Floresa.co – Isu pekerja migran, gender hingga keadilan ekonomi di tengah pembangunan proyek strategis nasional diangkat dalam dialog multipihak yang baru-baru ini digelar di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Diinisiasi oleh Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice dan Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] NTT, dialog tersebut bertema “Perlindungan dan Pengakuan Hak dan Akses Perempuan untuk Mengakhiri Ketimpangan Ekonomi dan Gender di NTT”, diadakan pada 20 November, bagian dari tindak lanjut agenda konsultasi perempuan pada 2022 di Kupang.
Panitia acara menyatakan dialog tersebut bertujuan “menggali penyebab ketimpangan gender dan ekonomi di NTT melalui pengalaman perempuan akar rumput, menghasilkan gagasan strategis berupa solusi, serta membuka ruang dialog antara perempuan dan para pengambil keputusan.”
Tujuan tersebut berangkat dari hasil kajian dua lembaga yang menyebut perempuan dan masyarakat adat sebagai kelompok paling rentan dalam isu lingkungan hidup di wilayah NTT.
“Perampasan sumber daya alam berdampak langsung pada perempuan, terutama nelayan pesisir yang kesulitan mengakses dan mengelola sumber daya alam untuk penghidupan mereka,” menurut Walhi dan Aksi!.
Kemiskinan akibat Ketimpangan Penguasaan SDA
Risma Umar, Wakil Direktur Eksekutif Aksi! menjelaskan dialog tersebut turut menyoroti kebijakan, proyek, dan program-program pemerintah yang kontraproduktif dengan asas keadilan dan kesejahteraan, “yang membuat masyarakat tidak mendapatkan akses atau perlindungan atas sumber daya, informasi, pendidikan dan kesehatan.”
Ia mengatakan, para peserta yang terdiri atas perwakilan pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga advokasi sepakat bahwa NTT memiliki ketersediaan sumber daya alam yang cukup memadai.
Karena itu, kata dia, masyarakat NTT seharusnya sejahtera “karena memiliki laut, [dan] daratan yang cukup.”.
Kendati demikian, lanjut Risma, hal tersebut tidak terjadi di NTT. Salah satu buktinya dapat ditelisik dari fakta statistik yang menunjukkan NTT pada piramida teratas kemiskinan berdasarkan provinsi di Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik, NTT berada di peringkat keempat provinsi termiskin pada 2024, dengan penduduk miskin sebanyak 1.127.570 atau 19,48 persen dari total populasi.
“[Terindikasi] ada kemiskinan akut, artinya tidak memiliki lagi sumber daya untuk melanjutkan kehidupannya,” kata Risma.
Ia juga berkata salah satu penyebab kemiskinan di NTT adalah ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam, di mana terjadi “penguasaan oleh orang-orang kaya yang berasal dari luar atau tidak bertempat tinggal di NTT.”
“Perputaran uang yang ada di kota ini [Kupang] sebetulnya tidak terjadi. Sumber dayanya dikeruk, kemudian hasilnya dibawa keluar,” katanya.
Kondisi tersebut terjadi karena “pemerintah tidak memproteksi, tidak melindungi sumber daya alam yang ada di sini, yang juga dibuktikan lewat kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.”
Ia mengambil contoh kawasan pesisir di Kupang yang sebagian besar sudah dikuasai pemodal.
“Padahal masyarakat yang tinggal di pesisir sejak dulu telah menggantungkan hidupnya dengan melaut, menjaga tradisi dan adat budaya setempat,” katanya.
Sementara itu, Direktur Walhi NTT Umbu Wulang Tanaamah Paranggi menyoroti minimnya upaya penguatan peran perempuan dalam setiap kebijakan pemerintah, hal yang turut melanggengkan ketimpangan penguasaan sumber daya alam.
“Hampir semua tata kuasa lahan di NTT diatasnamakan laki-laki, di luar konteks matrilineal seperti di Bajawa [Kabupaten Ngada] dan Malaka,” katanya.
Hal tersebut, kata dia, diperparah praktik-praktik pembangunan yang tidak mengakomodasi aspirasi kaum perempuan.
Ia mengatakan dalam mendorong solusi atas penyelesaian masalah ini, “pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan dengan rumusan-rumusan yang memprtimbangkan keberadaan masyarakat terutama perempuan.”
“Karena kita tahu, kita bicara kedaulatan, kemandirian, ketahanan, keamanan pangan. Itu tidak bisa dilepaskan dari peran penting keadilan perempuan dalam rumusan-rumusan kehidupan bersama di NTT,” katanya.
Selain itu, Umbu juga menyoroti isu sampah, menyinggung Kota Kupang sebagai kota terkotor di Indonesia pada 2019 dan 2022 menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ia berkata, predikat kota terkotor itu turut merendahkan posisi perempuan.
“Padahal, kita tahu bahwa sampah-sampah tersebut diproduksi oleh industri dan perempuan hanya menjadi korban pelabelan.”
Suara Perempuan Petani Rumput Laut dan Nelayan
Lenora Abia, perempuan petani rumput laut dari Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang mengisahkan pengalamannya sebagai warga terdampak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap [PLTU] Timor 1 yang berbahan bakar batu bara.
“PLTU batu bara yang bermula pada 1999 turut merusak usaha yang menunjang ekonomi kami, kehidupan kami,” katanya menyebut dampak buruk proyek tersebut terhadap usaha rumput laut selama dua tahun terakhir.
Ia mengatakan budi daya rumput laut membuat dirinya dan warga di wilayah itu “bangkit dari kemiskinan dan anak-anak kami bisa bersekolah sampai perguruan tinggi.”
“Saat ini bagaimana kami harus melanjutkan [pendidikan] mereka ke jenjang yang lebih tinggi?” katanya.
Lenora berharap kebijakan pemerintah mempertimbangkan usaha budi daya rumput laut tersebut, “karena, ketika pemerintah tidak mengambil suatu keputusan, atau suatu kebijakan, dari mana kami bisa hidup?”
“Kepada bapak presiden bersama wakil, bapak dan ibu menteri yang sudah terpilih, bapak dan ibu dewan yang sudah terpilih, dan bapak gubernur serta bapak bupati yang akan terpilih nanti, tolong perhatikan kondisi kami, mencari solusi untuk membantu kami, mengeluarkan kami dari penyakit ini,” katanya.
Pada 2020, protes warga mencuat di sekitar PLTU Timor 1 yang berjarak sekitar 650 meter dari permukiman mereka karena gagal panen rumput laut yang berjarak 1,5 kilometer kawasan proyek tersebut.
Di samping itu, bahan peledak yang dipakai pada proyek tersebut juga menyebabkan keretakan dinding rumah-rumah warga.
Sementara itu, Yasinta Adu, perempuan nelayan asal Pantai Pasir Panjang, Kota Kupang mengemukakan kasus pembangunan lintasan olahraga jogging track di kawasan pesisir tersebut yang menurutnya tidak terlalu dibutuhkan nelayan ketimbang perbaikan tanggul laut untuk mengatasi abrasi.
“Kami membutuhkan perbaikan [tanggul] itu, bukan pembangunan jogging track”, katanya.
Tanggul tersebut perlu dibangun sebagai “pemecah gelombang di titik-titik yang membutuhkan.”
“Kami tahu Pasir Panjang sampai kapanpun akan tetap menjadi Pasir Panjang, tidak menjadi beton yang panjang”, katanya.
“Jika di Pasir Panjang tidak bisa, harusnya bisa di Oesapa atau di wilayah terdekat lainnya.”
Oesapa dan Lifuleo terpaut kira-kira 26 kilometer. Dari Oesapa, membutuhkan waktu sekitar satu jam perjalanan berkendara ke arah selatan Pulau Timor.
Terkait jaminan ekonomi bagi nelayan kecil, Yasinta berkata perlu ada asuransi aset dan “pinjaman perbankan tanpa agunan dengan bunga nol persen.”
Proyek Bendungan Kolhua Ancam Ruang Hidup Warga Adat Helong
“Dari pertama menjadi seorang budak, lalu mengolah sawah di daerah yang bergunung, tapi puji Tuhan dari situ orang tua kami bisa membesarkan kami, menyekolahkan kami, meskipun hanya SD sampai SMP,” kata Linda, perempuan asal Suku Helong, Kelurahan Kolhua, Kota Kupang.
Ia mengisahkan proyek pembangunan Bendungan Kolhua di atas lahan seluas 118,86 hektare sejak 2022 yang mengancam keutuhan ruang hidup suku asli di wilayah itu.
Sebagai petani, kata dia, warga adat Suku Helong sejak awal mempertanyakan rencana pembangunan bendungan tersebut yang mengancam mata pencaharian warga.
“Apakah itu menyejahterakan kita semua atau untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu?” katanya.
Ia menyoroti proses pengerjaan proyek tersebut yang tidak mempertimbangkan nasib para petani, termasuk “generasi-generasi yang akan datang.”
“Kalau memang untuk kesejahteraan kita semua, sudahkah dipertimbangkan secara baik, apakah ketika bendungan dibangun di lokasi itu kami orang pertama yang akan menikmati atau justru menderita,” katanya.
Bendungan Kolhua merupakan bagian dari proyek strategis nasional yang menurut pemerintah menjadi bendungan ketujuh yang dibangun di NTT sejak 2015.
Warga adat Suku Helong memprotes proyek tersebut karena dianggap menghilangkan lahan pertanian produktif mereka yang sudah dijaga secara turun-temurun.
Warga menilai, bukannya mengairi sawah mereka, aliran air dari bendungan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan air Kota Kupang itu malah menggenangi lahan.
Mariance Kabu: Sepuluh Tahun Mencari Keadilan
Mariance Kabu, perempuan 43 tahun asal Amanatun, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang menjadi korban perdagangan manusia hingga penyiksaan oleh majikan di Malaysia turut hadir dalam dialog multipihak tersebut.
“Kadang saya benci dengan saya punya diri, saya marah setengah mati dengan apa yang sudah saya alami”, katanya, sambil mengenang kejadian yang pernah dialaminya.
Mariance merantau ke Malaysia setelah direkrut pada pada April 2014 oleh PT. Malindo Mitra Perkasa.
Dengan bujuk rayu dan iming-iming gaji tinggi serta gratis pengurusan administrasi ia akhirnya berangkat, meninggalkan empat anaknya.
Namun, alih-alih mendapat pekerjaan yang baik dan gaji layak, dia mendapa penyiksaan dari majikannya.
Mariance diperlakukan dengan kejam hingga mengalami cacat fisik pada telinga dan mulut. Beberapa giginya juga sempat dicabut menggunakan tang.
Kasus Mariance mulai diproses sejak Januari 2015 di Pengadilan di Ampang, Negara Bagian Selangor, dengan dua terdakwa, Ong Su Ping Serene dan Sang Yoke Leng.
Namun dalam sidang yang digelar pada 30 Juli 2024 majelis hakim yang dipimpin Wan Mohd Norisham Wan Yaakob memutuskan perbuatan majikan tersebut hanya memenuhi elemen perdagangan orang dan pelanggaran keimigrasian.
Sementara untuk dakwaan penganiayaan dan percobaan pembunuhan, majelis hakim memutuskan keduanya bebas dari tuntutan dengan alasan kehilangan alat bukti.
Editor: Anno Susabun