Floresa.co – Di Flores dan Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya, seminari, sekolah calon imam Katolik dikenal secara umum sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas.
Sudah menjadi pengetahuan umum (common sense) di benak banyak orang bahwa orang-orang yang pernah sekolah di seminari memililiki kualitas berbeda dengan yang mengenyam pendidikan di sekolah non seminari.
Anggapan demikian setidaknya dilandasi dua hal. Pertama, mereka yang masuk seminari diseleksi secara ketat. Untuk yang masuk SMP diseleksi dari lulusan SD. Dan yang masuk SMA dari lulusan SMP. Mereka yang ikut tes itu biasanya yang berprestasi. Lantas, orang menyebut yang masuk seminari adalah orang-orang memang sudah pintar. Seminari hanya mem-format mereka untuk menjadi lebih pintar.
Kedua, seminari memiliki aturan ketat soal belajar. Bisa dikatakan bahwa waktu untuk belajar di luar jam sekolah berkisar antara 3-5 jam sehari, hal yang tentu berbeda dengan mayoritas sekolah lain yang tidak memiliki waktu wajib belajar.
Dua alasan ini cukup untuk membenarkan common sense itu. Apalagi, lulusan seminari banyak yang kemudian jadi ‘orang hebat’. Sejumlah nama beken asal NTT yang berkiprah di level nasional, mayoritas lulusan seminari. Dan, yang jadi pastor, sangat banyak yang hebat-hebat.
Bagi seminari, dua hal di atas juga kenyataan sejarah bahwa lulusannya menjadi orang-orang hebat menjadi imperatif moral untuk berjuang agar predikat sebagai sekolah berkualitas tetap terjaga.
Bicara soal kualitas, salah satunya bisa dilihat dari tingkat dan peringkat lulusan, yakni ujian akhir, yang beberapa tahun belakang sudah populer dengan sebutan Ujian Nasional (UN).
Jika menyimak hasil UN tahun ini, tampaknya anggapan soal kualitas tinggi seminari sedang dipertanyakan.
Pasalnya, data dari Dinas Pendidikan Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (PPO) NTT, hanya Seminari Pius XII Kisol yang bertengger di posisi puncak dalam hal peringkat lulusan di level provinsi.
Seminari yang terletak di Kabupaten Manggarai Timur itu memonopoli juara untuk jurusan IPA dan IPS. Dan dua siswanya pun menjadi juara 1 untuk kedua jurusan itu. Di Seminari Kisol memang hanya ada dua jurusan.
Sementara seminari-seminari lain, nyaris tidak mendapat tempat, kecuali Seminari Mataloko-Ngada yang meraih peringkat kelima untuk jurusan IPS dan Seminari San Dominggo Hokeng yang menempati posisi keempat untuk jurusan bahasa.
Seminari-seminari lain, tampak tak bisa menandingi sejumlah sekolah negeri dan sekolah swasta.
Untuk jurusan IPA misalnya, posisi kedua sampai kelima ditempati SMA Kristen Mercusuar Kupang, SMA Negeri Lobalain Rote, SMA Negeri I Kuwus Manggarai Barat dan SMA Negeri I Rote Tengah.
Sementara untuk jurusan IPS, yang menempati posisi kedua sampai keempat antara lain SMA Negeri Ndoso Manggarai Barat, SMA Negeri II Cibal Manggarai dan SMAK St Trinitas Manggarai Barat.
Pertanyaannya, ada apa dengan seminari-seminari lain?
Ini tentu mesti dianggap sebagai persoalan yang perlu dipikirkan sama-sama oleh semua seminari. Bisa jadi faktor pemicunya banyak, namun menyimak hasil UN itu, tampak ada tendensi penurunan kualitas.
Seminari Kisol, meski selalu menjadi yang teratas di NTT, pernah kecolongan pada tahun 2010 dimana kala itu, ada dua siswanya yang tidak lulus – sebuah pil pahit karena menjadi peristiwa pertama dalam sejarah sekolah itu yang tahun ini menginjak usia 60 tahun.
Memang menjadikan UN sebagai parameter untuk mengukur kualitas sekolah bisa diperdebatkan. Namun, sebagaimana menurut Kementerian Pendidikan, integritas proses dan hasil UN di NTT menjadi salah satu yang terbaik saat ini, karena menempati posisi ketujuh dari 34 provinsi di Indonesia.
Di luar itu, proficiat untuk sejumlah sekolah non seminari yang meraih prestasi tahun ini.
Selamat untuk para siswa yang tentu berjuang keras, juga para guru, pahlawan-pahlawan berjasa yang tentu juga berjuang sama kerasnya dengan para siswa. Sekali lagi, proficiat. (Ari D/ARL/Floresa)