Labuan Bajo, Floresa.co – Warga Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat [Mabar], Nusa Tenggara Timur [NTT] mengingatkan pemerintah dan perusahaan untuk segera menghentikan rencana eksplorasi proyek geothermal dalam ruang hidup mereka.
Hal itu mereka sampaikan menyusul langkah pemerintah yang tetap ngotot untuk melanjutkan proyek yang dibiayai oleh Bank Dunia itu meskipun di sisi lain, warga bersikeras menolak.
“Kalau pemerintah tetap ngotot, kami bertaruh nyawa. Kami siap mati untuk mempertahankan ruang hidup kami,” kata perwakilan warga Wae Sano, Frans Napang sesaat usai melakukan audiensi dengan Pemda Mabar dalam demonstrasi menolak proyek geothermal itu pada Selasa, 2 Februari 2022.
BACA: Tolak Geotermal Wae Sano, Mahasiswa Arak Peti Mati ke Kantor Bupati Mabar dan DPRD Mabar
Pada demostrasi itu, warga tidak sendirian. Mereka didampingi oleh aktivis mahasiswa PMKRI St. Agustinus Cabang Ruteng dan Kota Jajakan Labuan Bajo. Terdapat sekitar ratusan massa hadir dalam demonstrasi itu.
Dalam audiensi, perwakilan Pemda Mabar yang hadir ialah Wakil Bupati Yulius Weng; Sekda Mabar, Hans Sodo; dan beberapa pejabat dari lingkup Pemda Mabar. Hadir juga Wakapolres Mabar. Sementara Bupati Edi Endi tidak hadir karena tengah menghadiri acara di tempat lain.
Menurut Frans, penolakan warga terhadap proyek itu sudah berlangsung lima tahun. Warga beberapa kali telah melakukan demonstrasi, menulis surat kepada Bank Dunia dan Presiden. Namun, suara penolakan warga seolah diabaikan begitu saja oleh pemerintah dan perusahaan.
Bagian dari upaya paksa terhadap proyek itu, baru-baru ini, pada Kamis, 20 Januari 2022 lalu misalnya, pemerintah dan PT SMI/Geo Dipa Energi menggelar acara “Lonto Leok” dalam rangka konsultasi publik terkait rencana pengeboran di Well Pad A di Kampung Lempe, Desa Wae Sano.
Kegiatan yang sama dilakukan di tingkat Desa Wae Sano pada Selasa, 25 Januari 2022, yang difasilitasi oleh Pemda Mabar.
BACA: Pertahankan Ruang Hidupnya, Warga Wae Sano Kembali Demo Tolak Proyek Geotermal
Hasil dari kegiatan ‘Lonto Leok’ tersebut, pemerintah dan perusahaan mengklaim bahwa semua warga sudah setuju terhadap proyek tersebut.
Sementara dalam dua kegiatan tersebut, warga penolak tetap menyatakan suara penolakan mereka. Di Kampung Lempe, perwakilan Warga, Eduardus Watu Medang, membacakan point-point penolakan di hadapan perwakilan Pemda Mabar dan Yando Zakaria selaku perwakilan Kantor Staf Presiden (KSP).
Sedangkan di Kampung Nunang, sekelompok ibu warga penolak terus menyatakan penolakan di luar tempat sidang, sambal membentangkan spanduk-spanduk penolakan.
“Saya sebagai warga Desa Wae Sao menegaskan bahwa, apapun yang diberitakan bahwa kami sudah setuju, itu tidak benar. Masih banyak sekali warga yang menolak,” tegasnya.
Dalam audiensi, Sekda Mabar, Hans Sodo mengaku menyesal dengan sikap warga penolak yang tidak mengambil bagian dalam proses konsultasi publik atau ‘Lonto Leok” yang diinisiasi oleh Pemda Mabar.
Menurutnya, konsultasi publik atau “lonto leok” yang mereka gelar tersebut sudah mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh Bank Dunia di mana undangan dan dokumen-dokumen pendukung untuk dibagikan kepada warga tujuh hari sebelum kegiatan dimulai.
“Perlu kami jelaskan, seluruh rangkaian proses dan prosedur itu sudah dilakukan dengan sangat cermat dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.
“Yang kami sesali, warga tidak penolak tidak ingin berdiskusi dengan kami,” tambahnya.
Namun, Frans sendiri tetap kukuh pada sikapnya menolak proyek tersebut. Ia menyebut isi dari dokumen yang disebut-sebut pemerintah tersebut merugikan pihaknya.
“Seperti apa yang saya sampaikan di depan wakil bupati tadi, kami menolak karena mengganggu ruang hidup kami. Adapun dokumen-dokuemen yang disampaikan oleh pemerintah, itu tidak berpihak kepada masyarakat penolak,” ujarnya.
Dokumen yang dimaksud Pemda Mabar ialah penjelasan teknis dari PT Geo Dipa terkait dengan cara kerja proyek tersebut, yang diklaim tidak akan mengganggu ruang hidup warga. Dokumen itu, oleh Wakil Bupati Mabar, Yulius Weng dibacakan ulang saat audiensi dengan massa aksi.
“Apapun isi dokumennya, kami tetap menolak. Apa pun yang terjadi. Kami tidak menerima dokumen apapun. Ramah lingkugan atau apa yang mereka omong, kami tetap menolak sampai saat ini,” pungkasnya.
BACA: Catatan Hendro Sangkoyo Tentang Daya Rusak Industri Ekstraksi Panas Bumi untuk Pembangkitan Listrik
Ia juga mengkritisi istilah lonto leok yang digunakan oleh pemerintah dan perusahaan. Menurutnya, lonto leok dalam pengertian masyarakat Manggarai ialah ‘musyawarah untuk mufakat’.
Sementara yang dibuat oleh pemerintah dan perusahaan secara terang merugikan pihaknya.
“Karena tidak ada diskusi lonto leok seperti yang mereka omong itu. Karena lonto leok itu, musyawarah untuk mufakat. Itu [yang dibuat di Wae Sano] mufakat sepihak,” tegasnya.
Warga dan mahasiswa baru bisa menemui pihak Pemda setelah melalui proses alot. Massa yang berjumlah sekitar serratus orang itu hanya diperkenankan melakukan aksi di jalan raya – tidak diperkenankan masuk ke halaman Kantor Bupati Mabar, sebagaiaman perlakuan terhadap massa pada aksi-aksi sebelumnya.
Keputusan itu membuat massa marah hingga dan terus berupaya untuk menerobos masuk. Massa terus-menerus mendobrak gerbang hingga roboh.
Bebera saat setelah gerbang berhasil dirobohkan, perwakilan warga dan mahasiswa diperkenankan beraudiensi dengan pihak Pemda Mabar.
Usai audiensi dengan Pemda, massa melanjutkan aksi ke Kantor DPRD Mabar. Sayangnya, tidak ada satu pun anggota DPRD yang berada di tempat. Akhirnya, massa hanya diterima oleh Sekertaris Dewan di halaman kantor tersebut. Sekitar pukul 14.00, massa bubar.
ARJ/Floresa