Floresa.co – Saban pekan, Getrudis Making menghabiskan Rp75.000 untuk mengisi air di tong fiber berukuran 1.200 liter di belakang rumahnya.
Pengeluaran itu setara harga satu tangki air yang dibeli dari mobil milik Perusahaan Daerah Air Minum [PDAM] Kabupaten Lembata.
Dalam sebulan, Getrudis menghabiskan Rp300.000.
Air itu dipakai untuk cuci, mandi, masak dan kebutuhan di toilet.
Sementara untuk minum, ia membeli galon isi ulang seharga Rp5.000. Sepekan ia butuh dua galon, sehingga total menghabiskan Rp40.000 sebulan.
“Air itu untuk kebutuhan tujuh orang di rumah,” katanya kepada Floresa pada 5 Agustus.
Getrudis, 35 tahun, adalah warga Desa Lamawolo, salah satu dari desa di Kabupaten Lembata yang ikut terdampak badai siklon Seroja pada April 2021, selain Desa Waimatan dan beberapa desa lainnya di Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur.
Badai itu yang memicu banjir dan longsor di sejumlah desa di lereng Gunung Ile Lewotolok, menewaskan 68 orang, di mana 46 jenazah ditemukan dan 22 jenazah dinyatakan hilang.
Hal ini membuat warga kemudian direlokasi ke pemukiman baru yang dibuat pemerintah dan kini dikenal sebagai desa relokasi.
Getrudis tinggal bersama suami dan lima anak yang sedang bersekolah.
Dua anak kandung Getrudis, tiga lainnya anak dari saudaranya yang merantau ke Malaysia sebagai buruh migran.
Di Desa Waimatan, Yanti Alfianan Timneno juga mengeluhkan pengeluaran yang tinggi untuk air bersih, selain untuk listrik.
Sama seperti Getrudis, dalam seminggu Yanti yang suaminya bekerja di salah satu koperasi swasta di Lembata menghabiskan Rp75.000 untuk membeli air.
Getrudis cukup beruntung karena saudaranya di Malaysia mengirim uang tiap bulan untuk membantu kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk air, selain untuk biaya sekolah anak-anak.
“Tiap bulan [kami] dikirim dua koma lima juta,” katanya.
Satu juta di antaranya untuk beli air dan listrik, “satu setengah juta lagi untuk uang sekolah dan kebutuhan di rumah,” katanya.
Saat ini, jumlah kepala keluarga di Desa Lamawolo dan Waimatan, masing-masing 142 dan 160 kepala keluarga.
Mereka menempati rumah berukuran enam kali enam meter persegi yang dibangun oleh Kementerian Sosial pada 2021.
Pantauan Floresa, sebagian dari rumah itu kosong, ditinggal penghuni yang memilih kembali ke tempat tinggal mereka sebelumnya untuk bertani.
“Rata-rata pekerjaan warga Lamawolo adalah petani. Mereka lebih memilih kembali ke desa asal, di arah timur Gunung Ile Lewotolok”, kata Paul Mamun, warga Lamawolo.
“Mereka kembali karena di kampung asli, semua tersedia, terutama air,” katanya.
Ia berkata, warga tidak sanggup membiayai hidup selama di desa relokasi, termasuk untuk membiayai sekolah anak.
Banyak anak yang “hanya tamat SMP, tertinggi tamat SMA,” katanya.
Kepala Desa Waimatan, Onesimus Sili berkata, pada awal relokasi, warga sempat mendapat pasokan air.
Namun, “air keluar enam bulan pertama” dan “hanya 30 menit” setiap hari.
Balai Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR] Provinsi NTTT sempat membuat sumur bor, katanya, namun tidak berfungsi usai mesinnya rusak.
Ia mengaku pernah menyuarakan masalah krisis air bersih ini melalui forum musyawarah di desa, kecamatan, hingga menyampaikan langsung ke anggota DPRD Lembata.
Pada September 2023, katanya, sempat ada pemboran di sekitar bak penampung yang sudah ada oleh Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten.
Proyek itu menghabiskan anggaran Rp200.000.000, namun, setelah bulan Maret “air tidak keluar.”
Pemboran sumur bor itu dibenarkan Pejabat Pembuat Komitmen sekaligus Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Lembata, Sinyo Kaona.
“Kami bangun melanjutkan bak Balai Dinas PUPR Provinsi,” katanya.
Item pengerjaan, katanya, mencakup penggalian sumur sedalam 80 meter, pengadaan mesin, pembayaran konsultan, plus jaringan distribusi.
Ia mengakui bahwa kini fasilitas itu memang sudah tidak berfungsi.
Getrudis menambahkan, pada 2023 mereka juga mendapat bantuan air bersih yang disalurkan oleh LSM Plan International Area Lembata dan Polres Lembata.
Namun, pendistribusian gratis itu hanya berlangsung sepuluh bulan sehingga setelahnya “semua warga desa Lamawolo kembali membeli air tangki.”
Onesimus berkata, ia sebetulnya ingin menggunakan dana desa untuk menyediakan air bersih.
Namun, ada kendala soal belum definitifnya pembagian peta wilayah desa, yang menjadi kewenangan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa.
“Risikonya dana desa tidak bisa dipakai untuk membangun sarana prasarana, khususnya fisik,” katanya.
Ia pun berharap pihak PDAM membuka akses dan mendistribusikan air di wilayah Desa Lamawolo dan Waimatan.
Sementara itu Kepala PDAM Lembata, Lambertus Ola, menjelaskan mekanisme perizinan pengelolaan air ditetapkan oleh pemerintah daerah.
“Kalau pemda sudah serahkan ke pihak PDAM, nanti bisa kami salurkan,” katanya.
Ia berkata, saat ini pihak PDAM belum bisa menyalurkan air ke dua desa itu karena infrastrukturnya belum disiapkan oleh pemerintah.
Editor: Ryan Dagur