Floresa.co – Rapat bersama warga adat di Pulau Timor, NTT baru-baru ini menghasilkan kesepakatan untuk menolak keputusan pemerintah yang mengubah status Cagar Alam Mutis Timau menjadi taman nasional.
Diadakan di Sonaf – tempat tinggal Usif atau Raja wilayah Sonkolo, Niki-Niki, Kabupaten Timor Tengah Selatan pada 10 November, warga menyebut keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] yang mengubah status kawasan tersebut “merusak peradaban orang Timor.”
Kayetanus Abi, ketua Forum Sejarah dan Budaya Timor [FSBT] yang memimpin pertemuan tersebut menjelaskan, pihaknya mengadakan pertemuan untuk menegaskan “perlawanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang kontraproduktif bagi kemaslahatan masyarakat Timor.”
“Tanah-tanah di Pulau Timor sangat kaya akan sumber daya alam, sehingga kita sebagai masyarakat Timor wajib mempertahankannya,” katanya, menyebut kawasan hutan Mutis Timau sebagai “kunci kelangsungan hidup kami.”
Ia juga mengatakan “tidak ada undang-undang yang menegaskan bahwa negara punya [kepemilikan atas] tanah.”
Penetapan Taman Nasional Mutis Timau diumumkan oleh Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar pada 8 September.
Dalam kesempatan tersebut, di mana sekelompok warga yang mengenakan pakaian adat ikut serta dari salah satu titik di kawasan Mutis Timau, Siti mengklaim, taman nasional itu “menjadi paru-paru bagi Nusa Tenggara Timur.”
Ia juga menyebutnya simbol sekaligus implementasi penting upaya “melindungi, mengawetkan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, berkeadilan dan bertanggung jawab demi generasi mendatang.”
Abaikan Kearifan Lokal dan Partisipasi Warga
Bruno Anapah, salah satu warga adat yang juga anggota FSBT menilai keputusan KLHK jelas mengabaikan kearifan lokal warga adat di sekitar Mutis.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, katanya, “seharusnya memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan bermasyarakat.”
“Hukum lokal yang berkembang juga harus dihormati dalam rangka pengambilan kebijakan untuk tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” kata Bruno.
Jika kearifan lokal warga setempat diabaikan, “sesuatu yang fatal bisa saja terjadi, misalnya rusaknya sumber air Mutis yang mengairi Sungai Noelmina, Benenain dan di Timor Oekusi [Timor Leste].”
“Masyarakat asli di Mutis akan kehilangan ruang hidup, baik untuk beternak, berladang maupun mengembangkan hidup, sebab Mutis adalah wilayah yang sakral”, lanjutnya.
Sementara itu Adren Heplif Taflin Oematan, delegasi dari Usif atau Raja Nunbena Mollo menyatakan keberadaan kawasan Mutis Timau memainkan peranan penting dalam menjaga keseimbangan alam di Pulau Timor.
“Mutis adalah Taman Eden di Pulau Timor. Ada tujuh buah sungai yang mengalir dari Mutis,” katanya.
Karena itu, ia menolak penetapan kawasan tersebut sebagai taman nasional, sembari menuntut “Mutis harus kembali menjadi hutan adat seperti sediakala.”
“Mutis adalah jantung dari Pulau Timor, sehingga apabila Mutis dirusak, maka seluruh Pulau Timor akan rusak dan mati”, kata Pina Ope Nope dari Perkumpulan Masyarakat Adat Budaya Amanuban.
Sementara itu, Ferry Kase, tokoh pemuda adat Mollo mengatakan keputusan KLHK diambil “tanpa persetujuan seluruh masyarakat adat di Mollo.”
“Mutis merupakan pusat peradaban dari AM [akronim dari sekumpulan nama wilayah yaitu Amanuban, Ambenu, Amarasi, Amanatun, Amfoang, Amabi], maka seluruh tokoh dari AM-AM ini harus dikumpulkan untuk membangun kesepakatan sebelum Mutis diturunkan statusnya”, katanya.
Diprotes Warga Sejak Awal, BBKSDA Klaim Untuk Legalkan Aktivitas Adat
Deklarasi taman nasional tersebut sejak awal menuai kritikan warga adat yang menyebut KLHK mengambil keputusan sepihak seperti “pencuri yang mau mengambil sesuatu dari Mutis.”
“Negara mau ambil apa dari hutan ini?” kata Aleta Kornelia Baun, aktivis perempuan asal Lelobatan, Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
“Hutan itu hutan keramat bagi masyarakat adat, karena di dalamnya ada tempat-tempat ritual,” katanya.
Sementara itu, Dicky Senda, penulis dan aktivis pangan dari Komunitas Lakoat Kujawas, Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan berkata, akar dari keputusan sepihak KLHK adalah “pemerintahan yang korup,” yang membuat aturan-aturan untuk “kepentingan dan niat jahat di kawasan Mutis.”
Kecurigaan warga beralasan karena “sudah banyak pengalaman kebijakan, undang-undang dan berbagai aturan yang dibuat sepihak, minim sosialisasi dan tidak melalui kajian yang melibatkan publik,” katanya.
Novadona Bayo, akademisi asal Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta yang memiliki fokus kajian politik dan masyarakat di Pulau Timor menilai kemarahan warga adat merupakan hal yang wajar.
“Bagi orang Timor, Mutis adalah mama,” katanya kepada Floresa pada 25 September.
Karena itu, kata Nova yang kini sedang menempuh studi doktoral di Australia, KLHK seharusnya tidak buru-buru mengambil keputusan, tanpa melalui sosialisasi menyeluruh dengan semua elemen masyarakat adat.
Nova mengatakan belajar dari wisata super premium di kawasan Taman Nasional Komodo, “kepentingan bisnis pariwisata dalam banyak hal meminggirkan masyarakat lokal atau masyarakat adat.”
“Inilah yang menjadi ketakutan masyarakat, dan kekhawatiran publik itu sangat valid karena mereka juga banyak mendengar tentang pengelolaan Taman Nasional Komodo, misalnya tentang bagaimana susahnya Ata Modo melakukan klaim terhadap tanah dan ruang hidup mereka sendiri,” katanya.
Merespons kritikan warga adat, Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] NTT Arief Mahmud menyatakan perubahan status Cagar Alam Mutis Timau menjadi taman nasional untuk perlindungan kawasan dan justru akan memberi payung hukum bagi aktivitas warga adat yang selama ini “ilegal.”
Di sisi lain, BKKSDA juga mengakui kawasan itu akan dikembangkan untuk pariwisata, berdasarkan sistem zonasi yang penetapannya akan melibatkan masyarakat setempat.
“Yang dicemaskan [warga] itu ketakutan yang tidak berdasar, ketakutan yang belum terjadi, pemerintah itu kan gak ingin merusak, kawasan mana yang pemerintah mau merusak?” katanya.
Ia berkata, dengan perubahan statusnya menjadi taman nasional, pemerintah bermaksud melakukan pengelolaan dengan sistem zonasi, di mana terdapat beberapa zona seperti “zona inti, zona rimba, zona rehabilitasi untuk bagian kawasan yang telah rusak dan zona pemanfaatan tradisional.”
Zona lainnya, kata Arief, adalah “zona religi” yang dikhususkan untuk melindungi situs-situs budaya tempat masyarakat adat biasa melakukan ritual.
FSBT Bantah Adanya Aktivitas “Ilegal” di Kawasan Mutis
Dihubungi secara terpisah pada 15 November, Kayetanus Abi membantah klaim BBKSDA NTT yang menyebut aktivitas warga adat ilegal di kawasan Cagar Alam Mutis Timau.
Klaim tersebut, kata dia, bertentangan dengan sejarah hukum adat yang diakui oleh masyarakat adat setempat.
“Yang perlu BBKSDA tahu, Mutis itu [mereka] dapat dari siapa?”, katanya.
Ia mengatakan “hukum yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan kawasan adat di Mutis sudah ada jauh sebelum negara Indonesia ini berdiri.”
Ia juga mengatakan masyarakat adat “sudah memanfaatkan dan mengelola kawasan ini dengan aturan dan nilai-nilai adat yang ketat”.
“Pemanfaatan wilayah Mutis tidak terbuka untuk sembarang orang, dan setiap kegiatan diatur serta diawasi oleh pejabat adat setempat,” katanya.
Sementara itu Pina Ope Nope mempertanyakan klaim BBKSDA tersebut: “Bagaimana mungkin aktivitas adat yang sudah ada selama ratusan tahun sebelum negara ini ada, tiba-tiba menjadi ilegal?”
“Apakah untuk melegalkan aktivitas adat yang telah menjadi tradisi beratus-ratus tahun lamanya ini, hanya dapat terjadi jika ada pengalihan status?” katanya.
Selain itu, kata dia, tujuan penetapan status taman nasional tersebut “hanya untuk sekadar memuluskan skema zona pemanfaatan wisata, ketimbang memprioritaskan pemanfaatan konservasi alam.”
Sistem Zonasi Buka Celah Komersialisasi dan Eksploitasi
Pertemuan bersama warga adat tersebut juga dihadiri aktivis dari beberapa organisasi gerakan, seperti Front Mahasiswa Nasional [FMN], Aliansi Gerakan Reforma Agraria [AGRA], dan Ikatan Mahasiswa Asal Amanuban [IKMABAN].
Febri Bintara, Ketua FMN Cabang Kupang mengatakan sistem zonasi dalam pengelolaan Taman Nasional Mutis Timau “justru dikhawatirkan dapat membuka ruang untuk pemanfaatan sumber daya alam yang lebih luas, yang berpotensi mengancam kelestarian lingkungan dan merusak ekosistem alami serta mendepak keberadaan masyarakat adat yang mendiami wilayah tersebut.”
“Pembagian zonasi taman nasional dapat membuka celah bagi kegiatan komersial atau eksploitasi yang dapat mengganggu keberlanjutan sumber daya alam di wilayah tersebut,” katanya.
Berkaca pada pengalaman pengelolaan Taman Nasional Komodo di Kabupaten Manggarai Barat, Febri berkata, sistem zonasi membuat warga terancam kehilangan ruang hidupnya.
“Akibat dari pembagian yang secara ketat nan rumit ini, masyarakat yang sejatinya merupakan penghuni asli di wilayah tersebut justru merasa semakin terasing dari tanah leluhur mereka,” katanya.
Ia juga berkata penetapan zonasi konservasi yang direncanakan tidak selalu berhasil menjaga keutuhan ekosistem.
Pada beberapa kasus, kata dia, kehadiran aktivitas wisata dan pemanfaatan komersial yang berkembang di sekitar kawasan konservasi dapat menyebabkan kerusakan ekosistem secara langsung atau tidak langsung.
“Hal ini mencakup peningkatan jumlah pengunjung, pembangunan infrastruktur, serta aktivitas ekonomi lain yang seringkali mengorbankan keaslian dan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut,” katanya.
Sementara itu terkait klaim perubahan status kawasan Mutis demi peningkatan taraf ekonomi warga adat, Febri mengatakan pihaknya ragu.
Mengambil contoh pengelolaan Taman Nasional Komodo, ia mengatakan “wilayah yang sebagian besar dialokasikan untuk zona pemanfaatan wisata tidak serta merta memberi keuntungan langsung bagi masyarakat lokal, melainkan lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar yang berinvestasi di sektor pariwisata.”
“Alat peningkatan taraf hidup masyarakat seperti alat pertanian yang seharusnya ditingkatkan dan [lebih] banyak didistribusikan kepada rakyat, bukan malah dengan mengklaim tanah adat dan tanah rakyat,” katanya.
Yoksan Mailang, aktivis lainnya dari FMN mengatakan tradisi masyarakat Timor yang menganggap tanah dan hutan sebagai “ibu” mencerminkan hubungan yang sangat erat antara manusia dan alam, di mana tanah dan hutan dianggap sebagai penyedia dan penyangga kehidupan.
Dalam pandangan itu, kata dia, tanah dan hutan tidak hanya sekadar sumber daya alam, tetapi juga entitas yang memiliki nilai spiritual dan kultural yang tinggi.
“Masyarakat adat Timor melihat bahwa tanah adalah tempat mereka dilahirkan, hidup, dan berkembang, sedangkan hutan menyediakan bahan pangan, obat-obatan, dan bahan-bahan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup,” katanya.
“Sistem yang sedang berlaku di negara ini, yang sudah berjalan sepuluh tahun, lebih berpihak kepada pengusaha dan investor, termasuk upaya penguasaan lahan masyarakat untuk kepentingan investor melalui taman nasional-taman nasional,” lanjutnya.
Editor: Anno Susabun