“Membentuk Masa Depan Hak Asasi: Kebebasan berekspresi sebagai pendorong untuk semua hak asasi manusia lainnya,” demikian tema Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini.
Tema ini dengan kuat menegaskan bahwa kebebasan berekspresi menjadi prasyarat utama untuk bisa menikmati dan melindungi semua hak asasi manusia lainnya.
Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei merupakan peringatan tahunan yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1993. Tahun ini merupakan peringatan ke-30 tahun sejak keputusan Majelis Umum PBB yang mencanangkan hari internasional untuk kebebasan pers.
Dalam nota konsep Hari Kebebasan Pers tahun ini, PBB menyatakan bahwa kini memang sedang terjadi kemajuan substansial “yang memungkinkan kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di seluruh dunia.”
Salah satunya adalah dengan munculnya berbagai media independen di banyak negara dan munculnya teknologi digital yang memungkinkan aliran informasi online secara bebas.
Namun, kebebasan media, keamanan jurnalis, dan kebebasan berekspresi semakin diserang, yang berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia lainnya.
PBB menyebut, komunitas internasional menghadapi banyak krisis; konflik dan kekerasan, ketidaksetaraan sosial ekonomi yang terus-menerus mendorong migrasi, krisis lingkungan, masalah kesehatan dan kesejahteraan, sementara disinformasi dan misinformasi berkembang biak dengan dampak serius pada institusi yang menopang demokrasi, aturan hukum dan hak asasi manusia.
Di sisi lain, wacana politik dan sosial terpolarisasi; terjadi erosi kepercayaan; pengenaan keadaan darurat dan penutupan akses internet; intimidasi terhadap suara kritis dan media independen; kolapsnya model bisnis media tradisional; dan pengabaian standar internasional dalam menangani masalah ujaran kebencian dan bahaya online, menimbulkan ancaman baru terhadap kebebasan berekspresi, dan peran fundamental hak asasi manusia.
Dalam konteks melawan situasi dan ancaman kritis ini, demikian menurut PBB, “kebebasan pers, keamanan jurnalis, dan terjaminnya akses terhadap informasi menjadi perhatian utama.”
Penegasan-penegasan dalam catatan ini merupakan cerminan otentik dari realitas yang mencengkeram Indonesia hari-hari ini.
Kalau di masa lalu rezim secara sistematis menargetkan orang yang berani menentang atau mengkritik kebijakan dan kebohongan mereka, dengan jaminan impunitas bagi yang melakukannya, kini ancamannya sebetulnya tidak kalah serius, meski dalam model yang berbeda.
Berbagai elemen sipil telah terus-menerus memperingati berbagai bahaya yang mengintai dan mengancam kebebasan sipil, termasuk pers.
Salah satu contohnya adalah pengesahan Undang-Undang terkait Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Desember 2022 dengan pasal-pasal kontroversial yang membatasi secara berlebihan hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul secara damai dan hak atas privasi dan otonomi seksual.
Di sisi lain, terjadi peningkatan yang mengkhawatirkan dalam hal kekerasan terhadap pekerja media. Laporan Aliansi Jurnalis Independen [AJI] menyebutkan bahwa pada tahun 2022, kasus serangan mencapai 61, meningkat dari 43 kasus pada tahun 2021. Pelaku didominasi oleh aktor negara, dalam 24 kasus. Polisi tertinggi dengan 15 kasus, 7 kasus oleh aparat pemerintah, dan 2 kasus oleh TNI.
Di sisi lain, AJI juga mencatat serangan-serangan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk, baik melalui regulasi, kekerasan fisik, verbal, dan digital, yang berhubungan erat dengan melemahnya demokrasi dan meningkatnya otoritarianisme pemerintah.
Menurut laporan laporan Amnesty Internasional, antara 2019 hingga Mei 2022, terjadi 328 kasus serangan fisik dan digital, dengan 834 korban dari unsur pembela HAM, aktivis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran.
Bagaimana untuk konteks di Flores dan NTT?
Peristiwa seperti di atas sudah terjadi. Salah satunya adalah kekerasan dengan pemukulan, penangkapan dan penahanan para pelaku pariwisata yang melakukan aksi unjuk rasa di Labuan Bajo pada Agustus 2022, menentang kebijakan kontroversial pemerintah menaikkan tiket secara drastis ke Taman Nasional Komodo.
Dalam beberapa kasus lainnya, terjadi pengerahan sistematis aparat dalam mengamankan berbagai proyek investasi yang mendapat resistensi dari warga lokal. Misalnya dalam kasus penangkapan warga Komunitas Racang Buka yang menghadang penggusuran jalan menuju wilayah 400 hektar di Hutan Bowosie, Labuan Bajo yang hendak dijadikan sebagai kawasan bisnis pariwisata.
Kasus intimidasi dan penangkapan warga adat Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan karena konflik lahan dengan Pemerintah Provinsi NTT menjadi contoh lain praktek penggunaan kekuasaan untuk melemahkan warga.
Perihal intimidasi terhadap para jurnalis juga terjadi.
Yang terbaru adalah ancaman Kapolres Nagekeo, AKBP Yudha Pranata terhadap Patrisius Meo Djawa, jurnalis Tribunflores.com karena dianggap sering menulis yang sesuai dengan rilis resmi polisi. Padahal, jurnalis memang sudah seharusnya memverifikasi informasi yang diperoleh, termasuk dari polisi.
Kasus di Nagekeo itu hanya terjadi sebulan setelah sebelumnya beberapa jurnalis Floresa juga mendapat intimidasi dari aparat keamanan setelah menulis laporan tentang pengabaian hak warga di Kabupaten Manggarai Barat mendapat ganti rugi dari penggusuran lahan dan rumah mereka untuk proyek jalan yang telah diresmikan Presiden Joko Widodo.
Ini bukan pertama kali ancaman seperti ini terjadi. Pada tahun lalu, seorang jurnalis Floresa juga mendapat kekerasan kala meliput warga yang hendak berunjuk rasa ketika presiden berkunjung ke Labuan Bajo. Kamera direbut paksa dan baru dikembalikan setelah foto-foto dan video di dalamnya dihapus.
Tema hari kebebasan pers tahun ini menjadi pengingat sebetulnya bahwa ketika kebebasan berekspresi dan kebebasan pers ditekan, maka hak-hak asasi lainnya, terutama dari mereka yang miskin dan rentan, yang dikucilkan dan dieksploitasi, minoritas dan kelompok terpinggirkan lainnya tidak hanya diingkari, diinjak-injak, tetapi juga dilanggar secara terang-terangan.
Tema ini sekaligus menjadi sebuah ajakan bagi semua pihak untuk memusatkan kembali perhatian pada perjuangan mendorong kebebasan pers, serta media yang independen, kritis, inklusif, sebagai kunci yang diperlukan untuk menikmati semua hak asasi manusia lainnya.
Sebagaimana yang dikutip PBB, Joseph Stiglitz, penerima Hadiah Nobel Ilmu Ekonomi tahun 2001, menjelaskan jaminan terhadap kebebasan berekspresi dan kebebasan pers “tidak hanya mengurangi kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah; tetapi juga meningkatkan kemungkinan akan terpenuhinya kebutuhan sosial dasar masyarakat.
Sebaliknya, menutup-nutupi informasi melemahkan kemampuan warga untuk berpartisipasi secara bermakna dalam sebuah masyarakat yang demokrasi. “Pada dasarnya, partisipasi yang bermakna dalam proses demokrasi membutuhkan peserta yang terinformasi,” kata Stiglitz.
Apakah Indonesia, sebagai sebuah bangsa, juga warga negaranya memiliki komitmen untuk bergandengan tangan membentuk masa depan hak-hak, di mana kebebasan berekspresi menjadi penggerak semua hak asasi manusia lainnya?