Floresa.co – Sikap masa bodoh Bupati Manggarai Timur, Yosep Tote terhadap persoalan pertambangan di wilayahnya, terutama yang melibatkan PT Adytia Bumi Pertambangan (PT ABP) di Desa Satar Punda, Kecamatan Lambaleda mendapat kritikan keras dari kalangan mahasiswa.
Himpunan Mahasiswa Manggarai Timur Kupang (HIPMMATIM) menyebut sikap Bupati Tote merupakan bentuk penjelasan kepada publik, bahwa ia adalah bagian dari mafia tambang.
“Kami mengecam keras sikap diam dan masa bodoh Bupati Tote. Dia semakin menunjukkan diri sebagai pejabat angkuh dan sombong yang tidak peduli dengan persoalan rakyat lingkar tambang. Kuat indikasi, Bupati Tote sudah menjadi mafia besar investor tambang,” kata Irvan Kurniawan, Ketua HIPMMATIM, Senin (15/09/2014).
Kasus terakhir yang mencuat di Tumbak, terkait aksi intimidasi yang dilakukan anggota Polres Manggarai terhadap Pastor Simon Suban Tukan SVD yang pada Sabtu (13/9/2014) lalu sedang berada bersama warga Tumbak di lokasi milik warga, tetapi diklaim perusahan sebagai bagian dari wilayah konsesi mereka. Pastor Simon, Ketua JPIC SVD dilaporkan pingsan dalam kejadian tersebut.
Irvan menyayangkan sikap Bupati Tote di tengah situasi ini, mengingat situasi panas antara warga Tumbak dan PT ABP sudah berlangsung hampir lima bulan. Namun, kata dia, Tote yang dipilih langsung masyarakat tidak sekalipun menunjukkan itikad baik menyelesaikan persoalan yang ada.
“Apa yang telah dilakukan Bupati Tote guna meredam konflik tambang di Tumbak? Di mana Bupati Tote saat warga Tumbak diintimidasi aparat keamanan? Bukankah ini menunjukkan watak Bupati Tote yang memang pro tambang lalu membiarkan rakyat yang seharusnya dia bela diintimidasi polisi dan tanahnya dirampas oleh investor?,” tegas Irvan.
Menurut Irvan, Lingko Roga Dua, Lingko Lembung dan Lingko Bongko yang direbut perusahan merupakan tanah ulayat warga yang tidak termasuk dalam wilayah konsesi.
“Warga masyarakat adat kampung Tumbak pernah membuat kesepakatan 31 Juli 2013 dengan PT ABP terkait pemberian izin menggunakan Lingko Roga Dua, Lingko Lembung dan Lingko Bongko untuk kepentingan jalan tambang melintasi pinggiran lingko jurusan Satarteu-Waso dengan lebar jalan 16 meter untuk jangka waktu tiga puluh tahun,” papar Irvan.
Mengacu pada kesepakatan itu, lanjut aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Kupang ini, PT ABP yang justeru memasuki 3 lingko itu untuk beraktivitas dikatakan ilegal.
“Sudah sewajarnya perusahaan itu diusir warga setempat”, kata dia.
Dalam catatan Floresa, Bupati Tote memang pernah berbicara soal kasus Tumbak. Namun, alih-alih mencari jalan keluar, pernyataannya justeru menunjukkan adanya upaya cuci tangan terhadap persoalan.
“Sebelum ada desakan dari pihak lain, Pemerintah Matim sudah lakukan mediasi terkait persoalan di Tumbak. Kalau masalah tanah itu urusan masyarakat dan investor, pemerintah hanya memediasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata Tote, Kamis (7/8/2014).
Pastor Peter C Aman OFM, Direktur JPIC-OFM Indonesia kala itu menyayangkan pernyataan Tote. Ia mengatakan, seorang bupati tidak bisa menjadi seperti Pilatus yang hanya mencuci tangan dan melepas tanggung jawab dengan meminimalisir perannya sekedar melakukan mediasi.
“Memediasi dalam kasus tambang di Matim sama dengan kerja calo. Serendah itukah tugas dan tanggung jawab bupati untuk kehidupan dan masa depan masyarakat Matim?”, kata Pastor Peter.
Yang diinginkan sejumlah pihak, Bupati Tote menegaskan posisinya sebagai pemimpin yang berdaulat, yang mampu mengambil sikap tegas membela masyakat kecil.
“Jika tidak, ia akan dikenang sebagai bupati pembawa malapetaka, jika memang ia masih saja mencari aman, dengan menganggap persoalan di Tumbak bukan bagian dari tanggung jawabnya”, kata Irvan.