Floresa.co – Dengan masih meninggalkan lebam di wajahnya, Jonikalep Lakalol berusaha menceritakan ulang pemukulan yang ia alami pada Kamis malam, 2 Januari 2025.
Peristiwa itu terjadi di Markas Kodim 1622/Alor di Jalan El Tari, Kecamatan Teluk Mutiara, Kalabahi, ibu kota Kabupaten Alor.
Pengakuan Joni ditayang melalui video yang diterima Floresa pada 6 Januari.
Ia menjelaskan, persoalan itu bermula pada 12 Desember 2024.
Saat itu, ia bersama istrinya bertekad meminta maaf kepada salah seorang tetangga atas kekeliruan yang dibuatnya karena memalang jalan setapak di kompleksnya di Kelurahan Mutiara, Kecamatan Teluk Mutiara.
“Saya akui perbuatan itu dan baru pertama kali melakukan pemalangan jalan,” kata Joni.
Tetangga itu menerima permintaan maafnya, membuat “saya menganggap masalah telah selesai.”
Setelah itu, bersama istrinya, ia libur Natal dan Tahun Baru di Desa Wolwal, Kecamatan Alor Barat Daya.
Namun, pada 27 Desember, keluarga tersebut membuat laporan dengan masalah yang sama ke Polres Alor dan diketahui oleh ketua RT.
Joni baru mengetahuinya sekembali dari bekerja sebagai tukang Ojek pada 2 Januari.
Tidak terima atas laporan tersebut, kata Joni, ia langsung mengamuk ke rumah tetangga itu dengan menendang pintu rumah.
Setelah kejadian itu, kata dia, tetangganya langsung melapor ke Polres Alor terkait tindak pidana pengrusakan.
Tidak lama berselang, Satuan Dalmas Polres Alor turun ke Tempat Kejadian Perkara [TKP].
Namun, katanya, “tidak ditemukan adanya kerusakan.”
Karena itu, jelasnya, salah satu anggota Polres Alor berkata, “masalah ini harus segera dituntaskan oleh RT dan RW.”
Atas anjuran ini, Joni berinisiatif kembali ke rumah tetangga itu dengan tujuan mengucapkan selamat tahun baru.
“Saya ketuk-ketuk pintu, tapi tidak ada yang buka,” kata Joni.
Ketika masih berdiri di setapak depan rumah tetangga itu, ia mengaku, tiba-tiba ada sekelompok orang memukul, menarik, dan mencekik lehernya.
Joni mengetahui tiga orang yang menangkapnya adalah anggota TNI dengan pakaian preman.
Ia kemudian dibawa ke kantor Kodim yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.
Di sana ia mengaku berulang kali mendapat penyiksaan fisik yang membuat lebam pada muka, beberapa gigi rontok, dan terdapat luka pada punggung.
“Malam itu, saya disuruh guling, dipukul pakai kabel, dan juga ditendang,” kata Joni.
Padahal menurutnya, ia tidak punya masalah dengan tentara yang memukulnya.
Ketiga orang yang memukulnya juga tidak menanyakan duduk persoalan.
Joni diselamatkan oleh keluarga seorang pensiunan tentara setelah mengetahui kejadian tersebut sekitar pukul 23.30 malam.
Malam itu juga, ia bersama keluarganya berusaha melakukan visum di Polres Alor untuk mengetahui kondisi fisik.
Namun, polisi menolak dengan alasan “masalah ini urusan tentara dan laporannya harus dibuat ke tentara.”
“Sekitar jam 12 [malam] saya ke rumah Pak Dandim, pintunya tidak dibuka,” kata Joni.
“Esok tanggal 3 Januari, baru kami lakukan laporan ke Kodim,” katanya.
Akibat kejadian itu, Joni tidak bisa tidur, mulut dan mata tidak bisa dibuka karena bengkak.
Pihak Kodim kemudian memberinya uang kompensasi perawatan dan pengobatan.
“Saya menerima itu sebenarnya Rp450.000, tapi oleh Kepala Dandim dibulatkan menjadi Rp500.000,” kata Joni.
Akui Kesalahan Anggota
Kepala Dandim 6122 Alor, Amir Syarifudin berkata, perbuatan tiga bawahannya yang “main hakim sendiri” terjadi karena “disulut temperamen serta tidak berpikir jernih.”
Dalam sebuah video klarifikasi yang disiarkan melalui kanal Youtube Warta Alor pada 5 Januari, Amir mengakui kesalahan anggotanya, sembari ”meminta maaf kepada seluruh masyarakat” atas nama seluruh anggota institusi.
“Perbuatan anggota memang salah. Mau dia [Joni] benar atau salah, yang jelas mereka tetap salah,” kata Amir.
Amir, yang dalam video itu didampingi Ketua DPRD Kabupaten Alor, Paulus Brikmar, juga mengakui adanya penyumbatan informasi dari anggotanya sehingga ia baru mengetahui kejadian pemukulan ketika korban mengadu pada 3 Januari.
“Kalau saya ada malam itu, maka tidak akan terjadi seperti itu,” kata Amir.
Atas perbuatan main hakim sendiri tersebut, Amir mengatakan ketiga anggotanya saat ini “sedang menjalani proses pemeriksaan” yang nantinya juga diikuti “menghadirkan para pelapor, korban, saksi, untuk dimintai keterangan.”
Proses permintaan keterangan tersebut, kata Amir, dilakukan supaya pihaknya tidak salah menjatuhkan vonis.
Ia juga meminta masyarakat untuk menunggu hasil pemeriksaan tersebut.
“Kita tidak bisa menjatuhi hukuman tanpa mencari tahu siapa yang benar dan salah. Jangan sampai kita salah jatuhkan vonis, bisa rugikan salah satu pihak,” katanya.
Ia juga menjanjikan bahwa kasus ini tidak akan diselesaikan secara damai karena “anggota saya telah merusak citra TNI.”
Perwakilan keluarga Joni, Erwin S Padademang berkata, kasus ini dapat dikategorikan sebagai penculikan.
Karena itu, pihaknya telah membuat laporan ke Detasemen Peradilan Militer di Kota Kupang.
“Proses laporan sementara berjalan,” kata Erwin kepada Floresa.
Ia menjelaskan, persoalan yang menimpa Joni seharusnya tidak terjadi apabila anggota TNI berkoordinasi dengan Polres Alor yang bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.
“Anggota TNI mesti paham tugas dan fungsinya itu,” katanya.
Ia berharap Komandan Kodim 1622/Alor benar-benar memproses tiga anggotanya agar kejadian serupa tidak menimpa masyarakat sipil yang lain.
“Kita harus menjadikan hukum sebagai panglima. Segala sesuatu harus diselesaikan lewat jalur hukum,” kata Erwin.
Apa kata YLBHI?
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI], Muhammad Isnur berkata, kasus ini tidak cukup hanya diadili di peradilan militer.
Berbicara kepada Floresa pada 7 Januari, ia menjelaskan, proses hukum di peradilan militer tidak akan sungguh-sungguh menjamin pemeriksaaan dan hukuman kepada pelaku.
Karena itu, kata dia, keluarga harus tetap menuntut transparansi, hukuman maksimal, dan terus bersuara mewakili korban.
“Proses ini kelihatan masih agak lama. Padahal, prinsip pidana adalah cepat, sederhana, dan murah,” katanya.
Ia juga mendesak agar tidak ada upaya untuk melindungi dan impunitas terhadap pelaku.
“Kita menuntut agar tiga pelaku diadili, dihukum, dan dipecat dari kesatuan,” kata Isnur.
Selain itu, kata dia, jika ada warga sipil yang terlibat bersama pelaku, bisa dipidanakan melalui pengadilan koneksitas.
Pengadilan koneksitas adalah sistem peradilan untuk mengadili tindak pidana yang melibatkan orang sipil dan orang militer yang melakukan delik penyertaan. Perkara ini diatur dalam Pasal 89–94 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [KUHAP].
“Mesti dicek terduga dan tersangkanya, apakah pelaku sipil ikut terlibat bersama anggota militer,” katanya.
Isnur juga berharap segera dilakukan perubahan atau reformasi peradilan militer seturut mandat Undang-Undang TNI Pasal 65.
Ia mendorong perubahan pasal sehingga militer yang melakukan kejahatan dan pidana umum dapat disidangkan di pengadilan pidana umum.
Editor: Anno Susabun