Floresa.co – Kejaksaan Negeri [Kejari] Manggarai menyatakan tuntutan ganti rugi dan pemulihan nama baik Mikael Ane “bukan ranah praperadilan,” yang direspons kuasa hukumnya, “jaksa terlalu sempit memahami praperadilan.”
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Manggarai, Zaenal Abidin menyatakan “praperadilan hanya menguji terkait penetapan tersangka serta upaya paksa di tingkat penyidikan.”
“Sepemahaman kami,” kata Zaenal kepada Floresa pada 21 Agustus, “praperadilan gugur jika materi pokoknya sudah diperiksa.” Zaenal tak menjabarkan “materi pokok” yang disebutkannya.
Terhadap materi pokok tersebut, katanya, “pengadilan tingkat satu dan dua telah menghukum Mikael.”
Kejari sebelumnya mendakwa Mikael, warga adat Ngkiong di Manggarai Timur, telah membangun rumah yang oleh pemerintah diklaim sebagai bagian dari kawasan Taman Wisata Alam Ruteng.
Terhadap dakwaan tersebut, Pengadilan Negeri Ruteng lalu memvonis Mikael satu tahun enam bulan penjara pada 5 September 2023. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp300 juta, subsider enam bulan tahanan.
Mikael kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Kupang. Namun, Pengadilan Tinggi Kupang dalam amar banding yang dibacakan 22 November 2023 menguatkan putusan sebelumnya.
“Benar, pengadilan judex facti [Pengadilan Negeri Ruteng dan Pengadilan Tinggi Kupang] dalam putusannya menyatakan Mikael bersalah,” kata kuasa hukum Mikael, Maximilianus Herson Loi.
Namun, “putusan judex facti tersebut belum berkekuatan hukum tetap karena Mikael melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.”
Pengajuan banding yang ditolak Pengadilan Tinggi Kupang tak membuat langkah Mikael terhenti.
Ia memilih terus maju hingga tingkat kasasi. Dalam amar kasasi yang dibacakan 6 Mei, Mahkamah Agung membatalkan putusan judex facti.
Herson menyebut “praperadilan tak terbatas pada poin-poin yang disampaikan jaksa.”
Praperadilan, kata Herson, “dapat pula ditempuh terkait tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi oleh seseorang yang diputus lepas atau bebas.”
Pernyataan Herson merujuk pada Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana [KUHAP] jo Pasal 7 [1] Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
Pasal itu pada intinya mengatur tuntutan ganti rugi diajukan selambatnya tiga bulan, terhitung sejak petikan atau salinan putusan hukum berkekuatan tetap telah diterima.
Mikael mengajukan praperadilan yang ditujukan ke empat lembaga negara. Selain Kejari Manggarai, tiga termohon lainnya adalah Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Kepolisian Resor [Polres] Manggarai Timur dan Kementerian Keuangan.
Dalam tuntutan, warga adat dari Desa Ngkiong Dora di Kabupaten Manggarai Timur itu menyatakan negara telah menerapkan hukum yang keliru hingga membuatnya dibui.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Kantor Seksi Wilayah III Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan [Gakkum] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Suparman menyatakan “saat ini kami tidak bisa menjelaskan detail soal alasan [Gakkum] tercakup dalam pihak termohon praperadilan.”
“Kami akan sampaikan setelah putusan sidang praperadilan,” katanya kepada Floresa pada 21 Agustus.
Sementara itu, Kapolres Manggarai Timur, Suryanto mengatakan lembaganya “sudah melakukan penyidikan [terhadap Mikael] sesuai prosedur.”
Polres Manggarai Timur “membantu membuat surat penangkapan dan penahanan [terhadap Mikael] berdasarkan permohonan dari penyidik.”
Ia menekankan “sudah sesuai prosedur dan diatur dalam peraturan Kapolri.”
Sidang perdana praperadilan tersebut digelar 19 Agustus di Pengadilan Negeri Ruteng. Sidang berlangsung tujuh hari berturut-turut yang akan diakhiri putusan praperadilan pada 26 Agustus.
Editor: Ryan Dagur