Floresa – Kapolsek Komodo, AKP Ivans Djarat yang menganiaya seorang satpam sebuah bank di Labuan Bajo layak mendapat sanksi berat dari sisi kode etik kepolisian, termasuk dicopot, kata lembaga pemerhati kepolisian, Indonesia Police Watch (IPW).
Meski sudah ada proses mediasi secara adat Manggarai dengan korban, menurut Sugeng Teguh Santoso, Ketua IPW, mestinya proses hukum tindak pidana Kapolsek itu tetap dilanjutkan.
AKP Ivans menganiaya satpam itu pada Rabu, 13 September setelah korban melarangnya mengenakan helm saat hendak menggunakan mesin ATM. Ia membawa satpam itu ke kantor Polsek lalu memukul dan memakinya.
Sugeng mengatakan, “pemukulan, apapun alasannya,” adalah “tindakan tercela dan pelanggaran hukum.”
“Jadi, karena melakukan tindakan tercela, dia harus dicopot dulu dari jabatannya. Kapolres [Manggarai Barat] harus mencopotnya,” katanya kepada Floresa, Kamis, 14 September. “Dia harus diproses hukum pidana penganiayaan.”
Terkait mediasi yang dilakukan secara adat Manggarai pada Rabu malam antara AKP Ivans dan korban, Sugeng mengatakan “mediasi secara adat itu harus dilakukan dengan proses yang setara dan tidak di bawah intimidasi atau tekanan.”
“Setara dalam arti pihak korban atau keluarganya berhak menyampaikan sikap dengan bebas. Kemudian tidak ada intimidasi atau tekanan dari pihak manapun, termasuk dari masyarakat adat atau pimpinan adat, apalagi dari kepolisian atau pihak lain,” ujarnya.
Menurut Sugeng, keluarga korban memang “harus betul-betul cermat bertindak.”
“Kalau mengambil sikap mediasi atau mencabut perkara karena tekanan, itu bukan sesuatu yang benar atau bijaksana. Apalagi, Kapolsek ini pernah dipidana,” katanya menyinggung kekerasan dalam rumah tangga [KDRT] yang terbukti dilakukan AKP Ivans pada 2021 dan membuat dia divonis tiga bulan penjara.
“Artinya, Kapolsek ini punya kecenderungan kepribadian yang melakukan kekerasan. Ini harus menjadi catatan dari pihak atasan, dalam hal ini Kapolres,” katanya.
Untuk sanksi kode etik, menurut Sugeng, AKP Ivans layak mendapatkan hukum paling berat yaitu pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat.
Senada dengan Sugeng, Elias Sumardi Dabur, praktisi hukum asal Manggarai mengatakan penyelesaian yang dilakukan secara adat Manggarai dengan salah satu syarat korban mencabut laporan memang membuat proses hukum selesai.
“Cuma, kita persoalkan dari sisi etik kepolisian,” ujar Elias kepada Floresa.
Dari sisi kode etik kepolisian, kata dia, beberapa sanksi yang bisa diberikan kepada AKP Ivans adalah “dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat demosi.”
“Selain itu, melihat track record yang bersangkutan, dia diwajibkan untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi. Bila perlu, diberhentikan dengan tidak hormat,” ujar Elias.
Menurutnya, kasus pemukulan terhadap satpam ini menambah deretan catatan kekerasan yang dilakukan oleh polisi di NTT umumnya, dan Manggarai khususnya.
“Dalam catatan saya, di NTT sudah lebih dari 20 kasus pemukulan di luar tugas pengamanan polisi yang terjadi sepanjang 2020-2023,” ujarnya.
Karena itu, tambah Elias, saatnya institusi kepolisian di wilayah NTT memberi perhatian serius terhadap tindakan kekerasan anggotanya terhadap masyarakat.
“Jika tak segera diambil tindakan hukum yang serius, keberulangan peristiwa kekerasan oleh polisi akan menimbulkan normalisasi kekerasan,” kata Elias.
Polres Manggarai Barat ‘Bungkam’
Polres Manggarai Barat tidak merespons pertanyaan Floresa terkait tindakan yang akan diambil untuk AKP Ivans. Saat mendatangi kantor Polres pada Kamis siang, sejumlah pimpinan di institusi itu menghindar untuk menjawab.
Floresa awalnya menghubungi Kasat Reskrim, AKP Wahyu Agha Ari Septyan terkait tindak lanjut laporan korban yang disampaikan pada Rabu siang.
Ia mengaku sedang berada di Jakarta dan meminta untuk mendatangi Divisi Pidana Umum.
Di divisi itu, seorang polisi mengarahkan Floresa ke Divisi Humas. Namun, Divisi Humas kemudian meminta untuk ke Divisi Profesi dan Pengamanan [Propam].
Kepala Seksi Propam, Ipda Nyoman Budiarta merespons Floresa dengan mengatakan, “Maaf, saya bukan bawahan Kasat Reskrim. Saya bawahan Kapolres.”
Beberapa saat setelah mengatakan demikian, ia mengikuti jurnalis Floresa dan memberi tahu di lobi Polres itu bahwa dia akan bertanya lebih dahulu ke Kapolres, AKBP Ari Satmoko.
Setelah sejam menunggu, ia memberi tahu, “Maaf, Kapolresnya tidak ada. Ke Humas saja.”
Floresa kembali menghubungi Kasat Reskrim pada Kamis sore. Ia mengatakan lewat pesan WhatsApp bahwa kalau memang antara AKP Ivans dan korban “sudah damai, ya kita mediasi.”
Ditanya tanggapan terkait kasus pidana sebelumnya yang melibatkan AKP Ivans, ia mengatakan bukan ranahnya merespons hal itu dan kembali mengarahkan Floresa ke Divisi Propam, yang sebelumnya telah menolak memberi keterangan.
Keluarga korban memang telah menyatakan akan mencabut laporan kasus itu, sebagai salah satu syarat saat AKP Ivans menyerahkan denda adat Rp10 juta dan satu ekor babi pada Rabu malam.
Namun, Floresa belum mendapat kejelasan terkait pencabutan laporan.
Dalam pernyataan pada Rabu malam, Kapolda NTT, Johny Asadoma mengatakan kepada Floresa, “akan lakukan penyelidikan sesuai aturan” terhadap AKP Ivans.
Johny mengatakan sudah menerima laporan dari korban kasus ini.
Ini bukan kasus tunggal di mana polisi di Manggarai Barat menganiaya masyarakat, lalu kemudian meminta penyelesaian lewat jalur adat.
Pada 2020, sejumlah polisi di kota pariwisata super premium itu juga memukul para pemuda yang sedang nongkrong hingga berdarah-darah.
Kala itu, mereka juga melakukan pendekatan adat, dengan meminta maaf dan membayar denda kepada keluarga korban.