“Laut Kami Tercemar”: Perlawanan Petani Rumput Laut Lifuleo di Kupang yang Terancam Limbah PLTU Timor-1

Tak hanya rumput laut, jalan yang menjadi akses satu-satunya bagi petani rumput laut itu tak luput terkena imbas PLTU. Mereka terancam kehilangan mata pencaharian

Floresa.co – Di bawah sinar matahari yang menyengat siang itu, Oktaf Saketu tekun menjemur buah legundi — tanaman perdu berbuah kecil, berwarna ungu kehitaman yang dikenal khasiatnya dalam pengobatan tradisional, terutama untuk meredakan batuk.

Ia tak sendiri, sang istri setia menemani.

Jemarinya lincah menyisir buah legundi satu per satu, membiarkannya mengering di atas hamparan karung lebar yang menjadi alas.

“Untuk tahun ini, harganya memang merosot,” tuturnya lirih, menyiratkan asa yang diuji.

Laba yang diraih, tak sepadan dengan harga yang ditentukan para tengkulak, pada tiap butir legundi yang dijemurnya.

Menurut cerita orang tuanya, legundi dahulu dimanfaatkan tidak hanya buahnya, tetapi juga akar dan daunnya untuk pengobatan. 

Lebih lanjut tentang potensi tanaman ini, ia dapatkan dari kerabatnya pada 2024. 

Namun, budidaya legundi masih dianggap sepele oleh warga sekitar karena tergolong baru.

Setahun lalu, katanya, harga legundi masih mencapai Rp10 ribu per kilogram. Namun, tahun ini, harganya kian merosot, meski ia tak merinci seberapa jauh penurunannya.

Oktaf Saketu, Ketua Umum Pembudidaya Rumput Laut di Desa Lifuleo bersama istrinya sedang mengeringkan buah legundi beralaskan karung bekas di halaman rumah mereka. Foto diambil pada 23 Januari 2025. (Dokumentasi Floresa).

Bermatapencaharian Ganda Imbas PLTU Beroperasi

“Dulunya saya hanya mengandalkan budidaya rumput laut sebagai sumber utama penghidupan,” kata Oktaf Saketu, Ketua Umum Pembudidaya Rumput Laut di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, NTT.

Namun, sejak Pembangkit Listrik Tenaga Uap [PLTU] Timor-1 berkapasitas 2×50 MW mulai beroperasi di Dusun Panaf pada Desember 2023, ia beralih menjadi peladang.

Lifuleo berjarak sekitar 600 meter dari PLTU Timor-1.

Ia mengungkapkan, sebelum PLTU beroperasi, “kondisi pembudidaya rumput laut di Lifuleo masih sangat baik.”

Pertumbuhan rumput laut pun tumbuh subur dan lebih tahan terhadap penyakit ice-ice, yang biasanya ditandai dengan bercak merah hingga memutih sebelum akhirnya rontok.

Dalam sekali panen normal, jelasnya, hanya dengan satu utas tali nilon sepanjang 60 meter, petani bisa menghasilkan 20 hingga 30 kg rumput laut per bulan.

Proses budidaya rumput laut diawali dengan menyiapkan tali nilon, lalu dibuat simpul-simpul kecil untuk melilit rumput laut yang telah dipotong agar dapat merekat kuat. 

Metode long line—dengan tali panjang yang dibentangkan di laut itu—menjadi pilihan utama karena bahan mudah didapat dan tahan lama. 

Oktaf berkata, “bibit rumput laut biasanya dibeli dari petani di Desa Tablolong,” yang berjarak sekitar 4,7 km atau 15 menit bersepeda motor ke arah timur.

Setelah rumput laut dililitkan pada tali nilon berukuran 6 mm, tali tersebut kemudian dipasang dengan bantuan tali jangkar sepanjang 5 meter, ditopang patok kayu bercabang setinggi 1 meter dengan lebar sekitar 70–80 cm. 

Dengan hati-hati, perahu kecil mengangkut tali-tali rumput laut ke tengah laut menggunakan pelampung dari kemasan bekas botol minuman, menuju lokasi budidaya di Pantai Oesina. Di sana, rumput laut tidak langsung dibiarkan begitu saja.

Setiap tiga hari sekali, petani rutin memeriksanya. 

Jika lumut mulai menempel, rumput laut diangkat, dibersihkan, lalu dilepaskan kembali ke laut. Proses ini terus berulang hingga panen tiba, yang biasanya berlangsung sekitar 45 hari setelah penanaman.

Berdasarkan aplikasi perpetaan Google Maps, jarak antara Desa Lifuleo ke Pantai Oesina, atau akrab disebut Pantai Cina terpaut sekitar 3,1 km ke arah barat daya. Bila berkendara, waktu yang ditempuh sekitar 7 menit.

Usai memanen, katanya, “proses pengeringannya memerlukan waktu sekitar dua bulan sebelum siap dijual.”

Untuk menanam kembali, jelasnya, bibit dapat diperoleh dari hasil panen. 

Para petani rumput laut menanti pengepul datang di rumah laut, pondok kayu sederhana yang berdiri di lepas pantai. 

Di sanalah para pengepul datang, membeli rumput laut yang telah dipanen.

Setelah berusia genap 30 hari, rumput laut sudah siap dikembangkan lagi, untuk melanjutkan siklus budidaya.

Dulu, katanya, laba bersih dari usaha ini bisa mencapai belasan juta rupiah dalam dua bulan, “dengan rata-rata per kilogramnya dihargai Rp40 ribu.”

Namun, semuanya berubah semenjak PLTU Timor-1 yang dikelola PT Perusahaan Listrik Negara [PLN] Unit Pelaksana Proyek [UPP] Nusra 3 melakukan uji coba operasi perdana pada 2 Desember 2023. 

Tak hanya itu, baru-baru ini para petani rumput laut juga dihantam musibah. 

Banjir rob pada 3 Februari menerjang perairan Oesina, menyapu habis sebagian rumput laut milik warga bersamaan dengan rumah laut yang tak luput dari amukan gelombang.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Timor-1 yang berlokasi di Dusun Panaf, Desa Lifuleo. (Dokumentasi Floresa)

‘Laut Kami Tercemar’

Konflik antara warga Lifuleo dan PLTU Timor-1 mulai memanas sejak 2023, setelah PLTU melakukan uji coba operasi, yang belakangan diketahui oleh warga sebenarnya telah dimulai sejak Desember 2022. 

Oktaf berkata, “dampaknya baru benar-benar dirasakan warga pada Juni 2023 di mana limbah air panas dari pendingin mesin PLTU itu dibuang langsung ke laut.” 

Dalam rekaman video amatir yang diperoleh Floresa dari warga, tampak sebuah terowongan besar menganga di tepi laut. Oktaf menduga, terowongan itu adalah saluran pembuangan limbah panas dari PLTU Timor-1.

Awal penolakan terjadi, jelasnya, pada Juni 2023, ketika warga mengetahui bahwa limbah air panas itu ternyata berdampak pada kualitas rumput laut mereka di sekitar perairan Oesina, menyebabkan warga mengalami gagal panen.

Tindakan PLTU itu memicu kemarahan, mengingat sejak awal sosialisasi proyek pada 2019, warga sudah memperingatkan agar limbah tidak mencemari perairan yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Warga juga melakukan protes terbuka dengan memblokade jalan yang rusak akibat lalu lalang alat berat milik perusahaan. 

Blokade akses itu dilakukan pertama kali pada 22 November 2023, untuk menuntut perusahaan memperbaiki jalan yang selama ini “masih bagus,” sebelum akhirnya rusak, “karena selalu dilewati truk tronton.”

Menanggapi aksi itu, Oktaf berkata, “pihak perusahaan meminta waktu untuk menyampaikan hasil diskusi dengan pimpinan mereka.” 

Pertemuan antara kedua pihak kembali digelar pada 29 November 2023. Hasil kesepakatan ditandai dengan pernyataan dari pihak perusahaan bahwa “untuk jalan, mereka akan bangun kembali menggunakan anggaran tahap dua pada bulan Juni-Desember 2024.” 

Namun alih-alih diperbaiki sesuai janji, pihak perusahaan malah bungkam, yang menyebabkan warga Lifuleo kembali melakukan aksi pemalangan jalan kedua pada 3 Januari 2025.

Warga merasa dibohongi oleh PLN yang belum merealisasikan janjinya membangun jalan sepanjang 2 kilometer, kendati sudah tertuang dalam berita acara pada 29 November 2023.

Setelah berdialog cukup lama, Oktaf berkata “kami dan pihak perusahaan kembali membuat berita acara kesepakatan bersama.”

Dalam surat berita acara yang diperoleh Floresa pada 27 Januari 2025, tampak kesepakatan bahwa PLN akan memperbaiki akses jalan masuk sampai tanggal 31 Juni 2025.

Tuntutan lain warga dalam pertemuan pada November 2023 itu, katanya, mendorong pihak perusahaan untuk melakukan uji laboratorium terkait kadar pencemaran air laut dan rumput laut yang sampelnya sudah diambil pada 3 Desember 2023.

Setelah pengujian kadar air laut di Dinas Kesehatan Provinsi dan rumput laut pada Universitas Nusa Cendana [Undana] Kupang, hasilnya dijelaskan ke warga pada 2 Februari 2024.

Dari tiga titik pengambilan sampel, Oktaf berkata, “ini jelas-jelas sudah tercemar. Karena rumput laut kalau sudah tercemar minyak itu sudah pasti rusak.”

Alih-alih mengganti rugi, pihak perusahaan malah “memilih diam,” membuat warga merasa “tidak ada proses ganti rugi.”

“Hal ini yang akhirnya membuat kami mengadu kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT,” katanya. 

Setali tiga uang, bukannya mendapatkan kepastian, warga malah diberitahu oleh perwakilan PLN bahwa “Dinas Kesehatan Provinsi dan Laboratorium Undana tidak terakreditasi,” hal yang menyebabkan hasil uji lab itu tidak sahih secara ilmiah.

Respons perusahaan itu diprotes warga, katanya, diikuti dengan uji lab kedua yang dilakukan tanpa sepengetahuan warga.

“Mereka turun sendiri, tanpa kami tahu ambil sampelnya di mana,” kata Oktaf.

Uji lab itu, yang berlangsung pada 8 – 23 Agustus 2024, dilakukan oleh PT Unilab Perdana, laboratorium lingkungan hidup dan kalibrasi di Jakarta Selatan.

Setelah hasilnya keluar, katanya, perusahaan kembali mengundang warga untuk mendengar penjelasan hasil uji lab itu di aula kantor Camat Kupang Barat pada 16 Oktober 2024.

Ketika mendengar penjelasan mereka, Oktaf terkejut karena “berdasarkan hasil uji lab itu, kadar minyak terpaut di bawah standar baku mutu pada angka 0,2%.”

Merujuk pada laporan hasil pengujian yang diterima Floresa bernomor: LPUP 13144, parameter minyak dan lemak menunjukan hasil <0,2 di bawah standar baku mutu yang ditetapkan dengan angka 5 – menandakan bahwa kadar minyak dan lemak yang terdapat di perairan Oesina tidak melewati standar baku mutu kesehatan lingkungan – spesifikasi teknis atau nilai yang dibakukan pada media lingkungan yang berhubungan atau berdampak langsung terhadap kesehatan masyarakat.

Dengan dalih demikian, katanya, “mereka bilang limbah air panas yang dihasilkan PLTU Timor-1 tidak merusak rumput laut kami.”

“Tapi sekalipun berada di bawah standar baku mutu, secara fakta, laut kami sudah tercemar dan merusak rumput laut kami,” tambahnya.

Sementara itu Kepala Dinas Provinsi Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT, Ondy Siagian, yang ditemui Floresa pada 24 Januari 2025 menampik adanya pencemaran laut, sebagaimana hasil uji lab Dinas Kesehatan dan Undana.

“Berdasarkan hasil uji lab yang telah dilakukan, minyak sama sekali nihil pada 3 titik pengambilan sampel,” katanya merujuk uji lab PT Unilab Perdana.

Komponen lainnya, kata Ondy, “juga semuanya berada di bawah ambang batas,” sembari mengklaim “penurunan produktivitas pembudidayaan rumput laut disebabkan oleh penyakit ice-ice.”

Penyakit ice-ice, kata dia, akibat sanitasi air yang kurang bagus, bukan karena kontaminasi yang disebabkan oleh limbah panas yang dibuang oleh PLTU-Timor 1 ke laut.

Setelah diambil dari perahu, selanjutnya para petani perempuan rumput laut Lifuleo membersihkan rumput laut dari penyakit ice-ice yang menempel dan memilah sebagian rumput laut untuk siap dibudidaya kembali. (Dokumentasi Floresa)

Bantah Buang Limbah Panas

Senada dengan Ondy, Asisten Manajer Keuangan Perizinan dan Umum PLN UPP Nusra 3, Lalu Erlan Jayadi, membantah pernyataan warga, mengklaim “tidak ada pelepasan limbah panas di laut.”

“Secara mekanisme teknis, yang diambil adalah air laut yang dimurnikan dengan membuang unsur-unsur kimia yang mengakibatkan karat,” katanya saat ditemui Floresa di ruang kerjanya pada 24 Januari.

Mekanisme itu, katanya, digunakan untuk pendinginan kegiatan operasional dan “justru tidak ada panas yang dilempar ke air laut,” karena panas itu yang dibutuhkan.

“Jadi nggak mungkin, panas yang dibutuhkan itu malah dibuang,” kata Jayadi.

Menanggapi keluhan petani rumput laut, ia berkata, “keluhan masyarakat di sana tentu menjadi atensi tersendiri bagi kami.”

Kendati demikian, ia meminta “agar masyarakat petani rumput laut bersabar dulu.”

Sementara, terkait protes warga terhadap jalan yang rusak, Jayadi berkata “PLN sangat optimis bisa selesaikan di bulan Juni sesuai kesepakatan yang tertuang dalam berita acara itu.”

Namun, ia juga mengaku belum ada pembangunan lanjutan terhadap sisa jalan yang belum diselesaikan, setelah sebelumnya “kami membangun jalan sepanjang 2 km pada awal pembangunan proyek.”

Menurutnya upaya ini bisa segera dilaksanakan, setelah adanya koordinasi melakukan double check dengan pemerintah daerah Kabupaten Kupang, “untuk memastikan agar sebelum membangun jalan, Pemda pun tidak sedang berencana melakukan hal serupa.”

Jayadi juga berkata, “tim kami melakukan penganggaran dalam rencana kerja pada tahun ini”, setelah menerima pendapat hukum dari Jaksa Pengacara Negara [JPN] pada Desember 2024, bahwa tidak ada pelanggaran regulasi dalam membangun jalan itu.

“Jadi kami prediksi, jika rencana penganggaran ini disetujui pada bulan Februari, maka bulan Maret kami sudah bisa bekerja,” katanya.

Langgar Prinsip Strict Liability, Picu Dampak Lingkungan

Anggota Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Parid Ridwanuddin menyoroti aktivitas PLTU Timor-1 yang tidak menaati prinsip ‘strict liability.’

Parid menjelaskan, strict liability terdapat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, merujuk pada prinsip yang “menegaskan bahwa ketika ada perubahan lingkungan di suatu wilayah, maka entitas bisnis yang ada di situlah, yang harus bertanggung jawab.”

Hal ini beralasan karena “kehadiran atau bisnisnya itu membawa dampak buruk.”

Parid berkata, sewaktu dirinya masih menjadi Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, “kasus ini pernah kami dorong di dalam kasus-kasus yang ditangani Walhi,” karena kebanyakan “perusahaan mencuci tangan dan tidak merasa bertanggung jawab.”

Dalam menerapkan prinsip ini, untuk memahami dampak PLTU Timor-1 pada kualitas rumput laut, “jangan dibawa ke persoalan teknis, untuk pembuktian perubahan kimiawi atau alasan remeh temeh mengenai ambang batas.”

“Karena sekarang sudah ada perubahan regulasi,” katanya merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Aturan itu menyebut fly ash and bottom ash [FABA] – material sisa pembakaran atau pengolahan batu bara, tidak lagi tergolong sebagai limbah B3 – bahan berbahaya dan beracun.

Jika PLTU Timor-1 menggunakan regulasi yang baru itu untuk melakukan uji coba kadar baku mutu, menurutnya, “perusahaan bisa seenaknya saja,” bahkan “limbah batubara berupa abu terbang dan limbah padat itu bisa dianggap tidak berbahaya, sebagai konsekuensi dari adanya peraturan itu.”

Di sisi lain, ia menyoroti keberadaan PLTU Timor-1 yang seharusnya memperhatikan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, yang mengatur “tidak boleh adanya bangunan berskala besar pada jarak 0-100 m, diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat.”

“Karena sudah masuk wilayah terbuka hijau atau ruang publik.”

Lebih lanjut Parid berkata, “dalam perkembangan penyakit infeksi saluran pernapasan akut, tren peningkatan lebih banyak terjadi pada wilayah-wilayah terdapat PLTU.”

Menanggapi pernyataan Manajer PLN UPP 3 Nusra Jayadi soal limbah panas yang dibuang ke laut, katanya, “sebenarnya itu rahasia umum di banyak perusahaan.”

Mengambil contoh di pulau Jawa, ia menyebut, limbah panas yang dibuang ke laut, dapat menyebabkan “banyak terumbu karang rusak dan ekosistem rumah ikan terancam,” yang berdampak pada terganggunya populasi ikan.

“Sebenarnya, pihak perusahaan harus menjelaskan kepada masyarakat terkait metode perhitungan emisi dari aktivitas PLTU karena itu merupakan tanggung jawabnya, sebab jika tidak, aktivitas apapun yang terjadi patut dipertanyakan,” tambahnya.

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA