Pimpinan Kampus di NTT Ikut Kecam Pemerintahan Jokowi yang Bawa Krisis Bangsa, Ajak Masyarakat Rawat Demokrasi

Mereka mengajak warga mengawal tujuan dan semangat reformasi demi kedaulatan rakyat secara konstitusional, cerdas dan damai

Floresa.co – Pimpinan sejumlah kampus di NTT ikut mengecam pemerintahan Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo yang dinilai membawa krisis terhadap bangsa dan mengancam kehidupan bernegara yang konstitusional demi kepentingan politik kekuasaan.

Dalam sebuah pernyataan, mereka menegaskan bahwa “demokrasi bukan sekadar prosedur, tetapi harus mencerminkan etika publik yang menghormati hak-hak asasi setiap individu dan menjunjung tinggi keadilan sosial.”

Pernyataan itu muncul saat DPR RI pada 22 Agustus hendak mengesahkan revisi Undang-Undang [UU] Pilkada, yang dianggap banyak pihak dipicu upaya memperkuat pengaruh politik dinasti Jokowi.

Langkah DPR itu telah memicu aksi protes yang meluas di Jakarta dan sejumlah kota lain, di mana ribuan orang turun ke jalan, termasuk para guru besar sejumlah kampus, aktivis, mahasiswa hingga komika dan selebritis.

Pengesahan UU itu ditunda pada 22 Agustus pagi karena anggota DPR yang hadir paripurna tidak memenuhi kuorum.

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad kemudian mengumumkan pembatalan pengesahannya pada 22 Agustus malam, usai protes yang terus memanas dan diwarnai kericuhan, termasuk aksi massa yang merobohkan pagar gedung DPR.

Kecaman pimpinan kampus-kampus di NTT muncul dalam pernyataan yang dirilis Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik [APTIK].

Terdapat 26 pimpinan kampus Katolik yang menandatangani pernyataan itu. Empat di antaranya dari kampus di NTT, yakni Pastor Philipus Tule, SVD dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang; Wilhelmus Yape Kii dari Universitas Katolik Weetebula, Sumba Barat Daya; Marselus Ruben Payong dari Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng dan Pastor Otto Gusti Ndegong Madung, SVD dari Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero.

Mereka menyatakan, situasi saat ini “berpotensi membawa krisis bangsa dan mengancam keberlangsungan hidup bernegara yang konstitusional.”

Karena itu, mereka menyerukan agar “presiden, DPR, seluruh lembaga negara, TNI dan Polri serta partai politik tetap setia pada konstitusi, pada rakyat dan pada kebaikan bersama, bukan demi kepentingan politik kekuasaan dan ekonomi elite tertentu.”

Upaya DPR yang hendak secara kilat mengesahkan UU Pilkada, terjadi setelah Mahkamah Konstitusi [MK] mencabut persyaratan ambang batas minimum partai politik untuk mencalonkan kandidat dalam pilkada dan mempertahankan batas usia minimum 30 tahun untuk kandidat.

Putusan yang diumumkan pada 20 Agustus itu secara efektif memblokir pencalonan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep yang berusia 29 tahun dan digadang-gadang menjadi calon wakil gubernur di Jawa Tengah.

Putusan itu juga akan memungkinkan tokoh lain seperti Anies Rasyid Baswedan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur di DKI Jakarta yang semula dikhawatirkan hanya akan melawan kotak kosong atau calon boneka.

Sebelum putusan MK, partai-partai yang bersekutu dengan Jokowi kompak membentuk koalisi untuk pemilihan gubernur DKI Jakarta, menyisakan PDI Perjuangan sendirian, yang tidak bisa mengusung calon karena tidak memenuhi syarat ambang batas.

Jika paripurna jadi digelar, revisi UU Pilkada itu dipastikan akan disahkan karena parlemen saat ini didominasi oleh koalisi besar yang berpihak pada Jokowi dan presiden terpilih Prabowo Subianto.

Langkah parlemen yang berarti berusaha membatalkan putusan MK itu memicu protes luas. Pasca Badan Legislatif DPR pada 21 Agustus menyepakati usulan membawa revisi UU Pilkada dalam paripurna, sebuah poster biru yang menampilkan kata-kata “Peringatan Darurat” di atas lambang negara Garuda Pancasila menjadi ramai media sosial.

Dalam pernyataannya, para pimpinan kampus APTIK mendesak presiden dan DPR menghormati putusan MK dan mematuhinya sebagai keputusan yang final dan mengikat.

“Kesetiaan pada konstitusi adalah landasan dari tegaknya demokrasi yang sehat dan berkeadaban. Segala bentuk penyimpangan dari nilai-nilai konstitusi dan amanah reformasi akan membawa bangsa ini pada kemunduran dan kehancuran moral,” kata mereka.

Mereka juga meminta seluruh masyarakat Indonesia untuk terus mengawal tujuan dan semangat reformasi demi kedaulatan rakyat secara konstitusional, cerdas dan damai.

“Kedaulatan rakyat harus menjadi prinsip yang tidak dapat ditawar, karena di sanalah letak kekuatan dan martabat bangsa ini,” kata mereka.

Mereka berpesan agar semua elemen masyarakat “bersama-sama menjaga dan merawat demokrasi Indonesia, demi masa depan yang lebih baik, adil, dan bermartabat bagi seluruh rakyat.”

Jokowi akan diganti pada 20 Oktober oleh Prabowo, yang menang telak dalam pemilihan Februari lalu, berpasangan dengan putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka.

Pertama kali terpilih pada 2014, Jokowi saat itu dipuji sebagai pahlawan demokrasi karena -dianggap tidak terikat oleh oligarki dan elite militer yang mengakar di Indonesia, termasuk pasca kejatuhan presiden otoriter Soeharto pada 1998.

Namun, akhir-akhir ini, ia terus dikritik dan dikecam karena kemunduran demokrasi di lembaga-lembaga negara selama satu dekade masa jabatannya dan upayanya menancapkan dinasti politik.

Pada pemilihan presiden, ia memilih diam ketika MK, yang ketika itu dipimpin iparnya Anwar Usman, mengubah persyaratan usia kandidat untuk memuluskan anaknya, Gibran menjadi wakil presiden. Padahal, putusan itu berujung pada vonis pelanggaran etik berat oleh Usman, hingga ia dipecat dari posisi sebagai Ketua MK.

Sikap Jokowi yang diam dengan putusan MK yang menguntungkan Gibran itu berbeda dengan sikapnya dengan putusan terbaru yang menggagalkan Kaesang untuk menjadi wakil gubernur.

Dalam video yang diunggah di akun media sosialnya pada 21 Agustus, ia meminta untuk menghormati kewenangan masing-masing lembaga negara, menyebutnya proses konstitusional dalam sistem demokrasi di Indonesia.

“Keputusan MK dan pembahasan DPR adalah bagian dari dari check and balances yang harus berjalan,” katanya.

Pantauan Floresa di akun Instagram Jokowi, pernyataan umumnya direspons negatif.

Salah satu pemilik akun memberi komentar, “kukira harapan baru, ternyata Soeharto baru.”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA