‘Butuh Tindakan Nyata,’ Kata Lembaga Advokasi Merespons Kapolri yang Berharap AMMTC di Labuan Bajo Perkuat Upaya Lawan Perdagangan Orang

Pertemuan para menteri negara ASEAN terkait kejahatan transnasional berlangsung di Labuan Bajo

Floresa – Kepala Kepolisian Republik Indonesia [Kapolri] Jenderal Listyo Sigit Prabowo berharap pertemuan pimpinan negara-negara Asia Tenggara terkait kejahatan transnasional yang digelar di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur [NTT] dapat memperkuat upaya penanggulangan kejahatan perdagangan manusia.

Sementara lembaga advokasi mengatakan “butuh tindakan nyata, bukan hanya sekadar diskusi dan rencana” untuk memberantas Tindak Pidana Perdagangan Orang [TPPO] di tengah peliknya kasus tersebut di Indonesia, terutama di Provinsi NTT.

Kapolri dalam laporan pembukaan kegiatan ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime [AMMTC] ke-17 yang berlangsung pada 21-23 Agustus itu berharap “draft deklarasi dalam upaya penanggulangan TPPO, terorisme, dan penyelundupan senjata dapat disepakati oleh para menteri.”

Ia memimpin langsung pertemuan AMMTC setelah dibuka secara resmi oleh Presiden Jokowi pada Senin, 21 Agustus.

Kegiatan itu diikuti oleh 10 menteri negara-negara ASEAN bersama tiga negara mitra, yaitu Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Hadir juga perwakilan dari Timor Leste sebagai pengamat dan Sekretaris Jendral ASEAN bersama delegasi lain.

AMMTC ke-17 membahas 10 isu prioritas kejahatan lintas negara yang menjadi keprihatinan negara-negara ASEAN, termasuk TPPO.

Presiden Jokowi dalam sambutannya mengatakan kejahatan transnasional berkembang seiring kemajuan teknologi.

Menurutnya, saat ini kejahatan lintas negara semakin marak dengan cara yang kian kompleks, sehingga “penanganannya harus adaptif”, terutama TPPO, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana narkotika.

Jokowi mengatakan negara-negara ASEAN perlu membangun kerja sama berkelanjutan, pertukaran informasi, pemanfaatan teknologi, serta meningkatkan kapasitas dan profesionalitas aparat penegak hukum.

“Saya berharap dalam pertemuan ini dirumuskan kaidah kerja sama yang responsif yang berisi langkah-langkah strategis, sehingga dapat menjaga kawasan ASEAN yang aman, damai, dan sejahtera,” katanya.

Suster Genoveva Amaral, SSpS, direktur VIVAT Internasional Indonesia, lembaga yang selama ini mengadvokasi kasus perdagangan manusia di Indonesia berharap agar para menteri yang ikut pertemuan itu dapat “mengambil sikap dan tindakan tegas dan nyata dalam memberantas TPPO.”

Meminimalisasi kasus TPPO di Indonesia, kata dia, pemerintah mesti membangun Balai Latihan Kerja [BLK] untuk mempersiapkan kompetensi dan kapasitas calon pekerja migran.

Selain itu, kata dia, “pemerintah mesti membuat layanan terpadu satu atap bagi calon  pekerja migran agar tidak terjebak bujuk rayu jaringan mafia perdagangan manusia.”

Ia juga mengingatkan pemerintah untuk “menyiapkan rumah aman untuk korban perdagangan manusia” di kantong-kantong perdaganagan manusia, sesuai standar Perserikatan Bangsa-Bangsa.

“Tindak pidana perdagangan orang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), maka segera menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Justice Collaborator TPPO,” katanya.

“Butuh tindakan nyata bukan sekadar diskusi dan rencana saja” untuk meminimalisir TPPO di Indonesia, tambahnya.

Peliknya masalah TPPO, khususnya di NTT, telah diakui oleh pemerintah sendiri.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan [Menkopolhukam] Mahfud MD dalam pernyataan pada 31 Mei saat kunjungannya ke Maumere, Kabupaten Sikka menyebut kasus TPPO di NTT masuk kategori “sangat darurat.”

“[Dikatakan] sangat darurat, karena dari laporan yang diterima terhitung dari 2020, 2021 hingga 2022 ada sekitar 1.900, jenazah pulang ke Indonesia dan yang paling banyak memang NTT,” katanya.

Menurut data Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia [BP3MI] NTT, total 68 jenazah buruh migran NTT yang dikirim dari luar negeri lewat Bandara El Tari Kupang selama Januari-Juni 2023. Mayoritas dari mereka adalah buruh migran tidak berdokumen.

Sebuah laporan investigasi Floresa pada tahun lalu juga mengungkap bagaimana di sebuah pelabuhan di Larantuka, Flores Timur, tenaga kerja non-prosedural berangkat ke Kalimantan, untuk seterusnya ke Malaysia, tanpa ada kontrol dari otoritas setempat.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA