Kasus ‘Kawin Tangkap’ di Sumba: Dugaan Keterlibatan Keluarga Korban yang Memperumit Upaya Penanganan

Para pemerhati hak-hak kaum perempuan berharap kasus terbaru tetap diproses hukum, agar “orang-orang di luar sana tak meneruskan kejahatan kemanusiaan ini.”

Baca Juga

Floresa.co – Video yang memperlihatkan seorang perempuan dengan inisial D menjadi korban praktik ‘kawin tangkap’ di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] menghebohkan publik akhir pekan lalu.

Kasus itu, tercatat sebagai yang terbaru setelah kasus heboh lainnya pada 2021.

Namun, penyelesaian kasus itu kini menjadi pelik, dengan dugaan keterlibatan pihak keluarga D dalam praktik budaya yang kontroversial itu. D pun telah meminta polisi tak melanjutkan proses hukum terhadap empat tersangka.

Herlina Ratu Kenya, Ketua Badan Pengurus Daerah Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi Indonesia [PERUATI] menyatakan “terdapat dimensi keluarga yang menjadi pertimbangan D.

Alasan keberatan D, katanya pada 11 September, “terkait keberadaan sang ibu yang diduga terlibat dalam ‘kawin tangkap’ terhadap dirinya.”

Ibu dari D merupakan pencari nafkah utama dalam keluarga. Ia sehari-hari berdagang di suatu pasar di Sumba Barat Daya. Sedangkan sang ayah telah lama menjadi buruh migran di kebun kelapa sawit di Malaysia.

Jika ibu dari D “ditetapkan sebagai tersangka, diproses hukum dan dikenai vonis penjara, siapa yang akan menafkahi D dan saudara-saudaranya? Begitu pikir D.”

Sebagai salah satu organisasi yang turut mengadvokasi D, PERUATI menghargai permintaan D. Biarpun begitu, “kami terus berupaya membangun kesadaran bagi D bahwa ia adalah korban.” 

Secara terpisah, Andy Yentriyani, Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] mendorong kepolisian “mengaplikasi kepekaan pada kerentanan khusus perempuan dalam pengusutan kasus perempuan berhadapan dengan hukum.”

Kepekaan itu termasuk mempertimbangkan “beban dan kekhawatiran yang dihadapi ibu dari D sebagai orang tua tunggal.” 

Konstruksi dan kondisi sosial, kata Andy kepada Floresa pada 12 September, “turut menempatkan seorang ibu menyimpulkan atau mengambil langkah tertentu yang menurutnya dapat menyelamatkan anak dan keluarganya.”

Andy menilai pengaplikasian kepekaan oleh polisi “akan mendorong terjadinya proses hukum yang lebih humanis dan berkeadilan.”

“Direstui” Keluarga

Praktik ‘kawin tangkap’ pada 7 September itu menyebar luas melalui suatu video. Tak diketahui siapa perekam dan pengunggah awalnya.

Dalam video tersebut, tampak beberapa laki-laki turun dari sebuah mobil pikap. Beramai-ramai mereka menarik tubuh D, mengangkatnya ke atas pikap, lalu mulai melaju.

Anggota Kepolisian Resor Sumba Barat Daya menemukan D di sebuah rumah yang diduga tempat tinggal seorang lelaki. Ia diduga telah dijodohkan dengan D melalui ‘kawin tangkap’ tersebut tanpa sepengetahuan D.

Empat terduga pelakunya ditangkap pada hari yang sama, sebelum ditetapkan sebagai tersangka pada 9 September. 

Herlina mengatakan ‘kawin tangkap’ yang menimpa D bukannya dilakukan secara acak. 

“Ibu dari D dan orang tua sang lelaki mengetahui rencana ‘kawin tangkap’ pada hari itu,” kata perempuan kelahiran Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur itu.

Semua bermula ketika D secara tiba-tiba pergi dari rumah hingga lima hari lamanya. Setelah mencari kabar ke sana kemari, keluarga akhirnya mengetahui D pergi bersama kekasihnya.

Kekasih D “tidak disukai keluarga” lantaran, menurut pengakuan sang ibu kepada perwakilan PERUATI di Sumba Barat Daya, “ia adalah seorang pemabuk.”

Cemas anaknya kelak menikah dengan lelaki itu, ibu dari D lalu menemui seorang kerabat. Menurut garis silsilah, sang kerabat merupakan paman dari D.

Keduanya lantas bersepakat menjodohkan D dan anak si kerabat itu melalui ‘kawin tangkap.’

Pada 7 September, paman dari D sengaja mengajaknya ke daerah pertokoan. 

Beralasan hendak membeli rokok di sebuah toko, si paman lalu meninggalkan D di sisi jalan utama. Saat itulah sebuah pikap mendekat dan terjadilah ‘kawin tangkap’.

Pelecehan Terhadap Perempuan Berbalut Tradisi

Praktik kawin tangkap, yang dikenal sebagai Padeta Mawinne, merupakan tradisi lama yang masih dilakukan di sejumlah daerah di Sumba.

Kawin tangkap dilakukan dengan menculik atau menangkap seorang perempuan oleh beberapa laki-laki di tempat-tempat umum, seperti pasar, jalanan, atau bahkan dari kediamannya.

Kasus kawin tangkap sempat ramai dibicarakan pada 2020 saat beredarnya dua rekaman video yang menjadi polemik.

Komnas Perempuan saat itu mengkategorikan kawin tangkap sebagai “tindak kekerasan seksual, yaitu pemaksaan perkawinan” yang “berakar pada diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan.”

Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak [KemenPPA] mendefinisikannya sebagai “suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang berkedok budaya.”

Demi mengakhiri praktik ini, Kementerian turut mendorong penandatanganan Nota Kesepahaman Peningkatan Perlindungan Perempuan dan Anak oleh Pemerintah Kabupaten Sedaratan Sumba pada 2020.

Tetap Mendorong Proses Hukum

Herlina dari PERUATI berharap proses hukum kasus D tetap berlanjut supaya “orang-orang di luar sana tak meneruskan kejahatan kemanusiaan ini.”

Sekalipun ibu dari D nantinya turut diproses hukum, “kami berharap beliau mendapat keringanan hukuman, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan D.”

Kepolisian secara kumulatif menerapkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana [KUHAP]  dan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [UU TPKS] dalam kasus D.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 328 KUHP sub Pasal 333 KUHP juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP tentang penculikan, serta Pasal 10 UU TPKS tentang pemaksaan perkawinan.

Andy Yentriyani dari Komnas Perempuan menilai implementasi kedua rezim hukum tersebut dapat memperkuat perlindungan yang lebih mumpuni bagi D.

Mengacu pada UU TPKS, korban juga dapat mengakses sejumlah layanan yang menjadi haknya, termasuk pendampingan dan pemulihan.

Andy mengingatkan pentingnya layanan pemulihan “mengingat dampak psikis yang dihadapi korban dari tindak perampasan kemerdekaan yang dapat menimbulkan rasa takut mendalam.”

Andy menyatakan tindak kawin tangkap terhadap D “telah merampas hak perempuan untuk memasuki perkawinan secara sukarela.”

Asas sukarela merupakan salah satu syarat sah pernikahan yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Asas tersebut harus diwujudkan melalui persetujuan kedua calon mempelai. 

Ketiadaan kesukarelaan dalam ‘kawin tangkap’—tak hanya yang menimpa D, melainkan juga perempuan lain di Sumba—menunjukkan pelanggaran terhadap “hak konstitusional warga untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.”

Ratna Susianawati, Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA menyebut kasus D ini sebagai “bentuk penculikan dan kekerasan terhadap perempuan.”

“Tentu ini dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal dan bukan bagian dari adat. Selain itu, ada peranan relasi kuasa dalam kasus-kasus kawin tangkap yang tidak selayaknya dilanggengkan,” katanya.

“Jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak,” tegas Ratna.

Perempuan Tak Punya Kuasa Atas Tubuh dan Masa Depan

Selain menjadi perhatian PERUATi, Komnas Perempuan dan Kementerian PPA, tindak ‘kawin tangkap’ terhadap D juga menjadi catatan khusus Martha Hebi, seorang aktivis pemerhati hak-hak perempuan Sumba. 

Ia “mengutuk keras ‘kawin tangkap’ yang masih saja berulang.”

‘Kawin tangkap’, katanya, “menunjukkan perempuan tak punya kuasa atas tubuh dan masa depannya.” 

Dalam ‘kawin tangkap’, kata Martha pada 10 September, “tangan lebih dari satu lelaki secara tiba-tiba dan dari berbagai arah menyentuh tubuh.”

Disertai bentakan dan teriakan, “mereka membekap dan melarikan para perempuan lajang ke tempat yang acapkali tak mereka kehendaki.”

Sebaliknya, “maskulinitas masih saja dilanggengkan, seolah-olah perempuan tak berharga.” 

Tak tahu-menahu apa yang akan terjadi dengannya hari itu, seorang perempuan yang sedang berbelanja ke pasar mungkin sekali “ditangkap” dalam sekejap. Tak sedikitpun mengenal para “penangkap”nya, ia meronta pun, tak akan digubris.

Menyebut para pelakunya ibarat “memenangi suatu pertandingan”, Martha mendesak ‘kawin tangkap’ yang selama ini dianggap sebagai tradisi “ditinjau ulang.”

“Saya tak menemukan satu saja hal baik di balik ‘kawin tangkap,’” katanya.

Martha bertahun-tahun masuk-keluar desa di berbagai kabupaten di Sumba untuk mengadvokasi para korban ‘kawin tangkap’. 

Salah satu yang selalu ia sesalkan dalam serangkaian pendampingan adalah “saya baru menemukan mereka ketika peristiwanya sudah terjadi.”

Sejumlah korban memendam luka psikis akibat dilecehkan—baik secara fisik maupun verbal.

Martha secara gamblang menyatakan ‘kawin tangkap’ merupakan pelanggaran hak asasi manusia terhadap perempuan.

Pelanggaran terjadi “di tengah-tengah ketimpangan relasi kuasa akibat konstruksi sosial yang tak juga berevolusi.”

Kendati sama-sama dilahirkan dari rahim seorang ibu, “perempuan, lain halnya dengan lelaki, seakan tak memiliki hak untuk menentukan hidup dan masa depan.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini