Masyarakat Adat Dipenjara di Tengah Konflik Tapal Batas yang Berlarut-larut dengan Taman Wisata Alam Ruteng 

Mikael Ane, warga adat asal Ngkiong divonis penjara pada 5 September

Floresa.co – Usai rangkaian proses sidang sejak penangkapannya enam bulan lalu, Mikael Ane, 57 tahun, dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Ruteng terkait konflik tapal batas dengan taman wisata alam yang masih terus menggantung hingga kini.

Dalam putusan yang dibacakan pada Selasa, 5 September, warga adat asal Ngkiong di Kabupaten Manggarai Timur tersebut divonis 1,6 tahun penjara.

Ia juga diwajibkan membayar denda Rp300 juta, subsider 6 bulan kurungan.

Hakim menyatakan, ia bersalah karena membangun rumah di lokasi yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari Taman Wisata Alam [TWA] Ruteng.

Marselinus Suliman, pengacara Mikael mengatakan, mereka mempersoalkan putusan itu karena Mikael dan leluhurnya “telah ada dan berdiam di wilayah hutan tersebut sebelum TWA dibentuk.”

Kawasan taman wisata alam seluas 32.248,06 hektar itu dibentuk pada 1991. Wilayahnya mencakup hutan hujan di pegunungan yang melintasi dua kabupaten di Flores barat – Manggarai dan Manggarai Timur.

Marselinus mengatakan kepada Floresa bahwa Mikael ditangkap pada 28 Maret 2023, dua tahun setelah ia membangun rumah di wilayah yang diklaim pemerintah sebagai bagian dari TWA Ruteng.

Meski baru membangun rumah pada 2021, kata dia, “jauh sebelum itu Mikael sudah menguasai lahan tersebut untuk bertani.”

Dalam dakwaan, kata dia, jaksa tidak menjelaskan luas kawasan TWA yang diduduki Mikael.

Ia juga mempersoalkan hakim yang memvonis Mikael dengan pasal-pasal dari undang-undang [UU] yang oleh Mahkamah Konstitusi, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Salah satunya, kata dia, adalah UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang telah diganti dengan UU No.6 tahun 2023.

Padahal, menurut Marselinus, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2014, seorang terdakwa lepas dari segala tuntutan apabila ia dikenakan pasal-pasal yang sudah tidak berlaku.

“Dalam pandangan hakim, pasal–pasal tersebut masih berlaku dan relevan sehingga argumentasi penasihat hukum dimentahkan,” katanya.

Karena itu, kata dia, mereka akan mengajukan banding terhadap vonis itu.

Klaim siapa yang benar terkait asas legalitas itu, kata dia “harus diuji di tingkat yang lebih tinggi, yaitu pengadilan tinggi.”

Ini merupakan vonis kedua bagi Mikael dalam konflik dengan TWA Ruteng. Pada 2013 ia juga dipenjara satu tahun karena menebang kayu di dalam kawasan itu.

Polemik yang Berlarut-larut

Kasus ini menambah panjang polemik bertahun-tahun antara warga dan pemerintah terkait TWA Ruteng yang batasnya dengan wilayah adat masih terus dipersoalkan.

Pada 2004, konflik di wilayah itu sempat menuai pertumpahan darah ketika warga memprotes langkah pemerintah membabat tanaman kopi di wilayah Colol yang diklaim berada di kawasan TWA Ruteng.

Polisi kala itu menembak mati empat petani yang menggelar unjuk rasa di Ruteng. Tujuh orang lainnya luka parah dan cacat permanen hingga kini.

Syamsul Alam Agus dari Badan Pengurus Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara mengatakan vonis terhadap Mikael menambah pelik konflik ini.

Ia mengatakan, vonis ini juga menjadi ancaman serius terhadap eksistensi masyarakat adat di sekitar TWA Ruteng.

“Dari hasil overlay peta kawasan, terlihat irisan antara wilayah TWA Ruteng dan wilayah adat. Terdapat 60 kampung adat yang lokasinya beririsan dengan taman wisata alam itu,” katanya.

Bidang Konservasi dan Sumber Daya Alam II Ruteng yang membawahi TWA Ruteng belum bisa dimintai komentar. Permintaan wawancara oleh Floresa kepada Yance B Fua, pimpinan lembaga itu pada Rabu, 6 September tidak direspons.

Pada 2013, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur  sempat merumuskan upaya penyelesaian masalah tapal batas ini dengan “Konsep Tiga Pilar” yang melibatkan tiga pihak, Gereja, Masyarakat Adat dan Pemerintah.

Konsep itu mengedepankan soal musyawarah untuk membahas masalah sengketa tapal batas. Konsep Tiga Pilar ditandatangani perwakilan masyarakat adat, perwakilan media, perwakilan lembaga swadaya masyarakat, Uskup Ruteng saat itu, Hubertus Leteng, Bupati Manggarai saat itu, Christian Rotok dan Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur saat itu, Wiratno.

Namun, vonis terhadap Mikael mengindikasikan konsep itu tidak kunjung menyelesaikan persoalan, di mana saling klaim antara warga dengan pemerintah masih terus terjadi.

Tadeus Dosen, tetua adat Ngkiong yang ikut dalam sidang putusan mempersoalkan vonis yang menyebut Mikael merampok atau merampas hak milik orang lain sehingga harus dipenjarakan.

“Jangan jadikan masyarakat adat sebagai korban karena berjuang untuk keutuhan wilayah adatnya sendiri. Ini benar-benar tidak adil,” katanya.

Ia mengatakan, mereka tetap memegang teguh kebenaran yang telah diwariskan oleh leluhur tentang status tanah ulayat di kawasan itu.

“Kami akan tetap berjuang bersama Mikael Ane karena menyangkut harkat dan martabat kami sebagai pemilik tanah ulayat di wilayah adat tersebut,” katanya.

Fransiskus Nom, salah satu warga Ngkiong menyatakan, “kami merasa sangat dirugikan dengan putusan ini.”

“Bagaimana mungkin kita yang punya tanah, kita yang dipenjarakan. Masyarakat kecil selalu disalahkan. Ini benar–benar [menunjukkan] hukum itu tumpul ke atas dan runcing ke bawah,” katanya.

Ia mengatakan, warga adat akan terus berjuang agar wilayah TWA Ruteng yang tumpang tindih dengan tanah ulayat diserahkan kepada mereka.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA