Floresa.co – Langkah perusahaan tambang mangan PT Sumber Jaya Asia [SJA] untuk beroperasi kembali di Kecamatan Reok, wilayah pesisir utara Kabupaten Manggarai yang berhadapan langsung dengan Laut Flores, mendapat penolakan dari warga adat setempat dan lembaga Gereja Katolik.
Sejumlah alat berat sudah dikerahkan ke lokasi pada bulan lalu, meski pantauan Floresa pada 4 Agustus, perusahaan itu belum memulai aktivitas lapangan.
PT SJA mengantongi Izin Usaha Pertambangan [IUP] Operasi Produksi mangan di Kampung Bone Wangka, Kelurahan Wangkung, Kecamatan Reok. Izinnya mencakup lahan seluas 77,43 hektare yang berlaku hingga 2027.
Kehadiran kembali PT SJA mengejutkan Lius Andara, tetua Kampung Jengkalang, induk dari Kampung Bone Wangka.
Lius yang berbicara dengan Floresa pada 4 Agustus berkata, ia menolak kehadiran perusahaan tambang, sebagaimana yang ia lakukan satu dekade silam.
“Dulu tanah kami hancur, tanaman tak dapat tumbuh lagi, nelayan juga tidak bisa cari ikan dekat pantai,” katanya.
“Kalau mereka eksploitasi mangan, kami yang kena getahnya. Biji mangan pasti jatuh sampai ke pemukiman warga,” tambah Lius.
Bone Wangka merupakan pengembangan kampung Jengkalang, membuat keduanya merupakan satu kesatuan adat. Jarak keduanya hanya sekitar satu kilometer.
Lius berkata, ia pernah terlibat dalam gerakan penolakan PT SJA di wilayah Reok bersama lembaga Gereja Katolik, baik lewat Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation [JPIC] maupun Keuskupan Ruteng.
Alasan penolakan pada 2007 hingga 2010 itu, katanya, karena kehadiran PT SJA memberi ancaman terhadap kehidupan warga sekitar, baik terhadap mata pencaharian maupun lahan pertanian.
Ia lalu menyampaikan masalah ini ke Keuskupan Ruteng yang ketika itu dipimpin Uskup Eduardus Sangsun, SVD.
“Dari situ mereka [keuskupan] melakukan kajian, lalu melakukan protes agar PT SJA segera ditutup,” kata Lius.
Selain soal dampak lingkungan, ia juga mempersoalkan janji perusahaan untuk menyumbang Rp100 juta bagi gereja di Jengkalang, yang hingga PT SJA hengkang tidak ditepati.
PT SJA, kata dia, juga pernah berjanji membayar pemakaian tanah lingko sebesar Rp75 juta usai melakukan penambangan.
“Sampai mereka pulang, tidak ada [realisasi janji]. Banyak lingko yang mereka pakai untuk kegiatan pertambangan,” katanya.
Lius berkata sikapnya tak berubah hingga saat ini, yaitu tetap tolak tambang.
Apa Kata Lembaga Gereja Katolik?
PT SJA mendapat IUP Operasi Produksi dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] pada 2017, yang berlaku 10 tahun.
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberi jaminan perpanjangan IUP operasi produksi hingga dua kali, masing-masing 10 tahun, setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hal ini membuat izin PT SJA berpeluang diperpanjang selama 20 tahun atau hingga 2047.
Joko Aribowo, kepala teknik tambang PT SJA mengklaim kepada Floresa bahwa pihaknya sudah membeli “sebagian” lahan milik warga setempat.
Seorang warga yang meminta namanya tak ditulis mengaku ada 14 warga di kampung itu yang memiliki lahan di lokasi penambangan, termasuk dirinya. Lahan-lahan itu sudah diserahkan ke PT SJA sejak 2014.
Koordinator lembaga advokasi Gereja Katolik, JPIC-SVD Ruteng, Pastor Simon Suban Tukan SVD berkata, ia kaget mendengar kabar PT SJA akan beroperasi kembali.
“Ini sama sekali kami tidak tahu,” katanya kepada Floresa.
Ia menjelaskan, pemerintah sudah melakukan moratorium kegiatan pertambangan di wilayah Manggarai dan Manggarai Timur pada 2010, merespons penolakan masyarakat.
“Yang kami tahu waktu tahun 2010 lalu PT SJA dan seluruh perusahaan tambang lainnya sudah tak diberi izin lagi,” katanya.
Menurut Simon, ada 48 IUP yang dicabut saat itu.
PT SJA, kata Simon, melakukan kegiatan eksplorasi mangan di beberapa Lokasi dan memicu persoalan.
Salah satunya di Desa Robek, dekat Gua Maria Torong Besi, berdasarkan izin Bupati Christian Rotok No.HK.217/2008 tanggal 28 Agustus 2008 yang berlaku selama dua tahun.
Selain itu adalah di Dusun Ropang, Lante, Kecamatan Reok Barat, juga atas izin yang diterbitkan Rotok No.HK.27/2009, berlaku selama dua tahun.
Tempat ketiga di Bone Wangka, Kelurahan Wangkung, Kecamatan Reok dengan izin dari Rotok No.HK.72/2009 tanggal 12 Maret 2009.
Penolakan secara terbuka, kata Simon, dilakukan pada 2009, dengan sejumlah pertimbangan.
Salah satunya PT SJA terbukti beroperasi di hutan lindung Rego RTK 103 Nggalak Rego tanpa izin pemerintah.
Selain itu adalah keluhan warga ke Uskup Ruteng bahwa kehadiran tambang membawa dampak buruk bagi kehidupan sosial dan mata pencaharian.
Alasan berikutnya adalah lokasi tambang mangan yang tidak jauh dari Gua Maria Torong Besi, tempat ziarah rohani umat Katolik.
“Kegiatan pertambangan yang menggunakan bahan peledak saat itu sangat mengganggu aktivitas keagamaan di Gua Maria,” katanya.
Warga, katanya, juga mengeluh karena batu-batu hasil peledakan mangan dari gunung jatuh sampai ke pemukiman.
Sawah warga dan tumbuh-tumbuhan juga mati akibat terkontaminasi oleh debu mangan, kata Simon.
Ia juga menyinggung soal nelayan di pesisir pantai yang tidak lagi bisa mencari ikan di laut terdekat, membuat mereka terpaksa melaut hingga wilayah perairan Labuan Bajo di sebelah barat.
Hasil penolakan itu, yang didukung dengan hasil penyelidikan polisi, kata Simon, membuat operasi PT SJA ditutup pada 31 Maret 2010, baik yang di Lante, Robek maupun Bone Wangka, kendati proses hukum karena menambang di hutan lindung ujungnya kemudian tidak jelas.
Simon berkata, merespons kehadiran kembali PT SJA di Bone Wangka, pihaknya akan mengkaji izinnya.
Penolakan juga disuarakan JPIC-OFM, lembaga Gereja Katolik lainnya yang getol mengkritisi masalah pertambangan di NTT.
Pastor Yohanes Kristoforus Tara, OFM dari bidang advokasi lembaga itu berkata, sikap mereka terhadap investasi pertambangan di NTT tidak berubah.
Pihak yang berkepentingan dengan tambang adalah semua orang dan makhluk yang terdampak, katanya.
Karena itu, menurut Kristo, tambang di Reok itu bukan hanya menjadi urusan 14 warga yang sudah menyerahkan lahannya ke PT SJA, tetapi perlu memperhatikan warga lingkar tambang dengan segala dampaknya.
“Pemerintah dan perusahaan bisa jamin atau tidak warga sekitar tidak terkena dampak?” katanya
“Dulu banyak warga, tumbuh-tumbuhan dan air laut tempat mata pencaharian mereka terkontaminasi dengan debu mangan. Kenapa mesti kita ulangi lagi?”
PT SJA Tak Sendirian
PT SJA bukan satu-satunya perusahaan yang mengantongi izin tambang aktif di wilayah Manggarai dan Manggarai Timur – dua kabupaten di Flores yang menjadi target utama tambang mangan.
Bila dibandingkan dengan pada 2009-2010, di mana terdapat 21 IUP di kedua kabupaten itu milik 13 perusahaan, kini hanya tersisa tiga yang masih aktif.
Selain PT SJA, dua perusahaan lain yang mengantongi IUP Operasi Produksi adalah PT Istindo Mitra Perdana dan PT Aditya Bumi Pertambangan – keduanya di Manggarai Timur.
Penelusuran Floresa di data Kementerian ESDM, PT Istindo Mitra Perdana yang dimiliki oleh PT Mangan Reo Indonesia [95%] dan Trenggono [5%] mengantongi IUP operasi produksi mangan dengan nomor 544/06/KPPTSP/2016.
Izinnya berlaku pada 27 Juli 2016 hingga 27 Juli 2027, untuk wilayah seluas 746,3 hektare.
Sementara, PT Aditya Bumi Pertambangan mengantongi IUP dengan nomor HK/81/2009 untuk lahan seluas 2.222 hektare. Izin operasi produksinya berlaku dari 27 Agustus 2009 hingga 27 Agustus 2029.
Laporan ditulis kontributor Berto Davids
Editor: Petrus Dabu