Floresa.co – Warga sebuah kampung di Manggarai Barat menggunakan modal sosial gotong royong dan swadaya untuk membangun jalan yang selama bertahun-tahun tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah.
Langkah itu ditempuh setelah Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat berkali-kali menolak permintaan warga Dusun Ba’ang, Desa Golo Ndari, Kecamatan Welak, untuk membangun jalan menggunakan dana desa.
Lasarus Najun, 28 tahun, seorang warga, mengatakan kepada Floresa jalan yang menghubungkan tiga kampung, Kotok – Ba’ang – Nggolo itu merupakan jalan kabupaten.
Sejak dibuat telford beberapa tahun silam, kata Lasarus, jalan itu tidak diperhatikan lagi oleh pemerintah.
“Belum ada peningkatan jalan itu dengan membuat lapisan penetrasi,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, telford itu juga tidak dibarengi dengan pembuatan got sehingga ketika musim hujan tiba, batu-batu itu tertutup tanah.
Oleh karena itu, kata dia, warga Kampung Ba’ang dan Kotok yang merupakan bagian dari Dusun Ba’ang bersepakat membangun got di sekitar jalan dan merapikan kembali susunan batu.
“Kegiatan ini dimulai pada hari Rabu kemarin dan dilanjutkan tadi siang. Kegiatan ini diinisiasi oleh Kepala Dusun Ba’ang,” ungkapnya, Sabtu, 25 November
Lasarus mengatakan pada tahun 2022, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat memang sempat membangun jalan di desanya dengan volume pengerjaan sekitar satu kilometer. Tetapi, kata dia, pembangunan jalan itu “belum sampai di lokasi yang kami kerjakan.”
Ia menjelaskan, kalau musim kemarau, memang semua jenis kendaraan bisa masuk ke kampung itu, namun kalau musim hujan tidak satupun kendaraan bisa masuk.
Kendaraan, baik motor maupun mobil, katanya, hanya melintas sampai di ujung jalan Kampung Kotok.
“Mobil dan motor parkir di situ, karena di Kampung Kotok juga jalannya rusak. Aspal hanya sampai di ujung Kampung Kotok,” ungkapnya.
Lasarus bercerita mayoritas warganya bisa mengakses wilayah luar sekali seminggu, yaitu pada hari Kamis saat ada jadwal pasar mingguan di Lembor, di mana warga menjual hasil kebun seperti kemiri, jambu mete, dan kakao.
Jika mengendarai mobil, ongkos ke Lembor Rp40.000 pergi pulang, sedangkan jika mengendarai motor Rp70.000 pergi pulang.
Untuk ke Labuan Bajo dengan mobil, kata Lasarus, menghabiskan Rp60.000 pergi pulang. Jika harus menyewa motor atau ojek ke Labuan Bajo, mereka harus menyiapkan Rp200.000 pergi pulang.
Aventinus Tarus, 34 tahun, Kepala Dusun Ba’ang yang berbicara kepada Floresa pada Sabtu, 25 November mengatakan infrastruktur jalan merupakan kebutuhan dasar bagi warga.
Namun, selama ini, kata dia, “kalau kami minta buat jalan, mereka [pihak pemerintah] selalu bilang tunggu.
“Kami sudah bosan tunggu,” katanya.
Ia menjelaskan, inisiatif warga juga muncul setelah pada 2021, seorang ibu dari kampungnya, Fenita Ngedes, terpaksa melahirkan di tengah jalan karena tidak ada kendaraan yang lewat di wilayah itu.
Padahal, jarak antara kampungnya dengan Puskesmas terdekat di Datak sekitar lima kilometer.
Cerita tentang Fenita itu, kata dia, mendorongnya untuk mengajak warga memperbaiki jalan di Dusun Ba’ang, sekalipun itu merupakan jalan kabupaten.
Walaupun perubahannya tidak signifikan, kata dia, yang terpenting warga bisa mengakses jalan sehingga kejadian Fenita tidak terulang lagi.
“Setidaknya bisa dilewati oleh kendaraan, khususnya kendaraan roda empat. Supaya warga yang sakit atau mau melahirkan lebih mudah mengakses Puskesmas atau rumah sakit,” ungkapnya.
Aventinus mengatakan kegiatan itu sudah dikoordinasikan dan mendapat persetujuan dari Kepala Desa Golo Ndari.
Dalam koordinasi itu, ia juga sempat memohon bantuan pengadaan material, namun tidak dikabulkan oleh kepala desa karena “desa tidak berwenang membangun jalan kabupaten.”
“Tidak ada jatah (dana) dari desa. Paling inisiatif dari desa kemarin sekedar rokok dan kopi. Itu saja,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, pelaksanaan kegiatan itu berbasis pada modal sosial seperti gotong royong dan swadaya.
Material seperti batu, katanya, bersumber dari pemilik tanah di sekitar jalan itu.
Benediktus Hawan, Kepala Desa Golo Ndari yang berbicara kepada Floresa pada Sabtu, 25 November mengkonfirmasi bahwa kegiatan itu sudah dikoordinasikan dengan pemerintah desa, tetapi pihaknya tidak dapat mengintervensi pembangunan jalan itu karena “tidak punya kewenangan.”
“Itu kewenangan kabupaten. Kami tidak bisa mengalokasikan dana desa untuk pembangunan jalan kabupaten,” kata Benediktus.
Ia menjelaskan sudah berkali-kali mencoba mengambil alih pembangunan jalan itu, tapi terhalang oleh regulasi.
“Dana desa tidak bisa dipakai untuk bangun jalan kabupaten,” ungkapnya.
Terus Bersuara
Baru-baru ini, dalam forum Musyawarah Rencana Pembangunan Desa [Musrenbangdes] tahun anggaran 2024, kata Lasarus, warga mengusulkan kepada Pemerintah Desa Golo Ndari dan Camat Welak agar desa mengambil alih pembangunan jalan kabupaten itu.
Namun, usulan tersebut belum disepakati karena berdasarkan regulasi dana desa tidak bisa dipakai untuk membangun jalan kabupaten.
Menurut camat, kata Lasarus, dana desa hanya boleh digunakan untuk membiayai program desa itu sendiri.
Tetapi, menurut Camat, sebagaimana disampaikan Lasarus, jika jalan itu masih tidak diperhatikan, pembangunannya dapat dibiayai oleh dana desa, tergantung pada kesepakatan masyarakat.
Aventinus mengatakan dalam Murengbangdes itu, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat berjanji tahun depan akan mengucurkan dan membangun jalan khususnya dari Kampung Kotok menuju Nggolo.
Menurut kesepakatan kami, kata Aventinus, kalau tahun depan janji itu tetap tidak terealisasi, maka desa akan mengambil alih dana pembangunan fisik untuk membangun jalan kabupaten itu.
“Karena sekarang ada aturan yang mengatakan yang terpenting ada berita acaranya dan berdasarkan kesepakatan masyarakat,” katanya.
Cerita tentang upaya Pemerintah Desa Golo Ndari membangun jalan kabupaten menggunakan Dana Desa mewakili banyak kisah di wilayah lain di pedalaman Kabupaten Manggarai Barat.
Pada 31 Oktober, Okebajo.com melaporkan kondisi ruas jalan Doro-Rokap, yang menghubungkan Desa Kombo Tengah, Kecamatan Pacar dengan Desa Rokap, Kecamatan Macang Pacar.
Kondisi jalan kabupaten itu rusak parah sejak 2005 dan warga telah berulang kali mengajukan proposal perbaikan ke Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Namun, perbaikan belum juga terealisasi.
Luthfiana Fauziah, anggota Kelompok Studi tentang Desa, organisasi mahasiswa berbasis di Yogyakarta mengatakan kalau Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menutup mata terhadap kondisi jalan kabupaten, maka seharusnya tidak ada masalah jika dana desa digunakan untuk membangun jalan itu.
Pada dasarnya, kata dia, dana desa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk pembangunan jalan berdasarkan prakarsa warga.
“Jika masyarakat sampai rela bergotong royong, berarti mereka resah dengan kondisi jalan itu. Maka dapat dikatakan bahwa hal itu menjadi prakarsa masyarakat lokal juga. Jadi, penggunaan dana desa ini sah-sah saja untuk memperbaiki jalan kabupaten,” ungkapnya.
Desa yang “Serba Kurang”
Lasarus mengatakan kehidupan warga di kampungnya “seba kurang” karena belum mampu mengakses berbagai fasilitas publik.
Selain kesulitan mengakses jalan, kata dia, warga juga belum mengakses listrik, air, dan jaringan telepon dan internet.
Baru-baru ini, demi mendapat perhatian pemerintah dan publik, ia mengunggah beberapa foto yang menampilkan kondisi jalan dan semangat gotong royong warga di kampungnya di Facebook.
Foto-foto itu diunggah di akunnya “Acan Najun” pada Rabu, 22 November dan dibagikan di sebuah grup “Jurnal Mabar.”
Lewat unggahan itu, Lasarus menyoroti ironi pembangunan infrastruktur di Manggarai Barat di mana terdapat kesenjangan antara Labuan Bajo dengan wilayah-wilayah pelosok atau pedalaman di kabupaten itu.
Menurutnya, pembangunan di Labuan Bajo yang dalam beberapa tahun terakhir dilakukan secara masif, sangat kontras dengan situasi di desanya.
“Rasanya tidak begitu menarik untuk didengar jika ada yang menyebut bahwa Labuan Bajo sebagai ibukota Kabupaten Manggarai Barat dimahkotai sebagai wisata super premium,” tulisnya.
“Ini bicara persoalan fakta yang mesti diterima oleh sebagian besar desa-desa terpelosok di Manggarai Barat, lebih khusus yang dialami oleh warga Desa Golo Ndari.”
Menurut Lasarus, dari masa ke masa, meski kepemimpinan di kabupatennya silih berganti, namun kondisi infrastruktur jalan di Desa Golo Ndari tetap buruk.
“Apa sih yang membedakan Desa Golo Ndari dengan desa-desa lain”? tulis Lasarus.
Pertanyaan ini, kata Lasarus, berkaitan erat dengan sila kelima Pancasila yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan keadilan milik tongkrongan dan kroni-kroni pejabat.”
Lasarus mengaku cemburu dengan skema pembangunan di Manggarai Barat yang seolah-olah mengistimewakan Labuan Bajo, sementara wilayah pedalaman tidak tersentuh oleh pembangunan.
“Tidak hanya dengan Labuan Bajo, kami juga cemburu dengan desa-desa lain yang sudah maju. Kami macam dianaktirikan oleh pemerintah” ungkapnya.
Dalam catatan lembaga statistik, desa itu masuk dalam kategori sebagai desa tertinggal.
Lasarus berharap tulisan di Facebook itu dapat menjadi pertimbangan sekaligus catatan yang berharga bagi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat dalam mengambil kebijakan.
Sementara itu, Aventinus berharap pembangunan jalan kabupaten yang dilakukan secara gotong royong oleh warga membuka mata pemerintah kabupaten agar memberi perhatian serius pada kondisi infrastruktur di wilayahnya.
“Warga merasa bangga dengan kegiatan itu karena setidaknya jalan di wilayah kami mengalami perubahan, meskipun sedikit,” katanya.
Warga Dusun Ba’ang lainnya, yang meminta Floresa tak menyebut namanya, mengatakan modal sosial seperti swadaya dan gotong royong adalah penyangga penting kegiatan pembangunan di kampungnya.
Ketika kapasitas Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, kata dia, tidak sanggup menjangkau masyarakat, swadaya dan gotong royong merupakan alternatif permanen yang memungkinkan pembangunan di kampungnya berjalan.
“Kegiatan seperti ini tidak perlu menunggu harus pemerintah yang urus karena kami sudah bosan jadi korban harapan palsu pemerintah,” katanya.
“Tujuan kami gotong royong bangun jalan ini supaya kami tetap bisa mendistribusikan hasil tani kami, serta memudahkan akses kami menuju ke Pasar Lembor.”