AJI: Aparat Negara Pelaku Utama Kekerasan terhadap Jurnalis, Desak Reformasi Polri

Dalam laporan tahunannnya, AJI mencatat 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun 2022, meningkat dari 41 kasus pada tahun sebelumnya. Pelaku didominasi aparat negara, terutama polisi

Floresa.co – Aliansi Jurnalis Independen [AJI] mendesak pemerintah untuk meningkatkan perlindungan terhadap jurnalis, menyusul temuan terkait aparat negara yang menjadi pelaku utama kekerasan terhadap jurnalis.

Mereka juga mendesak melakukan reformasi di tubuh kepolisian atau Polri karena selama lima tahun terakhir pelaku didominasi dari lembaga tersebut.

Hal itu disampaikan dalam Catatan Tahunan AJI bertajuk “Serangan Meningkat, Otoritarianisme Menguat; Laporan Situasi Keamanan Jurnalis Indonesia 2022”, yang dipresentasikan secara daring melalui platform Zoom dan Youtube pada Senin, 16 Januari 2023.

Catatan tahunan tersebut, yang merangkum situasi jurnalis di Indonesia sepanjang tahun 2022, mengungkapkan kasus serangan terhadap jurnalisme mencapai 61 kasus dengan 97 korban dari jurnalis, pekerja media dan 14 organisasi media.

“Jumlah kasus ini meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai 43 kasus,” tulis AJI.

Serangan selama tahun lalu terbanyak terjadi pada bulan November yakni 9 kasus dan paling sedikit pada bulan Januari dan Mei, masing-masing 2 kasus.

Pelaku kekerasan didominasi oleh aktor negara, yaitu 24 kasus. Rinciannya 15 kasus oleh polisi, 7 kasus oleh aparat pemerintah, dan 2 kasus oleh TNI.

Sedangkan aktor non-negara menjadi pelaku dalam 20 kasus, yang 4 kasus oleh organisasi masyarakat, 1 kasus oleh partai politik, 6 kasus oleh perusahaan, dan 9 kasus oleh warga.

Sisanya, 17 kasus belum teridentifikasi pelakunya.

Pelbagai kekerasan tersebut, demikian AJI, menunjukkan bahwa perlindungan negara terhadap jurnalis dan kerja jurnalistik masih lemah.

“[Padahal] keamanan jurnalis menjadi penentu kemerdekaan pers di sebuah negara,” kata Sasmito Madrim, Ketua Umum AJI.

Sasmito mengatakan, lemahnya perlindungan negara tampak dalam banyaknya kasus yang melibatkan aparat negara sebagai pelaku utama, meski sudah terdapat beberapa payung hukum terkait perlindungan jurnalis.

Payung hukum tersebut adalah Pasal 19 ayat 2 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Resolusi UN Plan of Action on the Safety of Journalists and the Issue of Impunity, Pasal 28 F UUD 1945, dan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Selain itu, keamanan jurnalis juga menjadi salah satu indikator dalam “Tujuan 16 dari Pembangunan Berkelanjutan”, yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

AJI mencatat, bahkan saat ini terdapat beberapa regulasi yang mengancam keamanan jurnalis, antara lain UU No. 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, UU No. 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, Peraturan Menteri Kominfo No. 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Privat, UU No. 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta UU Cipta Kerja dan Perppu Cipta Kerja yang baru disahkan Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022.

Dalam hal jenis serangan, AJI mencatat serangan digital sebanyak 15 kasus, kekerasan fisik dan perusakan alat kerja sebanyak 20 kasus, dan kekerasan verbal sebanyak 10 kasus.

Jenis lainnya, yakni kekerasan berbasis gender berjumlah 3 kasus, penangkapan dan pelaporan pidana 5 kasus, dan penyensoran sebanyak 8 kasus.

AJI mencontohan serangan peristiwa peretasan alat kerja 37 pekerja media dan DDoS Attack pada situs berita Narasi.id pada 24 hingga 29 September 2022.

Kasus lainnya dalam hal serangan melalui mekanisme regulasi adalah masih digunakannya pasal defamasi atau pencemaran nama baik dalam UU ITE untuk menjerat jurnalis. Hal ini dialami oleh Muhammad Irvan, jurnalis Timurterkini.com yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Sulawesi Tenggara pada 9 Mei 2022 dan divonis bersalah.

Serangan lainnya adalah gugatan perdata terhadap enam perusahaan media di Makassar, yaitu Antara News, Terkini News, Celebes News, MakassarToday dan Kabar Makassar dan Radio Republik Indonesia, meski media-media tersebut kemudian menang.

Reformasi Polri

Menurut Sasmito, hal penting dalam desakan untuk perlindungan terhadap jurnalis oleh negara adalah reformasi Polri, sebab pelaku kekerasan dalam lima tahun terakhir sejak 2018 hingga 2022 didominasi oleh anggota lembaga tersebut.

“Artinya ini memang harus ada upaya perubahan mendasar atau reformasi yang dilakukan di tubuh Polri,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti sikap anggota Polri yang tidak profesional yang tetap memproses tuduhan pelanggaran jurnalistik, meski Dewan Pers sudah menyatakan karya tersebut sebagai karya jurnalistik.

“Sementara ketika kita melapor kasus kekerasan, mereka bahkan tidak memiliki prosedur yang tepat,” ungkapnya.

“Kalau ada jurnalis yang dianiaya, yang mengalami pemukulan, yang diretas, itu melapornya ke mana? Kita kerap dilempar-lempar di kepolisian, jadi sangat tidak profesional,” tambahnya.

Ia menambahkan, budaya kekerasan masih melekat di tubuh Polri hingga hari ini, meskipun sejak reformasi 1998 Polri dipisahkan dari TNI agar unsur militeristiknya hilang.

“Bahkan seragamnya militer, senjatanya sudah melebihi senjata untuk berperang.”

Senada dengan itu Ika Ningtyas, Sekretaris Jenderal AJI mengungkapkan bahwa serangan-serangan terhadap jurnalis dalam berbagai bentuk, baik melalui regulasi, kekerasan fisik, verbal, dan digital berhubungan dengan melemahnya demokrasi dan meningkatnya otoritarianisme pemerintah di Indonesia.

“Ini [ketidakprofesionalan polisi] adalah pembiaran atas kekerasan yang menimpa masyarakat sipil, tidak hanya jurnalis tetapi juga kasus kekerasan [lain] yang melibatkan aparat kepolisian dan state actor [aktor negara],” ungkapnya.

“[Kasus-kasus tersebut] berakhir dengan impunitas karena penegakan hukum yang lemah dan juga karena pelaku kekerasan dibiarkan bebas,” tambahnya.

Ika juga menyebut laporan Amnesty Internasional yang mengungkap 328 kasus serangan fisik dan digital, dengan 834 korban dari pembela HAM, aktivis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran selama 2019 hingga Mei 2022.

“Ini membuat masyarakat merasa takut untuk mengekspresikan dirinya, baik secara online maupun offline,” ungkapnya.

Berhadapan dengan tantangan otoritarianisme yang mengekang warga tersebut, demikian Ika, dibutuhkan solidaritas bersama aktivis dan jurnalis untuk saling mendukung.

Ia menambahkan, peran Dewan Pers juga penting untuk membuat mekanisme perlindungan nasional terhadap jurnalis profesional, jurnalis warga, dan pers mahasiswa.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini