanya terbuang percuma.
Kita berharap saja bahwa Kejaksaan sungguh-sungguh serius serta profesional dalam menangani kasus ini. Jangan sampai nasib kasus pembangunan terminal itu akan serupa dengan kasus-kasus lain sebelumnya.
Di Kabupaten Manggarai Timur, ada beberapa kasus yang ditangani aparat hukum yang ujungnya tidak jelas, mengambang bertahun-tahun. Salah satunya adalah pembangunan dermaga tambatan perahu di Pota, Kecamatan Sambi Rampas pada 2013. Dermaga itu hancur hanya beberapa bulan setelah diresmikan. Hingga sekarang, tidak jelas seperti apa ujung dari kasus yang juga menyeret nama Fansialdus Jahang itu.
Penegakan hukum perlu didukung, namun harus dengan proses dan cara yang benar. Jangan sampai ia malah dijadikan alat transaksi.
Hanya dengan cara itu, penegakan hukum masih bisa dipercaya sebagai alat untuk mencari keadilan bagi siapa pun, tidak tergantung pada apakah seseorang memiliki kuasa atau uang.
Laporan-laporan lain kami terkait kasus Terminal kembur bisa dicek di sini!