Anggap Obrolan di Grup WhatsApp ‘Ganggu Stabilitas Masyarakat’, Kepala Desa di Manggarai Barat Undang Admin untuk ‘Berkoordinasi’

Kendati mengaku tak tahu siapa saja adminnya, kepala desa meminta mereka untuk kontrol unggahan dan komentar anggota grup. Ia juga disebut membawa-bawa UU ITE.

Baca Juga

Floresa.co- Kepala desa di Manggarai Barat mengundang para admin suatu grup WhatsApp lewat sebuah surat resmi untuk berkoordinasi terkait isi percakapan yang dinilai “mengganggu stabilitas masyarakat.”

Langkah yang ditempuh Laurensius Sehidin, Kepala Desa Golo Manting, Kecamatan Sano Nggoang merespons pengaduan “oknum” – mengacu pada seorang warga – yang mengaku terusik percakapan grup WhatsApp bernama “Ru,a Citi Group.” 

“Ru,a” – dengan tanda koma – merujuk pada Kampung Ru’a—bertanda petik satu. Kampung itu tercakup dalam wilayah administratif Desa Golo Manting.

Undangan disampaikan Laurensius melalui surat dengan Nomor Pem.140/07.06/I/2023 tertanggal 12 Januari 2024. 

Dalam surat, Laurensius mengklaim mendapat pengaduan terkait percakapan beberapa anggota grup yang “menyinggung, menghina, menyudutkan dan membuat seorang warga dikorbankan.” 

Sesuai surat itu, Laurensius lalu mengundang para admin grup “berkoordinasi untuk mencari kebaikan bersama.”

Rapat koordinasi dijadwalkan di kantor desa pada hari yang sama dengan penerbitan undangan.

Tak seorang pun admin grup yang datang, seperti diakui Laurensius.

Kontrol Unggahan dan Komentar

Laurensius adalah salah satu anggota grup WhatsApp itu, namun ia mengklaim “tak tahu siapa saja adminnya,” beralasan “saya tidak ahli mencari tahu.”

Berbicara kepada Floresa pada 21 Januari, ia berkata keputusannya menerbitkan undangan berawal dari “obrolan warga yang saling utarakan persepsi terkait pemanfaatan tanah umum, bukan tanah ulayat.” 

Sekelompok warga, kata dia, melakukan reboisasi dengan menanam beberapa pohon di atas tanam umum itu, namun warga lain menentang dan “merusak tanaman penghijauan.” 

Menurut Laurensius, obrolan itu “mengganggu tetangga saya yang seorang pemuka masyarakat.” 

Percakapan semacam itu, katanya kemudian, “bisa memicu emosi orang-orang tertentu karena merasa dipojokkan.” 

Oleh karenanya, “kami wajib memberi saran kepada admin agar mengingatkan anggota grup mengontrol setiap unggahan dan komentar.” 

Ia menilai kontrol dibutuhkan supaya arah obrolan “tidak mengganggu stabilitas masyarakat dan memicu konflik.”

Laurensius mengklaim dirinya berkewajiban “melaksanakan tugas kontrol dan pengawasan” terhadap aktivitas warga. 

Sebab, kata dia, “kalau ada yang mengadu, pasti di situ ada hal yang mengganggu mereka. Tidak mungkin orang mengadu kalau tidak merasa diganggu.”

Ia mengaku tak akan “memproses” admin, tanpa menjabarkan lebih lanjut pernyataannya. 

Laurensius juga “tak bisa menilai” apakah diskusi semacam itu melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.

“Saya cuma merespons percakapan yang berpeluang mengganggu keamanan dan ketertiban kampung. Itu saja,” katanya.

“Bicara Sembarangan, Bawa ke Polisi”

Seorang warga yang pertama kali melaporkan kasus ini kepada Floresa mengatakan percakapan yang dipersoalkan Laurensius terkait obrolan grup mereka pada 6 Januari 2024. 

Saat itu mereka membahas beberapa bidang tanah umum yang dikuasai “beberapa oknum” di Kampung Ru’a, termasuk “keluarga dekat Laurensius.”

Menurut warga itu, “yang mengadu adalah kakak kandung Laurensius yang merasa keluarga mereka jadi bulan-bulanan dalam obrolan itu.”

Tak seorang pun melontarkan kalimat provokatif dalam obrolan itu, katanya. 

Sebaliknya, mereka “hanya mengusulkan” supaya tanah-tanah itu dikembalikan menjadi tanah ulayat. Apalagi kepemilikannya “tanpa sepengetahuan tua golo,” sebutan untuk kepala kampung.

Warga itu menjelaskan Kampung Ru’a tercakup dalam zona wilayah hak ulayat tua golo Paku, yang sekitar 99 persen warganya merupakan pendatang dari wilayah Kedaluan Kempo di Sano Nggoang, Manggarai Barat.

Pada 1970-an, sembari membawa ayam dan tuak, warga pendatang menghadap tetua adat Paku untuk meminta tanah. 

Permintaan itu “dilayani dengan baik oleh tetua adat,” sehingga memberikan lingko Ru’a  untuk dijadikan perkampungan.

Penyerahan tanah disertai pesan supaya warga pendatang turut membangun fasilitas umum di atas lahan itu.

Warga pendatang merealisasikan permintaan tetua adat. Sesudah membagi lahan pekarangan, mereka lalu mengukur lahan cikal pembangunan fasilitas umum yang berada di tengah-tengah kampung.

Seiring waktu, lahan itu “dikuasai sejumlah warga yang menjadikannya lahan garapan non-milik.”

“Belakangan ketahuan pencaplok tanah itu termasuk besan kepala desaa,” katanya.

Ia mengaku warga di kampungnya selama bertahun-tahun tak mempersoalkan tanah itu, yang di atasnya kini turut berdiri kediaman keluarga dekat Laurensius. 

Sebaliknya, ia menyesalkan sikap Laurensius yang tiba-tiba mengundang admin grup WhatsApp untuk sesuatu yang sebetulnya tak perlu dicemaskan. 

Beberapa hari sesudah menerbitkan undangan “berkoordinasi”, Laurensius “juga sempat mengancam warga.”

Ia menirukan ucapan Laurensius: “Kalau bicara sembarangan di grup WhatsApp, nanti dilaporkan ke polisi dan dijerat UU ITE.”

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kawan-kawan bisa berdonasi dengan cara klik di sini.

Terkini