ODGJ di Manggarai Timur Bacok Dua Anggota Keluarga Hingga Tewas, Penting Perbaiki Pola Penanganan Masalah Kesehatan Jiwa

Berusia 29 tahun, ODGJ tersebut membacok adik dan tantenya pada tahun ini

Floresa.co – Seorang penyandang gangguan jiwa di Kabupaten Manggarai Timur membacok dua anggota keluarganya hingga tewas dalam dua insiden terpisah yang terjadi pada tahun ini.

Pemerhati isu kesehatan jiwa memberi catatan tentang pentingnya pola penanganan yang tepat pada Orang dengan Gangguan Jiwa [ODGJ].

FA, 29 tahun, warga Kampung Wae Tua, Desa Golo Mangung, Kecamatan Lamba Leda Utara membacok LS, 60 tahun, pada 24 Maret, setelah pada Januari ia juga membacok adik kandungnya, demikian menurut keterangan polisi.

Kapolres Manggarai Timur, AKBP Suryanto berkata FA merupakan ODGJ “yang tercatat dalam data dan pengawasan Puskesmas Dampek sejak tahun 2020.”

Dampek merupakan ibu kota Kecamatan Lamba Leda Utara.

LS, korban terakhirnya, merupakan “tante kandung dari pelaku,” kata Suryanto.

“Terduga pelaku menebas kepala korban menggunakan sebilah parang sebanyak empat kali hingga mengakibatkan korban meninggal,” katanya, merujuk pada kasus yang menimpa LS.

Ia menjelaskan, LS pertama kali ditemukan oleh FS, warga yang kembali dari menimba air di sungai dekat Kampung Wae Tua.

FS, katanya, “melihat korban yang saat itu sudah tergeletak di sebelah dapur dengan posisi tengkurap dan mengeluarkan banyak darah.”

“Ia langsung berteriak minta tolong ke sesama warga kampung dan mendapati korban sudah tidak bernyawa,” tambah Suryanto.

Ia menjelaskan warga yang mengetahui kejadian tersebut langsung menduga bahwa pelakunya adalah FA.

Karena itu, jelasnya, mereka bergegas mencari FA dan akhirnya menemukannya di samping Gereja Stasi Wae Tua.

“Saat ditemukan, pelaku sedang berdiri dan memegang sebilah parang yang diduga digunakan untuk membunuh korban,” kata Suryanto.

“Pelaku sempat melakukan perlawanan saat hendak diamankan. Warga akhirnya mengikat tangan dan kaki pelaku menggunakan tali nilon,” tambahnya.

Suryanto menjelaskan, FA sebelumnya membacok adik kandungnya hingga tewas pada Januari 2024. Ia tidak merinci identitas dan usia korban.

Ditanya Floresa terkait langkah penanganan FA usai kejadian itu, kata dia, “keluarganya tidak membuat laporan resmi ke polisi.”

Namun, “ia tetap diamankan oleh anggota Polsek Lamba Leda,” kata Suryanto.

Ia berkata keluarga FA saat itu sempat berencana membawanya ke panti khusus bagi ODGJ di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Namun, Suryanto tidak menjelaskan tindak lanjutnya.

Sementara itu, Pater Avent Saur, SVD, Ketua Kelompok Kasih Insanis [KKI] Peduli Sehat Jiwa NTT, organisasi yang terlibat dalam penanganan dan advokasi ODGJ berkata, pihaknya pernah dikontak keluarga FA usai peristiwa pada Januari itu.

Mereka, katanya, meminta saran dari KKI terkait penanganan dan pengobatan untuk pemulihan FA.

Saat itu, katanya, ia menyarankan agar FA dirawat di panti untuk ODGJ di Ruteng, merujuk pada Panti Renceng Mose, yang dikelola salah satu lembaga yang berafiliasi dengan Gereja Katolik.

Namun, kala itu, jelasnya, ruangan isolasi di panti tersebut sudah penuh sehingga terpaksa FA dirawat oleh keluarganya. 

“Saya bilang [ke keluarga FA], kamu amankan dulu dengan cara kamu, lalu jika terpaksa harus dipasung, ya pasung yang aman dan segera mencari obat ke Puskesmas,” katanya kepada Floresa.

Avent berkata, FA memang pernah dipasung, namun dilepas kembali oleh keluarganya karena kondisinya dianggap sudah membaik.

Ia menyatakan keluarga diduga lalai dalam menangani dan merawat FA karena usai pelepasan pasung dia tidak lagi mengkonsumsi obat.

“Yang keluarga tahu bahwa dia sudah sembuh sehingga untuk apa lagi diberi obat,” katanya.

Ia mengatakan, ODGJ membutuhkan pengobatan jangka panjang yang dilakukan oleh petugas kesehatan di Puskesmas terdekat. 

“Perawat atau bidan harus memastikan bahwa mereka rutin mengonsumsi obat,” katanya. 

Ia mengatakan sangat prihatin dengan tindakan FA, menyebut “kasus seperti ini menunjukan bahwa ODGJ tersebut tidak dirawat sesuai haknya sebagai orang sakit.”

Ia berkata, “seseorang yang mengalami gangguan jiwa mestinya dirawat agar tidak membahayakan orang lain maupun dirinya sendiri”.

Floresa tidak bisa mendapat penjelasan apakah FA masih mendapat penanganan dari Puskesmas Dampek yang bertugas mengawasinya – seperti dikatakan Suryanto.

Merujuk pada pernyataan Kepala Dinas Kesehatan, Surip Tintin pada tahun lalu, Manggarai Timur tercatat memiliki jumlah ODGJ terbanyak di Nusa Tenggara Timur [NTT].

Jumlah ODGJ di kabupaten itu, katanya saat rapat koordinasi dan pembentukan Tim Pelaksana Kesehatan Jiwa Masyarakat [TPKJM] pada 24 Oktober 2023, mencapai 694 orang, di mana 54 orang masih dipasung. 

Titin berkata ketika itu bahwa dinasnya kesulitan untuk pengadaan obat-obatan karena tidak mendapatkan Dana Alokasi Khusus [DAK] pada tahun 2024.

Padahal, kata dia, alokasi dana pengadaan obat bagi ODGJ bersumber dari DAK.

Pada 2023, katanya, dinasnya mendapat DAK Rp8 miliar, yang Rp5 miliarnya digunakan untuk membeli obat bagi ODGJ.

Ia sempat berkata bahwa dinasnya akan tetap berupaya untuk bisa menyediakan obat bagi ODGJ, tanpa merinci sumber dananya.

Ia juga menjelaskan Puskesmas terdekat terus melayani ODGJ dari rumah ke rumah dan berharap keluarga dan lingkungan sosial juga ikut terlibat.

“Para medis bertugas untuk mengobati pasien, sementara pendampingan untuk rutin minum obat dilakukan oleh keluarga,” kata Titin.

Laporan kontributor Gabrin Anggur di Manggarai Timur

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA