Dugaan Pungli hingga Penggelembungan Harga: Deretan Kejanggalan Pengelolaan Dana Program Pekarangan Pangan Lestari di Manggarai Timur

Kelompok penerima program mengaku diarahkan oleh Dinas Pertanian untuk membeli kebutuhan di sebuah toko dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada di pasaran. Petugas dinas itu juga memungut satu juta rupiah dari setiap kelompok. 

Floresa – Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai Timur melakukan intervensi terhadap kelompok wanita tani dalam pengelolaan dana Program Pekarangan Pangan Lestari [P2L], hal yang melampaui kewenangan dinas seperti diatur dalam petunjuk teknis program itu. 

Temuan Floresa menunjukkan adanya dugaan praktik pungutan liar [pungli] dan penggelembungan harga yang merugikan para petani penerima manfaat program pemerintah pusat itu.

Maria Koleta Jelima, 43 tahun, Ketua Kelompok Wanita Tani [KWT] Sedang Mekar di Desa Watu Mori, Kecamatan Rana Mese, salah satu kelompok penerima program P2L mengatakan, semua kelompok diarahkan oleh Dinas Pertanian untuk membeli bibit dan barang lainnya yang dibutuhkan di Toko Dite, sebuah toko pertanian di Borong, ibukota Manggarai Timur.

Ia menyinggung dana pencairan tahap pertama di Bank Rakyat Indonesia pada 10 Mei 2023 senilai Rp37,5 juta. 

Saat pencairan dana itu, kata dia, “kami ditemani oleh pegawai dari Dinas Pertanian.”

“Setelah uang cair, kami diarahkan untuk menyetor 30 juta ke Toko Dite. Katanya untuk membeli benih dan alat kerja dan barang-barang lainnya,” kata Koleta.

Ia mengatakan, setelah menandatangani bukti penyetoran dana itu, keempat ketua dan bendahara kelompok diarahkan untuk masuk ke dalam rumah pemilik Toko Dite. 

Di dalam rumah itu, kata dia, staf dari Dinas Pertanian itu meminta mereka menyetor masing-masing satu juta rupiah. 

“Bilangnya untuk dana transportasi. Kami beri saja, tanpa kwitansi,” katanya.

Ia menyebut nama pegawai Dinas Pertanian itu adalah Ibu Santi.

Maria Dangus, 30 tahun, bendahara KWT Sedang Mekar menguatkan cerita Koleta.

Menurutnya, penentuan mitra yakni Toko Dite dan juga permintaan uang satu juta rupiah tersebut dilakukan secara sepihak oleh Dinas Pertanian Manggarai Timur, tanpa diskusi dengan kelompok tani. 

“Tidak pernah bahas dengan kami. Kami merasa itu pungutan liar,” katanya.

Menurut situs resmi Badan Pangan Kementerian Pertanian, P2L merupakan program untuk meningkatkan ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan bagi keluarga.

Targetnya adalah menghasilkan pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman, sekaligus untuk meningkatkan pendapatan petani.

Program ini dilakukan dengan pemberdayaan kelompok masyarakat melalui budidaya berbagai jenis tanaman yang memanfaatkan lahan pekarangan rumah atau lahan-lahan kosong yang tidak produktif. Item yang dibiayai lewat program ini adalah pengembangan rumah bibit, demplot, pertanaman dan pasca panen, serta pemasaran. 

Merujuk Peraturan Menteri Pertanian Nomor 8 Tahun 2023, NTT masuk dalam zona 3 Program P2L, di mana total dana yang disalurkan sebesar Rp90 juta per kelompok. 

Dari jumlah itu, Rp75 juta dimanfaatkan oleh kelompok penerima untuk pengadaan sarana perbenihan, demplot, pertanaman, dan kegiatan pasca panen.

Sisanya digunakan untuk operasional P2L seperti biaya pertemuan koordinasi, pelatihan, pendampingan, pengawalan, dan pelaporan.

Pengelolaan dana ini dilakukan dengan model swakelola tipe IV yakni dikelola langsung oleh kelompok penerima. Dinas Pertanian hanya melakukan pendampingan dan pengawasan.

Di Manggarai Timur, Dinas Pertanian memprioritaskan Program P2L kepada empat kelompok tani di empat desa dan kelurahan dengan kasus stunting tinggi. Salah satunya adalah Desa Watu Mori. 

Dugaan Penggelembungan Harga

Koleta mengatakan, selain intervensi dan dugaan pungli, kejanggalan lain dalam pengelolaan dana Program P2L tersebut adalah dugaan penggelembungan anggaran dalam Rencana dan Anggaran Belanja [RAB].

“Kami cek harga benih dan barang lain di toko lain di Borong, jauh lebih murah dari harga di RAB,” katanya.

Ia mencontohkan polybag, di mana di RAB harga per kilogramnya sama untuk ukuran besar dan kecil, yaitu Rp65 ribu.

“Setelah kami cek di toko lain di Borong, harga polybag besar Rp35 ribu per kilogram dan polybag kecil itu hanya Rp25 ribu,” kata Koleta.

Dari salinan RAB yang diperoleh Floresa, harga benih sayuran dan tanaman juga amat tinggi, dibanding dengan harga di pasaran.

Harga benih kacang panjang isi 200 biji misalnya dipatok Rp165 ribu di RAB.

Ketik Floresa mencoba mengecek harga benih dan beberapa peralatan pertanian di toko online seperti Tokopedia, selisihnya sangat tinggi dengan di RAB.

Harga polybag besar di Tokopedia paling mahal Rp27,5 ribu.

Sementara benih kacang panjang untuk kemasan berisi 200 biji hanya Rp22,5 ribu, berbeda jauh dengan di RAB yang dipatok Rp165 ribu,

Koleta mengatakan, akibat dari penggelembungan harga tersebut, kini Toko Dite membebankan utang kepada kelompok tani penerima program ini.

“Utang itu kami tahu saat suami saya pergi beli obat hama di Toko Dite. Saat itu, pemilik toko bilang kelompok kami ada utang Rp18 juta lebih,” katanya.

“Kami kaget. Kenapa ada utang? Sementara kami sudah beri Rp30 juta.”

Koleta mengatakan, ia sudah menghitung harga benih dan alat-alat pertanian yang disalurkan Toko Dite ke kelompoknya, di mana totalnya hampir Rp30 juta.

“Saya hitung itu sesuai harga normal yang berlaku di toko lain. Makanya kami pikir tidak ada utang. Apalagi, nota belanja dari uang Rp30 juta itu sampai saat ini belum diberikan ke kelompok,” katanya.

Ia mengatakan telah mengadukan masalah ini ke Dinas Pertanian.

Sehari setelah pengaduan itu, katanya, Yulius Elkemis, staf yang menangani Program P2L, mendatangi rumahnya.

“Dia bilang bahwa utang di Toko Dite itu bisa dihapus, asalkan kami tidak menginformasikan masalah ini ke wartawan,” katanya.

Yulius, kata dia, sempat mengancamnya dengan mengatakan; “Kalau wartawan tulis, bukan hanya saya yang dipenjara, mama juga dipenjara.”

Penjelasan Dinas Pertanian

Yulius membantah pernyataan Koleta terkait larangan untuk mempublikasikan masalah tersebut.

“Tidak benar itu,” katanya kepada Floresa, Senin, 16 Oktober.

“Saya waktu itu pergi memberitahukan bahwa kalau memang ada barang yang mereka tidak pakai, silahkan dibawa pulang ke toko karena sesuai diskusi kami dengan pemilik toko, barang yang tidak dipakai, silahkan dihantar lagi ke toko,” katanya.

Sedangkan terkait pungutan satu juta rupiah, katanya, dana tersebut digunakan untuk membayar materai dan biaya lain saat pengajuan proposal ke Kementerian Pertanian.

“Nanti, kalau ada sisa setelah mengurus administrasi untuk pencairan tahap kedua, kami akan kembalikan ke kelompok,” katanya.

Ia mengklaim semua hal terkait pengelolaan dana tersebut sudah sesuai dengan kesepakatan bersama kelompok tani penerima program.

“Semua benih, alat-alat pertanian yang disalurkan oleh Toko Dite sudah sesuai dengan usulan masing-masing kelompok,” klaim Yulius. 

Sementara itu, Ade Manubelu, Sekretaris Dinas Pertanian Manggarai Timur mengatakan, dinas tersebut tidak pernah menginstruksikan untuk memungut dana dari kelompok penerima program.

“Pungutan itu inisiatif individu [yang menangani program P2L],” katanya, Rabu, 18 Oktober.

“Sekali lagi saya katakan bahwa secara kelembagaan, Dinas Pertanian tidak pernah menginstruksikan untuk meminta setoran dari kelompok tani.”

Ade menyatakan, terkait harga benih dan alat-alat pertanian yang tercantum di RAB, “saya tidak tahu persis.”

Ia mengarahkan Floresa untuk bertanya langsung kepada Yulius.

Yulius yang kembali dihubungi Floresa pada Rabu sore belum memberi jawaban terkait penggelembungan harga dalam RAB Program P2L tersebut.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA