Yogyakarta, Floresa.co – Kelompok Studi Tentang Desa (KESA), salah satu kelompok studi mahasiswa asal Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang kuliah di Yogyakarta adakan seminar tentang desa di Ruangan M. Sutopo Kampus Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD) Yogyakarta, pada Senin, 30 Oktober 2017. Seminar itu digelar untuk memperingati ulang tahun ke-3 organisasi tersebut yang jatuh pada 25 Oktober lalu.
Seminar bertema “Prahara Kemandirian Desa” itu dihadiri pemateri yang merupakan ahli dalam bidang desa, yakni Dr. Sutoro Eko dosen di Kampus APMD Yogyakarta yang juga bagian dari salah satu perumus lahir UU Desa No. 6 tahun 2014 dan Wahyu Widodo, Kepala Desa Srigading, Bantul, Daerah Istimewah Yogyakarta.
Diskusi dipandu oleh moderator Erasmus Rolandus Atisubati, Kepala Desa Kesa. Sementara itu, peserta yang hadir berjumlah sekitar 85 orang.
Dr. Sutoro Eko dalam materinya menekankan relasi desa dengan negara. Menurutnya, pernah ada masa dimana negara dinilai terlalu jauh masuk ke ranah desa. Hal tersebut menurutnya menghancurkan kemandirian desa. Itu terjadi selama 20 tahun, dari 1945 sampai 1965. Menurutnya, hal itu menunjukan negara “menindas” desa yang secara bertahap menjadikan desa sebagai kelurahan.
“Ini namanya manghancurkan nama baik desa. Negara bisa masuk ke desa untuk menindas bisa. Namun untuk mengubah desa tidak bias,” ucapnya.
Dosen yang sering disapa guru desa ini juga tidak setuju dengan kebijakan dimana polisi ikut dalam pengawasan dana desa. “Dalam UU itu tidak diperbolehkan masuknya polisi dan hakim. Apalagi dalam pembinaan dan pengawasan,” ujarnya.
Semuannya, katanya harus memakai marwa desa seperti semboyan “Desa Punya Cara”, “Negara Punya Tata”, sehingga semua diselesaikan dengan cara desa; baik cara adat ataupun lainnya yang lebih menekankan pada semangat kekeluargaan.
“Kalaupun tidak mencapai titik temu yah diantar kepada camat, bupati, dan gubernur. Bukan kemudian masuk yang namanya polisi.”
“Bukan berarti kita pro korupsi akan tetapi desa punya cara negara punya tata. Kuasa uang pasti menentukan targetnya apa. Sekarang dana desa itu bukan ruang untuk desa tapi ruang ladang uang bagi teknoratisasi,” pungkasnya.
Sementara itu, Wahyu Widodo menjelaskan soal kinerja tenaga pendamping desa yang menurutnya lumayan membantu dalam implementasi undang-undang desa.
“Terkait pendamping desa selama ini lumayan bisa membantu dalam hal gambaran undang-undang desa itu bisa diterjemahkan sebisanya,” kata Wahyu.
Lalu, Yonas Nebo yang merupakan panitia dalam kegiatan ini mengungkapkan rasa syukurnya bisa mengikuti seminar ini meskipun dia bukan mahasiswa yang fokus kuliah dalam bidang desa.
Menurutnya, kegitan ini bisa mengetahui banyak hal berkaitan dengan desa mengingat hari ini desa menjadi fokus pembangunan oleh pemerintah Jokowi-JK.
“saya sangat bersyukur bisa mengikuti kegiatan ini. Pikiran saya lebih terbuka dan saya mendapatkan banyak hal tentang desa,” tandas mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Universitas Taman Siswa Yogyakarta ini.
Seminar diakhiri dengan pemotongan tumpeng oleh Dr. Sutoro Eko serta sesi foto bersama pemateri dengan peserta seminar. (Engel Ndarung/ARJ/Floresa).