Floresa.co – Berbagai elemen masyarakat sipil mendesak anggota Tentara Nasional Indonesia [TNI] yang terlibat kasus kekerasan fisik terhadap warga sipil diproses hukum di pengadilan umum, termasuk dalam kasus penganiayaan di Alor, NTT baru-baru ini.
Bivitri Susanti, akademisi dan pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera berkata, pengusutan tiga anggota TNI yang menganiaya Jonikalep Lakalol di Alor seharusnya dilakukan oleh penegak hukum, bukan “sebaliknya oleh tentara sendiri.”
Namun, kata Bivitri, yang berbicara kepada Floresa pada 14 Januari, tantangan pengusutan kasus Joni oleh polisi adalah berurusan dengan tentara, hal yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal.
Karena itu, menurutnya, pengusutan motif penganiayaan itu secara sipil harus dilakukan secara transparan, terutama melalui tim independen yang melibatkan tim penyidik kepolisian, kejaksaan, tentara dan masyarakat sipil.
“Harus ada tim independen pencari fakta. Prinsipnya sama, harus diselidiki dulu, diinvestigasi secara mendalam dengan tujuan untuk pembuktian nanti dalam proses pengadilan umum,” kata Bivitri.
Tiga anggota TNI menculik dan menyiksa Jonikalep Lakalol, warga Desa Wolwal, Kecamatan Alor Barat Daya di Markas Kodim 1622/Alor pada 2 Januari.
Buntut dari penganiayaan itu, korban mengalami luka lebam di wajah, gigi rontok, dan luka di bagian punggung karena dipukul menggunakan kabel.
Komandan Kodim 1622/Alor, Amir Syarifudin, mengakui bahwa tiga bawahannya melakukan tindakan “main hakim sendiri” karena terpancing emosi dan kurang berpikir jernih.
Dalam video klarifikasi yang diunggah pada 5 Januari melalui kanal YouTube Warta Alor, Amir meminta maaf kepada masyarakat atas insiden tersebut, seraya menegaskan bahwa tindakan bawahannya tetap salah, apapun situasinya.
Ia berjanji bahwa ketiga anggotanya akan diadili di peradilan militer dan tidak akan diselesaikan secara damai karena tindakan mereka telah merusak citra TNI.
Pada 9 Januari, korban mengadu ke Ombudsman sembari meminta mengawal proses hukum bagi tiga pelaku yang bertugas di Kodim 1622/Alor.
Senada dengan Bivitri, desakan agar “proses hukum bagi tiga pelaku mesti dilaksanakan di peradilan umum” disampaikan perwakilan keluarga Joni, Erwin S. Padademang.
Erwin berkata, tuntutan itu berdasarkan bunyi pasal-pasal 63–65 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang mengatur tentang prajurit yang hilang, diberhentikan, dan masih hidup.
Peradilan hukum pidana umum bagi anggota militer juga diatur dalam Pasal 3 ayat 4 TAP MPR No. VII/MPR/2000, Pasal 65 ayat 2 UU No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI, Pasal 198 UU No. 31 tahun 1997 Tentang Peradilan Militer.
“Diadili di peradilan umum supaya ada efek jera bagi tiga anggota TNI dan kejadian serupa tidak terulang lagi,” kata Erwin kepada Floresa pada 14 Januari.
Sementara itu, Muhamad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia yang berbicara kepada Floresa pada 7 Januari mengatakan kasus pemukulan terhadap Joni tidak cukup diadili hanya di peradilan militer.
Ia menjelaskan, proses hukum di peradilan militer tidak akan sungguh-sungguh menjamin pemeriksaaan dan hukuman kepada pelaku.
Peradilan Militer karena Pelaku Militer Aktif
Polemik terkait proses hukum TNI pelaku kekerasan di peradilan militer mencuat setelah pernyataan pers Haryanto, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia [Kapuspen TNI] terkait kasus penembakan di Tangerang pada 2 Januari.
Ia berkata, anggota TNI Angkatan Laut yang melakukan tindak pidana penembakan bos rental mobil di rest area KM 45 Tol Merak-Tangerang itu “tidak harus diadili di peradilan sipil atau umum karena [masih berstatus] militer aktif.”
Merespons Haryanto, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid berkata, kurang tepat status militer aktif menjadi alasan untuk menolak mengadili pelaku di peradilan umum.
“[Keputusan] ini tidak adil terutama bagi korban dan keluarganya,” kata Usman dalam pernyataan tertulis pada 9 Januari.
Ia menjelaskan, dalil status militer aktif bagi anggota yang melakukan tindak pidana umum menunjukkan tidak adanya kesetaraan di muka hukum.
Pembelaan tersebut, kata Usman, justru memperkuat sentimen di masyarakat bahwa ada kekebalan hukum bagi warga negara berstatus militer.
Padahal, kekerasan apapun yang dilakukan anggota TNI jelas suatu “pelanggaran hukum pidana umum, bahkan pelanggaran hak asasi manusia.”
Pasal 27 ayat [1] UUD 1945 menyatakan “setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.“
“Semua warga negara yang terlibat masalah hukum mendapatkan perlakuan yang sama dari aparat penegak hukum,” kata Usman.
Bivitri Susanti mengatakan penanganan tersangka penembakan melalui Kitab Undang-Undang Pidana Militer dan pemeriksaannya oleh militer mulai dari oditur militer, “cenderung tidak memberikan sanksi yang maksimal.”
Oditur merupakan jaksa dalam peradilan militer. Oditur bertugas menyidik, memeriksa bukti-bukti dan menuntut terdakwa anggota militer.
Secara konstitusional, kata Bivitri, sebenarnya pemeriksaan itu harus melihat tindak pidana berdasarkan tindakannya itu sendiri, bukan subjeknya atau orang yang melakukan.
“Kalau tindakannya adalah penembakan orang bukan desersi atau hal-hal yang sifatnya pidana militer, maka seharusnya jangan dilihat subyeknya, tapi harus dilihat tindakannya sehingga seharusnya diadili di peradilan umum,” katanya.
Kultur Kekerasan Aparat
Menurut Bivitri kekerasan yang melibatkan aparat keamanan selama ini makin marak karena ada konfigurasi politik pemerintahan di bawah kekuasaan Presiden Prabowo Subianto.
Ia menjelaskan, ada dua faktor yang melatarbelakangi itu. Pertama adalah kepentingan polisi, tentara, dan pemerintah yang dikerahkan untuk meloloskan kepentingan politik kekuasaan. Kedua adalah pengaruh Prabowo yang berlatar belakang militer.
Kedua faktor itu, kata Bivitri, cenderung mengistimewakan pemerintahan Prabowo dan masyarakat sipil tunduk pada kekuasaan serta takut melakukan pengawasan.
“Dengan gaya kepemimpinan seperti itu, sudah pasti posisi strategis di pemerintahan dikendalikan oleh mereka yang berpangkat militer,” kata Bivitri.
Namun, menurutnya, kekuasaan bergaya militer seperti itu menentang prinsip negara hukum yang mengedepankan hak asasi manusia dan pembatasan kekuasaan.
“Pola seperti ini yang salah dalam situasi sekarang,” kata Bivitri.
Perlu Pembatasan Peran Militer
“Masyarakat tidak perlu kekuatan fisik,” kata Bivitri, sehingga Undang-Undang Peradilan Militer perlu dibenahi agar kekuatan tentara dalam ranah sipil dapat dibatasi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara [UU PSDN] “sebaiknya dihilangkan saja,” tambahnya.
UU ini bertujuan untuk mengelola sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara, termasuk memperkuat pertahanan negara dan ketahanan nasional.
Selain pembatasan kewenangan TNI, Bivitri juga mengingatkan pentingnya reformasi kepolisian yang menelaah kembali wewenang dan mandat konstitusional lembaga tersebut.
“Tugas polisi hanya menjaga keamanan dan tidak boleh keluar dari tupoksinya. Reformasi itu bertujuan agar tugas dan fungsi polisi tidak keluar wewenangnya,” kata Bivitri.
Laporan ini dikerjakan oleh Adrian Naur dan Perseverando Elkelvin Wuran
Editor: Anno Susabun