Floresa.co – Bertahun-tahun harus berjalan kaki melewati tebing terjal untuk mendapat air bersih, warga sebuah desa di Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur memutuskan mengambil solusi membangun sebuah sumur secara swadaya.
Warga Kampung Rembong Watu, Desa Golo Nimbung itu mengaku sejak Indonesia merdeka masih saja kesulitan untuk bisa mengakses air bersih.
Bonefasius Kardi Raka, salah satu warga kampung itu yang berbicara kepada Floresa pada 25 Mei berkata, selama ini warga menimba air di Wae Pong atau Wejang Rana di tengah hutan, yang menjadi bagian dari tanah ulayat warga Kampung Pantar.
Untuk sampai ke sumber air, kata dia, warga membutuhkan waktu sekitar dua jam melewati Kampung Pantar, yang juga bagian dari Desa Golo Nimbung.
Rute yang paling singkat, katanya, adalah dengan melewati tebing dan jurang yang sangat terjal, di mana waktu tempuhnya sekitar satu jam.
“Tapi, jalannya sangat sempit, hanya cukup untuk dilewati satu orang saja. Jadi, kalau berpapasan dengan orang lain, maka di antara mereka harus ada yang menepi untuk memberi jalan bagi yang lain,” katanya.
Bonefasius mengatakan dengan kondisi seperti itu, “banyak anak kecil yang jatuh di situ, termasuk saya saat masih kecil.”
Jika saat pergi membutuhkan waktu satu jam, “saat pulang membutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga jam karena harus mendaki sambil membawa jerigen air.”
Karena itulah, kata dia, baru-baru ini warga memutuskan membangun sumur. Informasi aksi swadaya warga itu diunggah Bonefasius di Facebook pada 19 Mei.
Dalam video unggahan itu, seorang warga sedang memecahkan batu di dalam lubang sumur, sementara beberapa warga lainnya mengeluarkan hasil pecahan batu menggunakan sebuah ember yang ditarik dengan tali.
“Semoga impian dan harapan untuk mendapatkan mata air akan menjadi nyata sehingga dapat meringankan beban mereka selama ini,” tulisnya dalam keterangan video itu.
“Semangat berjuang saudaraku, semoga Tuhan akan hadir di tengah-tengah kalian dalam perjuangan kalian,” tambahnya.
Bonefasius berdomisili di Bali sejak 20 tahun lalu, namun mengaku intens berkomunikasi dengan warga di kampungnya, termasuk memberi dukungan selama pembangunan sumur itu.
“Saya menggalang dana dalam bentuk bazar untuk bantu mereka. Hasilnya saya kirim buat beli tali untuk tarik material tanahnya.”
Ia berkata saat ini warga masih membutuhkan beberapa material seperti pasir dan semen dan beberapa fasilitas seperti pompa, meteran listrik, pipa dan bak penampung yang dapat digunakan untuk menyalurkan air itu ke tengah kampung.
Warga telah bekerja selama sepekan lebih mengerjakan sumur itu, kata Bonefasius.
Mereka berhasil menggali sumur sedalam tujuh meter, namun dinilai belum cukup, sehingga masih terus menggali lebih dalam lagi.
Program Gagal
Bonefasius berkata, pada 2001 pemerintah pernah membuat saluran air yang sumbernya dari Kampung Kedel, Desa Watu Lanur.
Namun, “airnya hanya bertahan selama satu bulan” karena pipanya dirusak oleh sesama warga.
“Mungkin karena salurannya melewati persawahan mereka,” katanya.
Pada 2019, saat dipimpin Fransiskus Salesman, pemerintah desa juga pernah membangun saluran air di dekat pemukiman warga dengan memanfaatkan air dari Wejang Rana.
Fransiskus mengklaim ketika itu, lewat proyek “Pompanisasi Air Minum Bersih Wejang Rana,” air bersih akan dimanfaatkan 100 kepala keluarga di empat anak kampung – Pantar, Rembong Watu, Longka Kaweng, dan Golo Runtung.
Selain itu, 20 kepala keluarga Desa Lencur juga diklaim akan ikut memanfaatkan air itu.
Proyek dari dana desa tahun 2018 itu menelan anggaran Rp600 juta untuk membangun bak, membeli dua buah pompa dan mesin listrik.
Fransiskus sempat berjanji bahwa air minum ini akan dikelola Panitia Pengelola Air Minum, termasuk kebijakan iuran untuk kebutuhan operasional.
Sayangnya, kata Bonefasius, saluran air itu hanya bertahan satu tahun karena pompanya rusak dan “mungkin pemerintah desa tidak punya anggaran untuk pemeliharaan.”
Padahal, selama air itu mengalir, setiap kepala keluarga rutin menyetor iuran sebesar Rp50 ribu per bulan untuk membeli solar, katanya.
“Tapi, warga tidak tahu seperti apa pengelolaan uang itu. Setelah pompanya rusak, tidak ada respons apa-apa dari pemerintah desa. Terbukti, mereka tidak menganggarkan perbaikan.”
Ia mengatakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat juga pernah mencoba membantu menggali sumur di tengah Kampung Longka Kaweng, tetapi “airnya tidak muncul dan para tukang menyerah karena banyak batu di bawahnya.”
Usai sejumlah program itu gagal, kata dia, warga kembali menimba air di Wejang Rana, hingga akhirnya muncul ide membangun sumur.
Bonefasius berharap Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur dapat membantu warga kampungnya sehingga mereka bisa mengakses air dengan mudah.
Dana desa, kata dia, tidak cukup untuk fasilitas air minum karena semua kampung di desanya kesulitan mengakses air bersih.
Editor: Ryan Dagur