Polisi di Manggarai Barat Dituding Aniaya Tahanan Kasus Dugaan Pemerkosaan

Pengacara mengklaim polisi melakukan kekerasan fisik bahkan saat sebelum proses pemeriksaan terkait dugaan keterlibatan para tahanan dalam kasus pemerkosaan.

Floresa.co – Beberapa anggota polisi di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur menghadapi tudingan penganiayaan terhadap enam orang tahanan yang menjadi terduga kasus pemerkosaan seorang remaja.

Kekerasan fisik itu diduga terjadi di tahanan Kepolisian Sektor [Polsek] Lembor, sekitar 60 kilometer arah timur dari Labuan Bajo, ibukota kabupaten itu.

Iren Surya, salah satu dari tiga pengacara tahanan mengatakan pada Rabu, 30 Agustus bahwa dugaan tindak kekerasan tersebut “terjadi bahkan sebelum tahap pemeriksaan terhadap klien kami.”

Inisial keenam terduga kasus pemerkosaan itu adalah RSG, LE, ARB. YF, HC dan YWW. Semua berusia di atas 20 tahun. Polisi yang diduga terlibat penganiayaan, menurut pengakuan kliennya, berjumlah enam orang.

Berdasarkan pengakuan keenam tahanan, “polisi memukul mereka dengan tangan kosong, balok dan kayu,” kata Iren.

Ia menjelaskan, salah satu di antaranya menderita pembengkakan pada telinga kanan, sementara telinga kirinya mengeluarkan cairan, hingga sempat dilarikan ke Puskesmas Lembor.

Seorang lainnya mengalami lebam pada sekitar mata, sementara satu korban lagi giginya rontok karena dianiaya.

Menurut Iren, seorang dari keenamnya menyatakan “mereka dipukul setelah menanyakan alasan mereka ditahan di Polsek dan memohon supaya dipulangkan.”

Yostan Alexanderia Lobang, Kepala Polsek Lembor membantah tudingan kekerasan oleh anggotanya.

“[Dugaan itu] tidak benar. Keadaan mereka [tahanan] baik-baik saja dan sehat selama di dalam tahanan,” katanya kepada Floresa pada 31 Agustus.

Floresa mendapat beberapa foto yang memperlihatkan luka di badan para tahanan, juga saat sedang dirawat di Puskesmas Lembor.

Ketika ditanya Floresa,  apakah pernah melihat langsung kondisi para tahanan, Yostan menjawab, “Keadaan mereka baik-baik saja, tanpa luka.”

Andai ada luka di tubuh mereka, ia berdalih, “mungkin terjadi ketika mereka dalam perawatan, bukan dalam tahanan,” tanpa bersedia merinci perawatan yang dimaksud.

Bagaimana Awal Mula Kasus Dugaan Pemerkosaan?

Yostan menjelaskan, lima dari enam pria itu, semuanya berasal dari Lembor, ditahan di Polsek Lembor antara 7-9 Agustus.

Mereka diamankan setelah polisi menerima laporan dari keluarga seorang gadis berusia 16 tahun, korban dugaan pemerkosaan yang terjadi pada 6-7 Agustus.

Awalnya, kata Yostan, tiga orang yang lebih dulu diamankan di Polsek, sebelum dua lainnya menyusul pada 8 Agustus. Seorang lain lagi ditahan pada 14 Agustus.

Yostan menambahkan, terdapat total tujuh terduga dalam kasus dugaan pemerkosaan itu. Satu orang, kata dia, tidak ditahan karena masih di bawah umur dan hanya ditetapkan wajib lapor.

Yostan menerangkan, ketujuh pria tersebut secara bergantian diduga melakukan pemerkosaan terhadap remaja itu di empat tempat kejadian perkara.

Seorang terduga, kata dia, awalnya “mengajak dengan memaksa” korban pergi bersama-sama dengan terduga lain ke Pantai Mberenang, Lembor Selatan pada 6 Agustus.

Para terduga lalu mengajak korban ke tempat yang sepi. Mencurigai ada yang tak beres, korban lalu meminta diantar pulang. 

Namun, kata Yostan, para terduga sebaliknya mengancam akan menjual ponsel korban jika berkukuh minta pulang. 

Mereka disebut mengajak korban ke Sungai Wae Kaca dan Sungai Wae Sewi, Lembor Selatan. Di sana mereka diduga secara bergantian melakukan pemerkosaan hingga dini hari.

Orang tua korban yang gelisah lantaran putrinya tak kunjung pulang dan tak dapat dihubungi hingga 7 Agustus pagi lalu melaporkan ke Polsek Lembor. Pencarian korban dilakukan pagi itu juga. Ia ditemukan dalam kondisi tak sadarkan diri di sebuah pondok kosong di dekat Sungai Wae Sewi.

“Kini korban sedang dalam masa pemulihan di sebuah shelter,” kata Yostan.

Floresa belum berhasil mendapat keterangan dari pihak keluarga korban dugaan pemerkosaan.

Sementara itu, Iren dan Petrus Ruman, pengacara lainnya dari keenam tahanan menolak menjawab pertanyaan Floresa soal kasus dugaan pemerkosaan.

Mereka menyatakan, hanya fokus pada kasus penganiayaan tahanan.

Dugaan Kejanggalan 

Petrus menyoroti kekerasan fisik itu yang terjadi sebelum dan saat pemeriksaan, yang bisa berdampak pada keterangan yang mereka berikan.

Seharusnya, kata dia, dalam proses ini polisi “dapat mengedepankan [asas] praduga tak bersalah.”

Ia menilai “berita acara pemeriksaan tidak sah karena keenam orang itu berada di bawah tekanan.”

Petrus juga mempertanyakan keenam terduga pelaku yang tak menerima surat perintah penahanan dan tidak ditemani pendamping hukum.

Padahal, kata dia, “mereka terancam dipidana hingga lima tahun penjara,” jika merujuk pada tindak pidana yang dituduhkan, yaitu persetubuhan anak di bawah umur, sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak.

“Sejak awal, prosesnya sudah cacat secara prosedural,” kata Petrus, karena “keenamnya ditahan tanpa berbekal surat penahanan dan “tak tertangkap tangan melakukan dugaan tindak pidana dimaksud.”

Menurut Petrus, Satuan Reserse Kriminal Polsek Lembor baru mengeluarkan surat perintah penahanan pada 22 Agustus, dua pekan setelah mereka ditahan.

Penerbitan surat perintah penahanan diikuti pemindahan keenam orang tersebut ke tahanan Polres Manggarai Barat. Hingga 29 Agustus, mereka masih ditahan dan belum menerima surat penetapan sebagai tersangka.

Petrus juga menyorot penahanan terhadap satu orang pada 14 Agustus, yang terjadi sesudah dua hari sebelumnya menerima surat dari polisi.

Isi surat itu, kata dia, adalah “untuk dimintai keterangannya terkait dugaan tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur,” dan tidak ada perintah penahanan.

Pada 30 Agustus, pengacara keenam tahanan pun mendaftarkan gugatan praperadilan untuk polisi atas “tindakan sewenang-wenang” dalam penanganan kasus ini.

“Ini adalah atas cacat prosedural hingga mengakibatkan cacat penyelidikan, penyidikan hingga penetapan sebagai tersangka terhadap keenam korban,” kata Iren Surya.

Ia menambahkan, “apa yang dilakukan polisi terhadap klien kami turut mencederai proses hukum acara itu sendiri dan bertentangan dengan spirit hukum pidana.”

Petrus Ruman dan Iren Surya, pengacara keenam tahanan berbicara dalam konferensi pers di Labuan Bajo pada Rabu, 30 Agustus 2023. (Foto: Anjany Podangsa/Floresa.co)

Penyiksaan Tahanan Praktik Marak

Penyiksaan dalam tahanan merupakan praktik yang masih jamak terjadi di Indonesia, demikian menurut Rozy Brilian, peneliti Komisi untuk Korban Hilang dan Tindak Kekerasan [KontaS].

“Kepolisian masih menjadi aktor dominan dalam berbagai peristiwa penyiksaan,” katanya kepada Floresa pada 31 Agustus merespons dugaan kekerasan tahanan di Polsek Lembor.

Selama Juni 2022-Mei 2023, KontraS menemukan sebanyak 34 peristiwa penyiksaan dilakukan oleh polisi, disusul Tentara Nasional Indonesia [10], sipir [8] dan petugas imigrasi [2].

Temuan KontraS, kata Rozy, menunjukkan “penyiksaan justru terjadi secara masif di lingkaran penegak hukum” dan menunjukkan “kultur kekerasan dan impunitas yang masih langgeng dalam institusi negara.”

“Kepolisian sebagai instrumen negara yang memiliki fungsi keamanan dan ketertiban justru terlibat intens dalam berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia,” katanya.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA