BerandaREPORTASEMENDALAMMengada-ada, Kata Kelompok Sipil...

Mengada-ada, Kata Kelompok Sipil Soal Tudingan Penghasutan Terhadap Warga yang Berniat Demo di ASEAN Summit

Polisi seharusnya menjamin hak warga untuk menyampaikan aspirasi

Floresa.co – Kelompok masyarakat sipil menyebut langkah polisi yang menuding warga melakukan penghasutan karena akan menggelar unjuk rasa saat ASEAN Summit di Labuan Bajo, NTT adalah mengada-ada dan menunjukkan kegagalan polisi menjamin pemenuhan hak asasi manusia, terutama kebebasan berpendapat.

Ini sebuah potret yang menunjukkan “para penegak hukum kita terlihat sedang kehilangan akal sehat,” kata Muhammad Jamil dari Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang [Jatam].

Ia mengatakan, seharusnya citra Polri diperbaiki dengan berbagai macam peristiwa yang telah mencoreng institusi itu, seperti dalam drama kasus pembunuhan berencana oleh Ferdy Sambo, petinggi polisi yang terjerat kasus narkoba seperti Teddy Minahasa, maupun polisi yang terlibat masalah tambang ilegal.

“Tapi justeru di NTT, [yang terjadi] sebaliknya. Citra dan marwah Polri kembali dihinakan oleh tindakan aparat penegak hukum. Ini catatan penting bagi Kapolri [Listyo Sigit Prabowo] untuk mengambil tindakan tegas,” katanya.

Jamil yang berbicara dalam konferensi pers bersama elemen sipil lainnya pada Senin, 8 Mei merespons kasus empat warga di Labuan Bajo yang dituding Polres Manggarai Barat melakukan penghasutan karena berencana menggelar aksi unjuk rasa pada Selasa, 9 Mei, hari pertama ASEAN Summit.

Dominikus Safio Bion dan Viktor Frumentius, warga Kampung Cumbi, Desa Warloka mendapat surat dari polisi pada Sabtu malam, 6 Mei, sementara Doni Parera dan Ladis Jeharun, dua aktivis yang hendak membantu warga berunjuk rasa mendapat surat panggilan pada Minggu pagi, 7 Mei.

Dalam surat itu rumusannya sama bahwa polisi “sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana ‘penghasutan’ yang akan terjadi pada tanggal 9 Mei 2023 di jalan raya yang akan dilintasi oleh peserta rombongan ASEAN Summit.”

Polres Manggarai Barat tidak menjawab pertanyaan Floresa terkait bentuk hasutan yang mereka lakukan. Bripka Suharman Nasrulah, salah satu polisi yang ditugaskan memeriksa mereka mengarahkan untuk menghubungi Kasat Reskrim, AKP Ridwan. Ridwan juga tidak menjawab, hanya mengatakan bahwa “Saya sedang di luar.”

Jamil mengatakan tudingan penghasutan itu tampak sebagai “imajinasi penegak hukum saja,” dan “mungkin sedang berhalusinasi.”

“Kita patut curiga soal itu,” katanya, “bagaimana mungkin suatu tindak pidana [yang] belum terjadi telah dilaporkan?”

Ia menyebut, langkah polisi ini menjadi potret upaya “sengaja menghilangkan hak warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum.”

Padahal, jelasnya, hal ini dijamin oleh konstitusi, berikut aturan turunannya dan seharusnya negara hadir untuk menghormatinya, “bukan justeru menghalang-halangi.”

Satrio Kusma Manggara dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] menambahkan, pidana penghasutan sesuai Pasal 160 KUHP adalah “tindakan pidana materil, yang artinya harus ada akibatnya dahulu baru diproses.”

“Akibatnya apa? Kalau dicerna dari pasal itu, sebetulnya harusnya timbul kekacauan dahulu, baru boleh diproses pidana,” katanya.

Ia mengatakan, hal itu berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009.

Namun, ia mengatakan, jangan-jangan persoalannya bukan pada teknis semata, yaitu kekeliruan memahami undang-undang, tetapi pada paradigma bahwa “segala bentuk penyampaian pendapat menodai bangsa ini” di mata dunia internasional.

Ia menjelaskan, polisi terkesan mencari-cari pasal yang bisa dipakai untuk menjerat warga.

“Kemunduran demokrasi menjadi titik yang semakin jelas dengan penambahan peristiwa yang terjadi di NTT hari ini,” katanya.

Padahal, kata dia, kewajiban polisi adalah memberikan “jaminan keselamatan bagi siapapun untuk menunaikan haknya menyatakan pendapat di muka umum.”

Kritik Kapolda NTT

Diklaim demi memberi kenyamanan bagi delegasi dari 11 negara peserta pertemuan ini, Polda NTT memang telah menyampaikan secara resmi imbauan kepada masyarakat agar “menahan diri menyampaikan masalah” sampai ASEAN Summit selesai.

“Nanti setelah ASEAN Summit, silakan menyampaikan secara langsung, tatap muka, unjuk rasa. Sehingga tidak mengganggu ketertiban, kelancaran, dan keamanan ASEAN Summit,” kata Kapolda Johni Asadoma dalam konferensi pers pada 27 April 2023

Edy Kurniawan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI] yang juga berbicara dalam konferensi pers pada 8 Mei mengkritik pernyataan tersebut.

“Kapolda NTT harus belajar ulang, harus kuliah ulang tentang hukum dan hak asasi manusia,” katanya.

Ia menegaskan, hak untuk menyampaikan pendapat adalah manifestasi dari kemerdekaan pikiran warga negara yang “dijamin oleh konstitusi, bukan hanya di level undang-undang.”

“Kalau dijamin konstitusi, maka tugas penegak hukum adalah menjamin agar hak itu dapat dinikmati dengan baik [dan] dengan layak oleh warga negara,” katanya.

Tugas aparat, kata dia, untuk melindungi warga negara, bukan malah membatasinya dengan alasan yang tidak berdasar secara hukum.

Ia juga menyebut pernyataan Kapolda NTT masuk kategori pelanggaran hak asasi manusia karena “membatasi atau menghalang-halangi penikmatan hak asasi manusia yang seharusnya dilindungi oleh negara.”

Ia khawatir bahwa pernyataan seperti itu memicu kekerasan aparat, “tindakan-tindakan brutal yang lain, dan tentu bisa memicu kriminalisasi terhadap warga negara.”

Menuntut Ganti Rugi

Warga di Cumbi dan kampung tetangganya Nalis dan Kenari terus memperjuangkan ganti rugi untuk jalan dan kebun mereka yang digusur untuk jalan dari Labuan Bajo menuju Golo Mori.

Jalan sepanjang 25 kilometer yang telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 14 Maret 2023 itu akan dilalui oleh sebagian delegasi ASEAN Summit. 

Golo Mori merupakan salah satu titik penyelenggaraan pertemuan yang berlangsung pada 9-11 Mei itu.

Menurut data Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation–Societas Verbi Divini (JPIC-SVD), lembaga advokasi Gereja Katolik yang selama ini ikut membantu warga terdampak proyek jalan itu, setidaknya 51 keluarga yang mayoritas petani dan guru honorer masih terus memperjuangkan haknya menuntut ganti rugi.

Jumlah aset warga yang menjadi korban penggusuran antara lain dua rumah permanen dua lantai, lima rumah permanen, 16 rumah semi permanen, 14.050 meter persegi pekarangan, 1.790 meter persegi sawah, dan 1.080 meter persegi ladang.

Warga telah melakukan berbagai cara untuk mendesak pemerintah memenuhi hak mereka mendapat ganti rugi, namun gagal. Karena itu, mereka ngotot akan menggelar aksi unjuk rasa saat ASEAN Summit.

Surat panggilan polisi terhadap empat warga  muncul setelah mereka mengaku didekati oleh berbagai pihak, termasuk intel polisi, meminta membatalkan rencana aksi itu.

Floresa belum mendapati informasi terkini terkait apakah aksi itu akan tetap dijalankan, mengingat Doni dan Ladis dijadwalkan diperiksa pada Selasa esok, pukul 09.00 Wita, hari mereka rencananya menjalankan aksi.

Menyembunyikan Borok

Jamil dari Jatam mengaitkan langkah polisi menekan warga berhubungan dengan upaya menyembunyikan berbagai masalah di Labuan Bajo dan NTT yang sedang jadi sasaran berbagai proyek yang meminggirkan warga lokal.

NTT, kata dia, “sedang digempur oleh model investasi ekstraktif yang gila-gilaan” yang mengancam hak masyarakat kecil.

“Borok jenis itu yang sedang ditutup-tutupi atas perintah pengurus negara,” katanya.

Alih-alih mengekang warga, kata dia, Indonesia seharusnya menggunakan ASEAN Summit untuk menunjukkan kepada dunia luar “bahwa demokrasi Indonesia tidak sedang bermasalah.”

“Kalau yang dilakukan sebaliknya, [itu berarti] sangat jelas dan terang dengan sendirinya mencoreng harkat martabat bangsa di depan petinggi ASEAN,” katanya.

Ia mengatakan, “para pengurus negara kita dan penegak hukum sedang menciptakan salon untuk diri mereka sendiri, tampil keren dan gagah di depan petinggi ASEAN,” namun sebetulnya di dalamnya ada borok.

Satrio dari Walhi mengatakan, penting diingat bahwa dari sejarahnya, pembentukan ASEAN itu salah satunya untuk memajukan hak asasi manusia.

“Justru berkebalikan dengan peristiwa hari ini,” katanya, “ketika terjadi pertemuan-pertemuan internasional yang seolah-olah menjauh dari rakyat.”

Edy dari YLBHI mengatakan, “idealnya ASEAN Summit bukan hanya sebagai forum kongko-kongko para kepala negara dengan mitra mereka atau korporasi,” tetapi juga mengakomodir aspirasi rakyat.

Dengan peristiwa seperti pengekangan warga di Labuan Bajo, “ini membuat kita ragu bahwa sebenarnya urgensi dari ASEAN Summit ini untuk apa?”

“Kalau misalnya rakyat yang menjadi penerima manfaat yang paling utama dibatasi ruang gerak dan ruang pikirannya atau dirampas ruang hidupnya, maka sebenarnya forum ini untuk siapa?,”

Dari peristiwa ini, kata dia, menjadi jelas bahwa “ASEAN Summit adalah forum yang terpisah dengan rakyat, terpisah dengan kepentingan warga negara.”

Tidak Perlu Takut dengan Intimidasi

Edy mengatakan, lembaganya menghimbau agar warga negara Indonesia, termasuk di NTT, “tidak takut dengan intimidasi-intimidasi,” sepanjang tindakan-tindakan yang hendak dilakukan “sah secara hukum dan tentu tidak mengancam hak atau kebebasan orang lain.”

Ia kembali memberi penekanan bahwa jika masyarakat ingin menyampaikan aspirasi dalam forum seperti ASEAN Summit, “penegak hukum seharusnya mengakomodasi, mengawal dan melindungi.”

“Bukan malah membatasi atau melarang,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga