Floresa.co – Potensi konflik di sebuah daerah di Manggarai Barat yang pernah menelan korban nyawa menjadi tantangan bagi berbagai pihak di tengah permintaan tinggi terhadap tanah seiring perkembangan industri pariwisata di Labuan Bajo dan sekitarnya.
Pekan ini, warga dari beberapa kampung di Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Mbeliling, kembali terlibat konflik perebutan lahan yang sebelumnya sudah pernah dibawah ke meja hijau.
Pada 24 Juli, warga dari Kampung Tebedo dan Terlaing menduduki lahan yang berlokasi di pantai utara Labuan Bajo itu, bersebelahan dengan Pelabuhan Multipurpose.
Mereka mendirikan sebuah tenda beratap terpal dan membersihkan semak-semak di lahan tersebut.
Alex Hata yang mengklaim sebagai tetua ulayat Tebedo dan koordinator pendudukan lahan itu menyatakan, mereka melakukan aksi demikian karena itu adalah lahan mereka.
“Sekitar 60 orang Tebedo dan Terlaing [yang berada] di lokasi,” katanya kepada Floresa pada 25 Juli.
Selain dari Tebedo dan Terlaing, kata dia, beberapa warga transmigran dari pemukiman di sekitar kota Labuan Bajo, seperti Sernaru, Bancang dan Nggorang ikut bergabung dengan mereka.
Reaksi Warga Mbehal
Lahan itu, yang dikenal sebagai ulayat Merot-Menjerite, juga diklaim oleh Gendang Mbehal sebagai wilayah ulayatnya.
Karena itu, merespons pendudukan ini, warga Mbehal bereaksi.
Karolus Ngotom, warga Mbehal yang kini tinggal di Merot-Mejerite menjelaskan, saat warga Tebedo dan Terlaing membersihkan lokasi lahan itu, “ada warga kami yang pantau.”
“Ia lihat sekelompok warga yang bangun tenda di lokasi, lalu dia laporkan kepada kami. Kami panik pagi-pagi, lalu kami ke lokasi,” katanya kepada Floresa pada 25 Juli.
Ia mengatakan, warga yang menduduki lokasi itu tidak merespons saat diajak untuk berdialog.
Karena itu, jelasnya, mereka memutuskan melaporkan pendudukan lahan itu ke polisi.
“Kami sepakat untuk tempuh jalan ke Polres Manggarai Barat. Kami hubungi melalui telepon Babinsa Tanjung Boleng dan beri informasi ke Babinsa Kelurahan Wae Kelambu, dan juga Kepala Desa Tanjung Boleng,” katanya.
Karolus bersama Aquino, warga Mbehal lainnya, mengadukan persoalan itu di Polres Manggarai Barat pada 24 Juli, meminta pengamanan agar tidak terjadi konflik.
“Warga kami emosi. Kami takut ada kejadian yang tidak diinginkan,” katanya.
Namun, kata dia, polisi tidak merespons permintaan mereka.
“Pak Rober, bilang ‘kami turun kecuali kalian datang lapor resmi semua dokumen seperti sertifikat bahwa itu adalah tanah milik kamu,’” katanya meniru pernyataan seorang polisi bernama Rober.
Karolus mengaku memberitahu polisi bahwa pihaknya akan mengumpulkan dokumen-dokumen tersebut, “kalau persoalan berlanjut.”
“Tetap mereka [polisi] tidak mau,” imbuhnya.
Kapolres Manggarai Barat, Ari Satmoko membenarkan ada warga yang “minta permohonan pengamanan di lokasi” konflik itu.
“Tapi nggak ada surat permohonannya,” katanya kepada Floresa.
Meski demikian, katanya, ada polisi yang monitor ke lapangan.
“Kita fokuskan [utus polisi] yang tidak berseragam untuk memantau situasi. Jangan sampai ada konflik,” tambahnya.
Ari mengklaim, pihaknya tidak menolak laporan kejadian dari warga, “tapi diminta melampirkan bukti pendukung kepemilikan lahan.”
“Itu yang ditunggu. Kami minta data pendukung. Nanti kalau sudah ada, bawa aja,” katanya.
Laporan dengan data pendukung itu, kata dia, akan menjadi “bahan nanti untuk klarifikasi pemanggilan penyelidikan lebih lanjut.”
“Tindak lanjut seperti apa, nanti kita cek ke Kasat Reskrim, mereka jadi buat laporan atau tidak,” katanya.
Saling Klaim
Alex Hata mengklaim tanah itu merupakan pemberian Gendang Mbehal pada tahun 1800-an saat mengutus satu orang dari Suku Pola untuk mendiami wilayah Tebedo.
“Dikirim orangnya [ke Gendang Mbehal, lalu] diberikan wilayahnya,” ungkap pensiunan pengawas TK-SD di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Manggarai Barat itu.
Karena itu lahan mereka, kata dia, orang Mbehal “tidak membuat kebun di wilayah itu sejak abad-18 sampai sekarang,” tambahnya.
Sebagai ahli waris yang mendapatkan tanah tersebut, pihaknya berusaha “mempertahankan hak yang sudah diserahkan oleh Gendang Mbehal.”
Ia mengklaim, dalam penguasaan lahan tersebut, pihaknya tidak pernah disuruh oleh pihak lain.
“Pertimbangannya, itu hak kami, tidak ada yang suruh kami,” katanya.
Sementara itu, Bonaventura Abunawan, yang mengklaim diri sebagai tetua ulayat Gendang Mbehal menjelaskan sejarah keberadaan orang Tebedo menurut hukum adat Manggarai adalah mukang atau anak kampung dari Mbehal.
Ia mengatakan, ada total enam mukang yang berada di bawah ulayat Gendang Mbehal. Selain Tebedo adalah Pungkang, Rai, Rempo, Sita dan Rangko.
Di samping itu, kata dia, ada juga anak kampung lainnya, yaitu Terlaing, dengan status anak lonto one ranga, karena terbentuk dari hubungan perkawinan – pria dari luar Gendang Mbehal menikahi perempuan asal Mbehal.
Mengacu pada hukum adat Manggarai, kata dia, “baik mukang maupun riang tidak punya hak untuk mengalihkan status tanah itu kepada pihak ketiga, kecuali Gendang Mbehal.”
“Kami tidak sedikit pun menyangkal [keberadaan Kampung] Tebedo, juga hak mereka mengelola tanah itu,” katanya kepada Floresa.
Gendang Mbehal, kata dia, terlibat karena ada upaya peralihan kepemilikan tanah oleh pihak yang sebetulnya tidak memiliki hak.
Ia mencontohkan kasus pembagian tanah di Rangko pada 2009 oleh seseorang yang mengklaim sebagai tu’a golo, yakni Abdullah Duwa.
Menurut Bonaventura, Abdullah “bukan orang Manggarai, tidak tahu bahasa Manggarai.”
“Lalu banyak orang Terlaing yang menerima tanah dengan redaksi mengakui Abdulah Duwa sebagai fungsionaris adat, Tua Adat Rangko. Ia membagi-bagi tanah kepada sejumlah warga, termasuk warga Terlaing dengan syarat kapu manuk lele tuak [membawa ayam dan tuak],” katanya.
Atas pengaduan itu, kata dia, Tua Golo Mbehal memanggil dan membuat pertemuan bersama tujuh kampung yang membahas hak dan kewajiban Tua Riang dan Tua Mukang dalam wilayah ulayat Mbehal.
Ia juga mencontohkan beberapa praktik pembagian dan perolehan tanah yang tidak sesuai prosedur adat Manggarai, termasuk di Rangko, yang kini sudah menjadi lokasi milik PT Perusahaan Listrik Negara.
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, Bonaventura mengklaim, pada tahun 2014 dibentuklah panitia untuk pengaturan tanah, yang melibatkan semua, termasuk Tebedo.
“Hanya waktu itu terjadi manipulasi, sehingga terjadi keributan,” dan keputusannya adalah “stop pembagian, batal pembagian, bubarkan panitia.”
Ia mengatakan, kala itu, ada juga nama-nama siluman yang masuk dalam proses pengukuran tanah, “yang bukan warga dalam ulayat Mbehal.”
Upaya Bonaventura mengklaim tanah-tanah di wilayah ulayat Mbehal berujung pada pembuatan sebuah Surat Pernyataan Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng pada 2018 yang ditandatangani oleh perwakilan dari tujuh kampung.
Surat itu berisi klaim bahwa Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng, dengan koordinator adalah Tu’a Adat Mbehal menguasai ulayat di Boleng.
Dalam surat itu yang ditandatangani oleh 23 tua adat, juga dinyatakan bahwa Johanes Usuk – ayah Bonaventura – “merupakan Tu’a Adat dan Tu’a Gendang dari Ulayat Mbehal sesuai silsilah keluarga dan struktur adat.”
Di dalamnya, diklaim bahwa wilayah ulayat Gendang Mbehal mencapai wilayah Laut Flores di bagian utara; Wae Nuwa (wilayah Kempo, Kecamatan Mbeliling) di bagian selatan; Wae Nuwa di bagian timur dan wilayah Kecamatan Komodo di bagian barat.
Surat itu kemudian berujung pada gugatan terhadap Bonaventura, dengan tudingan pemalsuan, karena beberapa nama yang menandatanganinya mengaku dibohongi.
Sempat dua kali ditahan, dalam putusan pada April 2023, Bonaventura divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Labuan Bajo.
Alex Hata dari Tebedo mengakui bahwa persoalan tanah ulayat di Mejerite merupakan “persoalan segitiga antara Mbehal, Terlaing, dan Tebedo, yang ketiganya memiliki hubungan keluarga.
“Mbehal dan Tebedo bersaudara. Mbehal kakak, Tebedo adik. Sementara Terlaing adalah weta (saudari),” jelasnya.
Namun, ia bersikeras bahwa wilayah ulayat Tebedo berbeda dengan Mbehal, menegasi klaim dari Bonaventura.
“Wilayah ulayatnya Mbehal lain, Tebedo lain,” jelasnya.
Karolus, warga asal Mbehal menilai, ada pihak lain yang memiliki kepentingan atas tanah ulayah mereka.
Ia menuding, persoalan ketiga kampung tersebut merupakan “permainan mafia.”
“Kami ini bersaudara, sedang diadu domba,” katanya.
Rencana Mediasi
Saharudin, Kepala Desa Tanjung Boleng mengatakan kepada Floresa pada 25 Juli bahwa pihaknya sedang mencari solusi terhadap masalah ini karena warga desanya yang terlibat secara langsung.
“[Kami mendorong] pendekatan secara kekeluargaan untuk kedua belah pihak, meminta mereka agar menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya.
Ia berharap semua pihak berperan aktif untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Semua pihak harus bergerak, baik pemerintah desa, kecamatan, daerah dan pemangku-pemangku ulayat. Ulayat itu seperti apa sebenarnya,” imbuhnya.
Yoseph Tala, Kepala Bidang Wasnas dan Penanganan Konflik di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Manggarai Barat menjelaskan, pihaknya sudah melakukan upaya pendekatan kekeluargaan untuk menyelesaikan persoalan kedua belah pihak.
“Hasil lobi yang kami lakukan diterima oleh kedua belah pihak. Saat ini kami lagi melaporkan kepada bupati terkait upaya pemerintah memfasilitasi duduk bersama warga Mbehal dan Tebedo,” katanya.
Ia menjelaskan, saat ini kedua belah pihak sudah “menyatakan siap untuk membendung generasinya masing-masing untuk tidak melakukan tindakan anarkis atau main hakim sendiri.”
Tawaran mediasi ini ditanggapi berbeda oleh warga Tebedo dan Mbehal.
Alex Hata mendukung intervensi pemerintah itu. “Saya tidak mau ada kesalahpahaman, baku tunjuk dan lain-lain,” katanya.
“Kami tunggu surat undangan dari pemerintah untuk melakukan mediasi,” sambungnya.
Sementara Bonaventura menyebut kehadiran pemerintah dalam masalah ini adalah bagian dari intervensi.
Ia menyebut, ini adalah “urusan keluarga yang berkaitan tanah ulayat adat Manggarai,” dan bukan urusan pemerintah.
Di Tengah Tingginya Permintaan atas Tanah
Konflik lahan di wilayah pinggiran Labuan Bajo ini merupakan salah satu dari konflik yang kompleks, yang dalam beberapa waktu terakhir terus mencuat di wilayah itu di tengah proses pembangunan yang masif.
Konflik seperti ini berjalan beriringan dengan tren peralihan status kepemilikan tanah dari warga setempat ke pihak lain, termasuk para investor.
Di daerah Mbehal pernah terjadi konflik berdarah pada 2017 yang menewaskan dua orang.
Donatus Jehurut dan Alosius, warga asal Kusu, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai itu menjadi pekerja di kebun yang diklaim milik Robert, seorang warga asal Australia.
Mereka tewas saat terlibat perkelahian dengan warga lain yang juga mengklaim lahan itu.
Selain menjadi salah satu contoh konflik berdarah karena perebutan tanah, masalah itu juga mengungkap praktek kepemilikan tanah oleh warga asing di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya.
Informasi yang diperoleh Floresa, banyak dari lahan-lahan yang kini dipersoalkan warga di wilayah daerah Boleng sudah dijual kepada pihak lain, sebagiannya untuk pembangunan berbagai fasilitas milik pemerintah.