Floresa.co – Gubernur NTT Frans Lebu Raya tampaknya tidak akan mengubah keputusan menyerahkan Pantai Pede di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat kepada PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM).
Upaya penolakan dan suara protes yang nyaring disampaikan masyarakat tidak membuat Lebu Raya berubah sikap.
Ketegaran hati Lebu Raya terungkap misalnya dalam pernyataan bahwa sekalipun Bupati Agustinus Ch Dulla tidak menerbitkan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk pembanguan hotel oleh PT SIM, maka Lebu Raya sendiri yang akan mengeluarkan surat itu.
Pernyataan ini patut diduga cerminan watak Lebu Raya yang memang arogan. Ia dengan tanpa beban mempertontonkan gelagat otoriter kepada masyarakat Mabar.
Sudah jelas bahwa ia melukai hati masyarakat. Padahal, sebagaimana terungkap dalam acara sosialisasi pada 17 Januari 2015 lalu, argumentasi penolakan warga lebih rasional dan tampak lebih cerdas dibanding argumentasi utusan Pemprov NTT. Kala itu utusan Pemprov dibuat tidak berkutik di Labuan Bajo.
Warga pun mampu membuat konsep pembangunan di Pantai Pede yang lebih mantap, bila dibandingkan dengan bawahan Lebu Raya yang hanya menyandarkan diri pada satu-satunya argumentasi: demi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Argumentasi terkait PAD itu juga sejatinya bermasalah, karena, dengan jangka penguasaan 25 tahun oleh PT SIM, Pemprov NTT hanya akan mendapat dana sekitar Rp 3,125 miliar.
Bukankah uang dengan jumlah itu sangat sedikit? Lalu, apakah bisa dijamin bahwa semuanya akan masuk ke kas daerah secara utuh?
Tentu publik layak sangsi. Pejabat di NTT sudah dikenal di level nasional sebagai pejabat yang hobi korupsi, meski yang bisa diproses hukum bisa dihitung dengan jari, karena masih amburadulnya penegakan hukum.
Kita bisa belajar misalnya dari kasus yang masih hangat di Kabupaten Nagekeo, di mana mantan Bupati Yohanes Samping Aoh, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembebasan lahan milik pemerintah.
Modusnya mirip seperti kasus Pantai Pede, dimana ada kerja sama dengan pihak ketiga untuk mengelolah lahan pemerintah. Namun dana kerja sama itu tidak pernah dimasukan ke kas daerah.
Soal sosialisasi 17 Januari itu, kalau memang suara masyarakat sama sekali tidak didengar, maka publik patut bertanya, untuk apa datang ke Labuan Bajo yang pasti menghabiskan uang negara untuk biaya perjalanan, kalau kemudian sosialisasi itu hanya sekedar demi memenuhi prosedur, dan bukan demi tujuan yang substantif: mendengar dengan hati aspirasi warga?
Sudah ditegaskan berulang kali, bahwa bagi masyarakat Mabar, uang tidak lebih penting dari nilai lain Pantai Pede untuk kehidupan mereka. Bagi mereka, Pantai Pede menyimpan nilai sosial budaya yang tidak bisa disandingkan begitu saja dengan nilai rupiah.
Alasan inilah yang dilupakan, tidak mampu ditangkap oleh kemampuan daya pikir Lebu Raya. Dengan kata lain, jika Lebu Raya memiliki kepekaan sosial budaya, tentu dia dengan mudah memahami mengapa masyarakat Mabar lantang menolak pembangunan hotel ini.
Namun, kekukuhan sikap Lebu Raya sudah mengamini bahwa dirinya memang tidak memiliki kepekaan itu. Bahkan, sikap ini semacam mengonfirmasi komentar lepas masyarakat Mabar, bahwa hati Lebu Raya tetap degil karena memang dia bukan orang Labuan Bajo.
Lebu Raya jangan mempersalahkan masyarakat Mabar jika mereka menyatakan “perang terbuka” kepada Pemprov NTT dan PT SIM. Ini bukan gertakan sambal. Sejarah masyarakat Manggarai sudah membuktikan, demi tanah, orang berani mempertaruhkan nyawa.
Tentu hal seperti ini tidak diharapkan dan bukan penyelesaian yang bijak jika Lebu Raya sebagai pemimpin mampu berpikir seperti masyarakat Mabar, bukan malah bersikap arogan dan mau menghamba pada kepentingan segelintir orang.
Idealnya pemimpin itu lebih arif dari mereka yang dipimpin. Tapi dalam kasus NTT, rumusan itu tampak tidak bersahabat dengan fakta yang terjadi.