Penyelundupan Berulang Komodo: Tamparan Serius bagi Pemerintah yang Terus Kecolongan Menindak Sindikat Pelaku

Peneliti menilai penyelundupan komodo dibekingi sindikat yang bekerja secara sistematis. Pemerintah juga diminta waspada dan menelusuri tujuan perdagangan komodo di pasar global.

Floresa.co – Seorang peneliti menegaskan bahwa penyelundupan berulang binatang langka komodo oleh pelaku yang sama yang terungkap baru-baru ini adalah “tamparan serius” bagi jajaran institusi terkait yang terus saja kecolongan.

Cypri Jehan Paju Dale, antropolog sosial, yang dalam beberapa tahun terakhir memberi perhatian khusus pada isu konservasi di Taman Nasional Komodo menyatakan keberulangan tersebut mencerminkan “jajaran institusi itu tak menjalankan tugas dengan baik.”

Penyelundupan terakhir komodo digagalkan pada 30 Oktober. Kasusnya terungkap setelah Balai Karantina Pertanian dan Hewan di Pelabuhan ASDP Labuan Bajo menerima laporan kecurigaan seorang sopir truk pengangkut pisang.

Sesuai keterangan pelaku, kata Budi Guna Putra, Wakil Kapolres Manggarai Barat,  satu ekor anak komodo dijual dengan kisaran harga Rp20 juta-Rp28 juta.

Pelaku, kata dia, telah beraksi beberapa kali dan polisi masih menelusuri tujuan akhir komodo yang telah dijual. Motif pelaku, jelasnya, lantaran “tidak ada kerja, statusnya pengangguran.”

Cypri memberi catatan pada terungkapnya penyelundupan komodo ini yang “terjadi secara kebetulan” dan bukan hasil kerja monitoring dari sejumlah institusi seperti Balai Taman Nasional Komodo [BTNK], Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] atau kepolisian. 

“Ini seharusnya jadi tamparan serius untuk institusi-institusi itu. Artinya institusi-institusi itu tidak menjalankan tugasnya dengan baik sehingga kecolongan,” katanya.

Mewaspadai Berbagai Modus Pencurian Komodo

Kasus penyelundupan komodo telah terjadi berulang kali. Sebelumnya, pada 2019, terungkap sebuah jaringan yang memperdagangkan 41 ekor komodo Singapura dengan harga Rp500 juta per ekor.

Sementara itu, jaringan pelaku yang tertangkap pada 30 Oktober telah melakukan penyelundupan lima anak komodo pada periode Juni-Oktober tahun ini.

Tiga di antaranya diselundupkan dan dijual ke Bali dan Jawa, satu ekor mati sebelum dikirim dan satu lagi yang hendak dikirim 30 Oktober. Kelima komodo itu dijerat menggunakan kayu yang dipasangi tali pengikat kepala di Pulau Rinca. 

Cypri mengatakan, aksi pelaku yang telah berulang ini menunjukkan bahwa “ada sindikat yang terus bekerja dan tidak terpantau aparat.”

Padahal, kata dia, butuh kerja serius dari institusi terkait, mengingat pencurian terhadap komodo amat rawan, berpotensi dilakukan di banyak lokasi dan dengan berbagai modus.

Ia mengatakan, pemerintah antara lain mesti mewaspadai juga pencurian komodo di Cagar Alam Wae Wuul di Manggarai Barat dan Cagar Alam di Riung di Kabupaten Ngada, pesisir utara Flores.

Selain itu, jelas dia, hal yang juga harus diwaspadai adalah perdagangan komodo hasil penangkaran di kebun binatang. 

Salah satu yang harus diwaspadai secara ekstra, menurut Cypri, adalah di Kebun Binatang Surabaya.

Ia menjelaskan dua alasan, termasuk fakta terkait kebun binatang itu yang pernah mengaku kehilangan tiga ekor komodo pada 201I.

“Pada 2014 Walikota Surabaya kala itu, Tri Rismaharini juga pernah secara resmi melaporkan para pejabat pengelola kebun binatang ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi karena terindikasi mempertukarkan dua ekor komodo dan satwa lainnya dengan barang mewah seperti mobil,” katanya.

Alasan kedua, jelas dia, “kebun binatang ini selama beberapa tahun terakhir melakukan penangkaran komodo dalam skala massal yang melampaui kapasitas kebun binatang.”

“Perlu ada kontrol ke mana perginya satwa hasil penangkaran itu,” kata Cypri. 

Satwa Terancam Punah

Komodo hidup di beberapa pulau di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan sebagian lainnya di Pulau Flores. 

Pada 2021, International Union for Conservation of Nature [IUCN] menetapkan satwa ini dalam kategori terancam punah [IUCN Red List of Threatened Species]. IUCN mencatat populasi dewasa salah satu pemuncak rantai makanan ini sebanyak 1.383 ekor pada 2019. 

Balai Taman Nasional Komodo [BTNK], lembaga di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tidak merespons permintaan wawancara terkait langkah lembaga itu menyikapi fenomena penyelundupan komodo.

Saat mendatangi kantor BTNK pada Selasa, 7 November, seorang staf memberitahu bahwa Kepala BTNK, Hendrik Rani Siga sedang di luar kita, lalu menyarankan untuk menghubunginya via WhatsApp. Namun, pesan yang dikirimkan beberapa kali kepada Hendrik tidak direspons.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Manggarai Barat, Sebastinanus Wantung menjawab mereka tidak berususan dengan komodo.

Dinasnya, kata dia, “tidak mempunyai program kegiatan atau anggaran menangani komodo.”

Sementara itu, Arief Mahmud, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam NTT – yang bertanggung jawab terhadap komodo di seluruh wilayah NTT -, menyatakan institusinya melakukan monitoring secara periodik.

Monitoring, jelasnya, dilakukan di habitat alami komodo, termasuk di wilayah Cagar Alam, Suaka Margasatwa dan Taman Wisata Alam yang tersebar di sejumlah daerah Pulau Flores dan sekitarnya.

“Pengamanan kawasan melalui patroli rutin bersama masyarakat untuk meminimalisir terjadinya gangguan, seperti aktivitas perburuan satwa mangsa komodo, kebakaran hutan serta gangguan lai,” katanya kepada Floresa.

Upaya itu, kata dia, juga untuk memastikan habitat mampu mendukung kehidupan populasi komodo yang seimbang.”

Arief mengatakan, monitoring juga melibatkan masyarakat setempat, seperti suku Baar di Sambinasi, Riung, Kabupaten Ngada demi “meminimalisasi tekanan terhadap kawasan konservasi.”

Ancaman Serius yang Perlu Dapat Perhatian

Cypri berharap, upaya merespons masalah yang mengancam kelestarian komodo ini tidak hanya menyentuh hal di permukaan, dan pemicunya tidak hanya sebatas pada mengidentifikasi motif ekonomi pelaku yang tertangkap. 

Hal yang perlu dikaji secara serius, kata dia, adalah “mengapa dan untuk apa komodo diperdagangkan?”

Ia menjelaskan, yang harus disadari bahwa “pasar perdagangan komodo ini bukan hanya pasar lokal, tetapi juga diselundupkan dan diperdagangkan ke luar negeri. 

“Ini adalah ancaman serius yang harus mendapat perhatian pemerintah hingga level tertinggi,” katanya.

Cypri menduga jaringan perdagangan komodo ini tidak hanya melayani kebutuhan kolektor-kolektor pribadi dan ilegal. 

Perdagangan komodo, katanya, juga menyangkut nilai satwa terancam punah itu sebagai aset keanekaragamanan hayati, aset wisata sekaligus aset bioteknologi. 

Ia mengungkapkan “banyak negara yang mengembangkan kebun binatang dan karenanya ingin memiliki koleksi komodo.” 

Penelitian di beberapa negara, kata dia, ”turut mengambil air liur dan darah komodo sebagai bahan pengembangan antibiotik.”

Ia mengatakan, “ini semua harus diantisipasi pemerintah kita.”

“Jangan hanya sibuk urus konsesi bagi perusahaan-perusahaan untuk berbisnis di dalam habitat komodo seperti yang dilakukan selama sembilan tahun terakhir,” kata Cypri, menyinggung izin sejumlah korporasi untuk pembangunan fasilitas pariwisata eksklusif di wilayah Taman Nasional Komodo.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA