Floresa.co – Nasib naas menimpa GYL [18] warga asal Dusun Motamaruk, Desa Tasain, Kecamatan Raimanuk, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] yang ditembak mati polisi pada Selasa, 29 September 2022.
Kasus yang menimpa pemuda yang biasa disapa Eton ini menambah daftar kasus kekerasan oleh aparat terhadap warga sipil di provinsi tersebut.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] menilai aksi polisi tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang yang harus diusut dan diproses melalui mekanisme peradilan yang jujur dan adil di peradilan umum.
“Apapun dugaan kasus yang melingkupinya, tindakan sewenang-wenang tidak bisa dilakukan, terlebih lagi hingga menghilangkan nyawa seseorang,” kata Abimanyu dari Divisi Hukum KontraS kepada Floresa.co Rabu, 28 September 2022.
Sebagaimana laporan sejumlah media, Eton ditembak mati oleh Tim Gabungan Satuan Reserse Kriminal dan Satuan Intelkam Polres Belu yang berjumlah delapan orang.
Menurut versi polisi, penembakan itu dilakukan setelah Eton mencoba melarikan diri, menyusul penetapan dirinya ke dalam Daftar Pencarian Orang [DPO] kasus pengeroyokan terhadap sopir truk tangki air yang terjadi pada 6 September lalu.
“Sesuai laporan singkat dari Kapolres, warga yang tertembak itu DPO perkara pengeroyokan dan tertembak saat akan dilakukan penangkapan,” kata Kapolda NTT, Irjen Pol. Setyo Budiyanto.
Peristiwa ini direspon dengan aksi protes oleh massa yang mengambil paksa jenazah Eton dari kamar jenazah di RSUD Belu dan mengaraknya ke kantor Polres meminta meminta pertanggungjawaban polisi serta menuntut keadilan atas peristiwa penembakan tersebut.
Dari Polres, mereka ke kantor DPRD dan ke Gereja Katedral St. Maria Imakulata Atambua, sebelum kemudian mengembalikannya jenazah itu ke RSUD Belu.
Dalam pertemuan dengan warga Kapolres Belu, AKBP Yoseph Krisbianto menyampaikan bahwa pihaknya akan bertanggung jawab atas penembakan yang dilakukan anak buahnya itu.
Abimanyu dari KontraS menyatakan, aparat tidak memiliki alasan pembenar untuk menjadi hakim dan memutuskan mengambil nyawa seorang tersangka.
Seorang tersangka, kata dia, memiliki hak untuk ditangkap dan diadili di persidangan yang jujur dan adil.
“Seluruh aparat yang diduga terlibat dalam peristiwa penembakan harus diusut secara tuntas, diseret dan diproses melalui mekanisme peradilan umum,” ujarnya.
“Proses hukum yang berjalan tentu harus transparan. Berikan akses seluas-luasnya kepada keluarga korban atas perkembangan informasi penanganan kasus tersebut,” tambahnya.
Ia menilai, dalam kasus ini pelaku melanggar Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 6 Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Sejumlah ketentuan itu, kata dia, pada intinya menyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak yang harus dilindungi dan tidak bisa dikurangi dalam situasi atau kondisi apapun.
Ia menambahkan, peristiwa ini memiliki konsekuensi pidana dalam delik kejahatan terhadap tubuh dan nyawa pada Pasal 338 KUHP apabila terdapat unsur kesengajaan dalam merampas nyawa seseorang.
Menambah Daftar Kekerasan Polisi
Kasus penembakan berujung kematian ini menambah panjang daftar kekerasan polisi terhadap warga sipil di NTT.
Pada 27 Maret 2018 lalu, kasus penembakan yang berujung korban nyawa juga menimpa Ferdinandus Taruk, pemuda 24 tahun asal Sondeng, Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai.
Ia ditembak mati pada tengah malam saat sedang asyik bercengkerama dengan rekan-rekannya di Sondeng.
Setelah menunggu waktu yang cukup lama, Polres Manggarai menetapkan Bripda Vinsensius Pontianus Dhae [24] dari Unit Sabhara Polres Manggarai sebagai tersangka. Ia kemudian dihukum penjara 1,5 tahun.
Selain itu, penembakan oleh polisi juga terjadi di Sumba Barat pada tahun 2018. Poro Duka [45], warga Desa Patiala Bawa, sebuah desa di pesisir Marosi, sebelah barat Pulau Sumba yang menjadi korban.
Ia ditembak saat PT Sutra Maronis, perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, secara sepihak melakukan pengukuran atas tanah adat mereka.
Selain Poro Duka, beberapa warga sipil lainnya juga mengalami luka-luka saat menggelar aksi protes mempertanyakan legalitas PT Sutra Marosi. Ponsel warga yang melakukan aksi protes pun dirampas polisi, disertai aksi pemukulan.
Terdapat sekitar 131 personel gabungan dari Polres Sumba Barat, Brimob Polda NTT, dan Raimas Polda NTT serta Kodim 1613 Sumba Barat mengawal pengukuran itu.
Masih di Sumba Barat, di Polsek Katikutana, seorang polisi juga menganiaya tahanan bernama Arkin hingga tewas pada 9 Desember 2021.
Korban yang sebelumnya ditangkap di rumahnya lantaran diduga mencuri ternak dan menganiaya korbannya, mengalami memar pada wajah dan tangan, hidung mengeluarkan darah, tangan kiri patah dan mirip luka tembakan.
Kasus lainnya juga terjadi di Labuan Bajo pada awal 2020. Sekelompok pemuda dianiaya anggota Polres Manggarai Barat karena dianggap tidak mengindahkan larangan untuk berkumpul demi mencegah penyebaran Covid-19.
Akibat pemukulan itu, setidaknya tiga pemuda mengalami luka parah di bagian wajah dan kepala bagian belakang.
Pada 2022, tindakan yang sama juga dilakukan oleh aparat di Manggarai Barat. Pelaku wisata yang melakukan aksi mogok untuk menentang komersialisasi dan monopoli bisnis di Taman Nasional Komdodo [TNK] pada 1 Agustus 2022, ditangkap dan dipukul.
Aksi mogok ini terkait dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan secara drastis harga tiket ke Pulau Komodo dan Pulau Padar di kawasan TNK dari sebelumnya 150 ribu rupiah menjadi 3,75 juta rupiah.
Aparat keamanan, baik polisi, Brimob maupun tentara memenuhi kota Labuan Bajo menyusul penetapan status siaga satu di wilayah itu. Mereka siaga di depan hotel-hotel, fasilitas publik seperti bandara dan pelabuhan, serta ada yang patroli keliling kota.
Langkah yang Harus Diambil
Abimayu juga menegaskan, aparat kepolisian harus mulai melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan. Poses peradilan tersebut, kata dia harus jujur, adil dan transpran.
Pasalnya, berkaca pada kasus-kasus serupa di tempat lain, ada kekhawatiran pelaku tidak akan dihukum sebagaimana mestinya.
Bahkan, kata dia bukan tidak mungkin pelaku juga dapat lepas dari jerat tanggung jawab hukum, seperti yang terjadi dalam kasus kasus pembunuhan di luar hukum terhadap enam laskar FPI [Front Pembela Islam-red].
“Selain itu, ditakutkan bilamana kasus semacam ini tidak diusut tuntas, hal ini dapat menjadi legitimasi bagi kepolisian untuk kembali melakukan tindakan sewenang-wenang di kemudian hari,” tegasnya.
“Sejalan dengan itu, korban bisa melakukan pelaporan kepada lembaga pengawas negara, seperti Komnas HAM, guna menjamin independensi dalam pengungkapan fakta,” pungkasnya.
Floresa