Pemuda di Alor Korban Penganiayaan Anggota TNI Mengadu ke Ombudsman NTT, Berharap Proses Hukum Dikawal Hingga Tuntas

Keluarga berharap Ombudsman mengawal proses hukum kasus ini agar dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Floresa.co – Pemuda di Alor, NTT yang menjadi korban penganiayaan oleh anggota TNI pada awal bulan ini mendatangi kantor Ombudsman RI perwakilan NTT, meminta lembaga tersebut mengawal proses hukum kasusnya hingga tuntas.

Jonikalep Lakalol, nama pemuda itu, hadir bersama keluarganya dan didampingi seorang kuasa hukum pada 9 Januari.

Kepada Floresa, kuasa hukum korban, Dedy Japahae berkata langkah ini diambil supaya “proses hukum dapat berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”

“Harapan pihak keluarga dan korban agar kasus ini dapat dikawal,” kata Dedy.

Audiensi itu dibuka langsung oleh Pelaksana Harian Kepala Perwakilan Ombudsman NTT, Yosua Karbeka, didampingi oleh Kepala Keasistenan Pemeriksaan Philipus Jemadu, Asisten Pemeriksaan Leila Noury, serta Asisten Penerimaan dan Verifikasi Laporan Siti Qulsum.

Dalam kesempatan itu, mewakili korban serta keluarga, Dedy menceritakan awal mula kejadian yang menimpa Joni dalam peristiwa kekerasan yang terjadi pada Kamis malam, 2 Januari.

“Ombudsman sebagai lembaga negara pengawas pelayanan publik mengapresiasi kunjungan ini,” kata Yosua Karbeka dalam pernyataan resmi yang diterima Floresa pada 12 Januari.

Yosua menyebut, “sebagai negara hukum tentunya negara wajib memberikan pelayanan penegakan hukum kepada setiap warga negaranya yang mencari keadilan.”

Dugaan Tindakan Indisipliner dan Tindak Pidana

Dalam wawancara via telepon pada 12 Januari, Yosua menyatakan bahwa posisi Ombudsman “tetap sama seperti yang tertulis dalam rilis”, sembari memilah beberapa poin yang menjadi inti penjelasannya.

“Pada dasarnya, kami mengapresiasi kunjungan itu, di mana pihak keluarga beserta korban memilih mendatangi Ombudsman terlebih dahulu ketika tiba di Kota Kupang,” katanya.

Ia menyebut, tidak hanya beraudiensi, namun pihak keluarga “juga berkonsultasi dengan kami.”

Hal itu, kata dia, dilakukan oleh pihak keluarga dan korban sebelum menempuh “upaya hukum lanjutan.”

“Setelah kami mendengar dengan seksama kronologis kejadian, kami melihat ada beberapa kesalahan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI,” katanya.

Kesalahan itu, kata dia, berupa “dugaan indisipliner aparatur negara dan tindak pidana.”

Menurutnya, dugaan tindakan yang dilakukan anggota TNI ini, “dapat ditempuh melalui pengaduan pada instansi yang berwenang.”

Ia juga mengatakan korban “dapat melapor” ke “Detasemen Peradilan Militer Kota Kupang.”

Dengan begitu, kata dia persoalan ini dapat ditangani “dengan kewenangan dan pemeriksaan khusus yang dimiliki Detasemen Peradilan Militer.”

Janji Pantau Perkembangan Kasus

Yosua berkata pengaduan Jonikalep merupakan yang pertama diterima oleh Ombudsman NTT terkait “tindakan indisipliner dari anggota TNI secara langsung.”

“Ketika masyarakat mengadu ke Ombudsman, maka kami juga mulai mengawasi setiap upaya lanjutan yang dilakukan,” katanya yang berjanji “akan memverifikasi pengaduan ini.”

Kendati mengaku pihaknya tidak berwenang menindaklanjuti upaya hukum kasus itu, ia berjanji “akan selalu memantau perkembangannya” setelah keluarga membuat laporan kepada Polisi Militer [PM].

“Ombudsman juga akan mengawal bila tidak ada perkembangan yang signifikan dalam proses pelaporan dan penanganan kasus tersebut.”

Ia menyebut bilamana pasca pelaporan dalam proses penanganan kasus itu ditemukan indikasi adanya hambatan maladministrasi seperti penyimpangan prosedur, maka “itu akan menjadi pintu masuk bagi kewenangan Ombudsman untuk menindaklanjuti hal tersebut.”  

Apa Kata Keluarga dan Pemda Alor?

Floresa menghubungi perwakilan keluarga Joni, Erwin S. Padademang pada 11 Januari, menanyakan kabar korban yang saat ini masih berada di Kota Kupang pasca melakukan pengaduan ke Ombudsman.

Enggan menanggapi, ia langsung mengirimkan nomor Dedy, sambil mengarahkan untuk “nanti komunikasi saja dengan beliau, karena dia [Joni] ada di Kupang dengan keluarga, sedangkan saya di Alor.”

Dalam obrolan via WhatsApp, Dedy menyebut “untuk sementara waktu Joni masih menjalani terapi penyembuhan, sehingga tidak bisa diganggu.”

“Sebagai kuasa hukum sekaligus keluarga korban, kami meminta semua pihak untuk menghargai proses hukum yang sedang berjalan,” katanya.

Ia menyebut upaya hukum yang sedang ditempuh itu, merupakan “perjuangan kami sebagai korban untuk mencari keadilan.”

Sementara itu, Zet Soni Libing, Penjabat Bupati Alor berkata pihaknya memfasilitasi bantuan perawatan untuk menangani luka-luka, lebam, dan gigi Joni yang rontok.

Dalam rekaman video yang diterima Floresa pada 12 Januari, Zet berkata bantuan melalui dinas kesehatan dan dokter langsung akan diberikan kepada Joni. 

“Dari kami pemerintah yang pastinya akan memberikan perawatan kesehatan [kepada Joni],” kata Zet.

Ia juga mendukung proses hukum kepada tiga pelaku kekerasan, sembari meminta warga Kabupaten Alor untuk tenang dan tidak terprovokasi.

Kronologi Penganiayaan

Peristiwa pemukulan Joni terjadi di Markas Kodim 1622/Alor di Kalabahi, Kabupaten Alor. 

Masalah bermula pada 12 Desember 2024, ketika Joni bersama istrinya meminta maaf kepada tetangganya atas tindakan pemalangan jalan setapak. 

Meskipun permintaan maaf diterima, tetangga tersebut melaporkan kejadian itu ke Polres Alor pada 27 Desember.

Pada 2 Januari 2025, setelah kembali dari bekerja, Joni mengetahui laporan tersebut dan mengamuk ke rumah tetangganya. 

Ia diduga menendang pintu, meskipun polisi tidak menemukan kerusakan di TKP. 

Setelah itu, Joni mengunjungi tetangganya lagi untuk berdamai, tetapi ia malah diserang dan dibawa ke Markas Kodim oleh tiga orang berpakaian preman yang diduga sebagai anggota TNI.

Di Markas Kodim, Joni mengaku mengalami penyiksaan fisik hingga menyebabkan lebam, gigi rontok, dan luka pada punggungnya. 

Setelah diselamatkan oleh keluarga seorang pensiunan tentara, Joni berusaha visum di Polres Alor, tetapi laporannya ditolak dengan alasan itu merupakan “urusan militer.”

Akhirnya, pihak Kodim memberikan uang kompensasi sebesar Rp500.000 untuk perawatan dan pengobatan Joni akibat kejadian tersebut.

Kepala Dandim 1622/Alor, Amir Syarifudin, mengakui bahwa tiga bawahannya melakukan tindakan “main hakim sendiri” terhadap Joni karena terpancing emosi dan kurang berpikir jernih. 

Dalam video klarifikasi yang diunggah pada 5 Januari melalui kanal YouTube Warta Alor, Amir meminta maaf kepada masyarakat atas insiden tersebut, seraya menegaskan bahwa tindakan bawahannya tetap salah, apapun situasinya.

Amir juga menjelaskan bahwa informasi mengenai kejadian ini sempat tersumbat sehingga ia baru mengetahui insiden pemukulan pada 3 Januari, setelah korban melapor langsung kepadanya. 

Ia berjanji bahwa ketiga anggota yang terlibat saat ini sedang diperiksa dan proses hukum akan dilakukan dengan melibatkan pelapor, korban, dan saksi untuk memastikan kebenaran kasus tersebut.

Amir menegaskan bahwa kasus ini tidak akan diselesaikan secara damai karena tindakan anggota telah merusak citra TNI.

Perwakilan keluarga Joni, Erwin S. Padademang berharap kasus ini diproses secara hukum agar menjadi pelajaran dan mencegah terjadinya kasus serupa di kemudian hari.

Laporan ini dikerjakan Perseverando Elkelvin Wuran dan Adrian Naur

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA