Koalisi Advokasi Poco Leok Adukan Hakim di Pengadilan Negeri Ruteng ke MA dan KY terkait Polemik Putusan Konsinyasi Lahan Proyek Geotermal

Koalisi menyatakan hakim di Pengadilan Negeri Ruteng sengaja membuat warga adat Poco Leok yang menolak proyek geotermal tidak dapat menghadiri sidang putusan konsinyasi, sementara hakim mengklaim telah bertindak sesuai aturan

Floresa.co – Tim kuasa hukum masyarakat adat Poco Leok di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur mengadukan hakim di Pengadilan Negeri Ruteng yang dinilai tidak profesional dalam penanganan kasus terkait ganti rugi lahan warga untuk proyek geotermal, bagian dari Proyek Strategis Nasional di Flores.

Pengaduan itu terkait langkah pengadilan yang mengambil putusan permohonan konsinyasi pada hari warga termohon mendapat surat panggilan atau relaas dari pengadilan sehingga mereka tidak sempat hadir dalam sidang.

Sementara itu pihak pengadilan mengklaim kesalahan bukan pada mereka, tetapi pada pihak Kantor Pos Indonesia yang terlambat mengantarkan surat panggilan sidang.

Minta MA dan KY Beri Sanksi Tegas

Tim yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Poco Leok melaporkan Ketua Pengadilan Negeri Ruteng, I Made Hendra Satya Dharma ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung [MA] dan Komisi Yudisial [KY] pada 30 Mei.

Tim itu meminta kedua lembaga itu “memberikan peringatan dan teguran serta sanksi” kepada I Made Hendra Satya Dharma.

Kasus ini berkaitan dengan perkara Permohonan Konsinyasi Nomor 1/Pdt P-Kons/2024/PN Rtg, yang diajukan oleh PT PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara [UIP Nusra] terhadap lima warga adat Poco Leok yang menolak pemberian ganti rugi lahan untuk proyek geotermal perluasan Pembangkit Listrik Panas Bumi [PLTP] Ulumbu.

Konsinyasi – dari bahasa Belanda Consignatie – adalah praktik hukum “penitipan uang atau barang pada pengadilan guna pembayaran suatu utang”. Dalam konteks ganti rugi lahan untuk pembangunan demi kepentingan umum, praktik tersebut berarti penitipan ganti rugi oleh pihak pemohon atau yang memerlukan lahan kepada pengadilan karena pemilik lahan menolak jumlah ganti rugi berdasarkan hasil Musyawarah Penetapan Ganti Kerugian.

Dalam salinan putusan yang diperoleh Floresa, Pengadilan Negeri Ruteng menetapkan mengabulkan permohonan PT PLN untuk penitipan uang ganti rugi Rp101.553.530 kepada Panitera Pengadilan Negeri Ruteng.

Lima warga adat pemilik lahan yang menjadi termohon adalah ahli waris Almarhum Gregorius Nahat, yakni Ignasius Nasat, Nikolaus Panas, Yosep Kapas, Mikael Gamar dan Karolus Manjar. 

Kelimanya merupakan warga Kampung Adat Ncamar di Poco Leok yang tinggal di beberapa lokasi di Desa Lungar, Kecamatan Satar Mese, yakni Ncamar, Lengkong dan Beananga.

Keputusan Pengadilan Negeri Ruteng tersebut, yang ditandatangani pada 17 Mei berkaitan dengan ganti rugi lahan dan bangunan seluas 697 meter persegi untuk pembangunan salah satu titik pengeboran atau wellpad.

Lungar adalah satu dari tiga desa di wilayah Poco Leok yang menjadi sasaran perluasan PLTP Ulumbu Unit 5-6.

Pengadilan Dinilai Sengaja Membuat Warga Tak Ikut Sidang

Koalisi Advokasi Poco Leok mempersoalkan langkah Pengadilan Negeri Ruteng karena menetapkan putusan tanpa kehadiran para pemohon.

Menurut koalisi, pemohon tidak hadir karena relaas persidangan pertama kepada para termohon “baru diserahkan oleh Juru Sita Pengadilan Negeri Ruteng pada hari Jumat 17 Mei 2024 pukul 12.00 WITA.”

“Padahal, persidangan akan dilangsungkan pada hari yang sama pukul 09.00 Wita,” tulis koalisi dalam siaran pers yang diterima Floresa pada 30 Mei.

Koalisi menduga terjadi “kesengajaan oleh Pengadilan Negeri Ruteng mengingat relaas panggilan sudah ditandatangani oleh Juru Sita Pengganti Pengadilan Negeri Ruteng, Luther Viktor Manafe pada tanggal 13 Mei 2024.”

Gregorius B. Djako, salah satu anggota tim hukum koalisi berkata, tindakan Ketua Pengadilan Negeri Ruteng yang juga hakim dalam penanganan kasus ini “tidak profesional dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 5 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU RI No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.”

Menurutnya, “seorang hakim diwajibkan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan di tengah masyarakat.”

“Karena itu, hakim harus memiliki integritas dan berkepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum serta wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim,” katanya.

Hal senada diungkapkan oleh anggota tim hukum lainnya Ermelina Singereta bahwa  Ketua Pengadilan Negeri Ruteng  “secara sadar tidak bersikap adil serta tidak profesional dalam memutuskan perkara.” 

“Tindakan hakim bertentangan dengan keputusan bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim,” katanya.

Ia berkata, seorang hakim “minimal harus bersikap mandiri, berperilaku adil dan bersikap profesional.”

“Artinya hakim membuka ruang sebesar-besarnya agar masyarakat pencari keadilan mendapatkan keadilan yang hakiki dalam setiap keputusannya, kata Ermelina”

“Komisi Yudisial diharapkan memberikan rekomendasi kepada Ketua Mahkamah Agung agar memberikan peringatan dan teguran kepada Ketua Pengadilan Negeri Ruteng yang juga telah memimpin persidangan pada permohonan ini,” tambahnya.

Ia juga berharap Badan Pengawasan Mahkamah Agung memberikan peringatan dan teguran serta sanksi kepada Ketua Pengadilan Negeri Ruteng, “karena sikap dan tindakannya yang tidak mempertimbangkan kehadiran para termohon dalam persidangan.” 

“Dampak putusan pengadilan ini menghilangkan hak-hak konstitusional para termohon dan juga Masyarakat Adat Poco Leok yang lainnya yang sedang mempertahankan hak-haknya atas tanah ulayat,” pungkasnya.

Warga Persoalkan Isi Permohonan Konsinyasi

Karolus Manjar, warga yang juga salah seorang termohon membenarkan relaas yang dikirimkan pada hari yang sama dengan jadwal persidangan oleh PN Ruteng.

“Waktu itu petugas Kantor Pos antar surat tanggal 17 untuk ikut sidang tanggal 17, bahkan juga diantar jam 11.00, sementara waktu sidang jam 09.00 pagi,” katanya kepada Floresa pada 31 Mei.

Ncamar, kampung asal para termohon berjarak sekitar 50 kilometer sebelah selatan Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Waktu tempuh perjalanan dengan sepeda motor bisa mencapai satu hingga satu setengah jam.

Ia juga berkata, “bingung dengan isi surat dan putusan” karena menyebutnya sebagai ahli waris Almarhum Gregorius Nasat, padahal ia adalah anak dari Ignasius Nasat atau cucu Gregorius.

“Seharusnya hanya ada empat orang ahli waris Gregorius, yaitu anak-anaknya sendiri, bukan termasuk saya,” katanya.

Empat ahli waris itu termasuk dalam daftar empat termohon lainnya – Ignasius Nasat, Nikolaus Panas, Yosep Kapas, Mikael Gamar.

Meski demikian, kata dia, para termohon dalam perkara tersebut hingga kini tetap pada  sikap “menolak memberikan lahan bagi proyek geotermal Poco Leok”.

“Kami semua menolak, dan kami berharap penitipan ganti rugi di Pengadilan Negeri Ruteng itu dibatalkan saja, apalagi prosedurnya tidak melibatkan kami,” kata Karolus.

“Sebenarnya mereka bayar ganti rugi atas apa? Itu uang apa? Sementara kami sejak awal tidak berikan lahan,” tambahnya.

Hakim Sebut Kantor Pos Telat Antar Relaas

Menanggapi langkah koalisi, Ketua Pengadilan Negeri Ruteng, I Made Hendra Satya Dharma menyatakan pihaknya tidak dengan sengaja terlambat memberikan relaas kepada termohon.

Ia mengklaim telah bekerja sesuai aturan, khususnya Peraturan MA [Perma] Nomor 3 Tahun 2016 yang sudah diperbarui dalam Perma Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Keterlambatan surat panggilan kepada termohon, kata dia, adalah tanggung jawab pihak Kantor Pos yang menjadi pihak ketiga pengirim surat kepada termohon.

“Kami sudah melakukan pemanggilan pada tanggal 13 Mei, melalui Kantor Pos Ruteng. Sesuai dengan peraturan MA bahwa surat relaas dikirimkan melalui pihak ketiga, maka Kantor Pos-lah yang terlambat memberi tahu, yaitu tanggal 17 Mei,” katanya kepada Floresa pada 1 Juni.

“Kesalahannya bukan pada pihak kami, tetapi ada pada pihak Pos,” lanjutnya.

Pihak Kantor Pos Ruteng, kata dia, sudah menghubungi stafnya untuk memberi klarifikasi terkait keterlambatan pengiriman tersebut, meski secara resmi “berita acara keterlambatan belum ada dari Kantor Pos”.

Hadir atau Tidak, Konsinyasi Tetap Sah

Ia menambahkan, pasal 29 ayat 5 dalam Perma Nomor 2 tahun 2021 juga menerangkan bahwa ketidakhadiran pemohon dan termohon dalam sidang konsinyasi tidak menghalangi penetapan untuk mengabulkan permohonan pihak pemohon, dalam hal menitipkan ganti rugi di pengadilan.

“Hadir tidak hadir, tidak menghalangi berita acara penitipan ganti kerugian, karena kami sifatnya hanya menerima penitipan,” katanya.

“Karena kami hanya menerima penitipan, dalam hal penetapan juga tidak ada upaya hukum kasasi,” lanjutnya.

Hal tersebut, kata dia, sama dengan proses penawaran ganti rugi kepada termohon, “walaupun termohon menolak menerima, tidak menghalangi dinyatakannya berita acara atau tidak menghalangi penitipan ganti kerugian.”

Meski demikian, kata dia, penetapan tersebut “tidak berkaitan dengan alih kepemilikan lahan” milik para ahli waris kepada PT PLN, karena pihaknya tidak membuat putusan perkara.

“Apabila kemudian hari para pihak mau mengambil uang yang dititipkan, silakan saja, kalaupun tidak, silakan, karena uangnya tetap disimpan di rekening, tidak berbunga, tidak bertambah atau berkurang, tetap begitu sampai beberapa tahun kemudian,” katanya.

“Sebenarnya para termohon ini sebelumnya punya hak melakukan gugatan keberatan, yaitu empat belas hari semenjak musyawarah mereka dengan BPN [Badan Pertanahan Nasional],” tambahnya.

Terkait proses konsinyasi tersebut, Made menjelaskan bahwa pihaknya memiliki batas waktu empat belas hari sejak pemohon mendaftarkan permohonan penitipan ganti rugi.

Ia mengatakan PT PLN mendaftarkan permohonan pada 2 Mei, sehingga sidang pada tanggal 17 Mei sudah sesuai aturan “paling lambat empat belas hari.”

Terkait pengaduan koalisi, Made berkata, tugasnya “hanya menjalankan peraturan undang-undang”.

“Masalah itu biasa, itu hak mereka. Kalau lewat dari empat belas hari, baru kami disebut tidak profesional,” katanya.

Sementara itu, hakim lainnya Carisma Gagah Arisatya menjelaskan “konsinyasi berbeda dari perkara sengketa atau perkara gugatan”.

Ia mengatakan “perkara gugatan itu ada lawan, ada pembuktian”.

“Konsinyasi tidak ada pembuktian terkait kepemilikan [lahan]. Konsinyasi hanya penitipan [ganti rugi], PLN sebagai pemohon dan para ahli waris sebagai termohon,” katanya.

Ia mengatakan Pengadilan Negeri Ruteng “hanya sebagai perantara” untuk menerima permohonan penitipan dari PT PLN atas dasar Peraturan Mahkamah Agung.

Kantor Pengadilan Negeri Ruteng Kelas II. (Anno Susabun/Floresa)

Proyek Didorong di Tengah Penolakan Warga

Polemik ini terjadi di tengah langkah pemerintah dan PT PLN terus menggolkan proyek geotermal di Poco Leok, yang ditentang warga.

Lahan milik lima warga adat termohon tersebut yang terletak di sekitar Lingko Mesir dan Kampung Adat Ncamar, Desa Lungar, termasuk dalam titik pengeboran atau Wellpad F. 

Selain titik tersebut, pemerintah dan PT PLN juga telah menetapkan Wellpad D di Lingko Tanggong, tanah ulayat Gendang Lungar, Wellpad E di Lingko Pinis milik Gendang Lelak, dan Wellpad G di wilayah Desa Wewo.

Proyek geotermal di Poco Leok menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt yang dihasilkan saat ini.

Proyek ini termasuk dalam Proyek Strategis Nasional, bagian dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.

Sementara pemerintah dan PT PLN gencar melakukan sosialisasi dan aktivitas di titik pengeboran yang telah dipatok, warga dari belasan kampung adat di Poco Leok tetap tegas menyatakan penolakan.

Beragam upaya dilakukan warga, di antaranya pengiriman surat aduan kepada pendana proyek, Bank Kreditanstalt für Wiederaufbau [KfW] asal Jerman

Mereka juga telah menulis surat kepada pihak pemerintah dan Kantor Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional [ATR/BPN] Manggarai, di samping berbagai aksi penghadangan terhadap aktivitas perusahaan dan unjuk rasa di sejumlah lokasi, seperti di Ruteng, Kupang dan Jakarta.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA