Floresa.co – Salah satu komunitas seni berbasis di Ruteng, Kabupaten Manggarai akan mementaskan teater yang secara khusus mengangkat kisah tentang Wilhelmus Zakaria Johannes, pahlawan nasional bidang kesehatan yang berasal dari NTT.
Dikenal sebagai W.Z. Johannes, ia merupakan dokter radiologi pertama, yang namanya kini diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit pemerintah daerah di Kupang.
Pementasan yang mengusung tema “Teater Kepahlawanan Nasional X-Ray Mission” tersebut akan berlangsung di Aula Efata St. Aloysius Ruteng pada 14 Desember.
Komunitas Teater Saja, yang beranggotakan kaum muda di Ruteng, menginisiasi pementasan ini dengan dukungan salah satu program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang secara khusus fokus pada tema kepahlawanan nasional.
Dalam sebuah pernyataan, panitia menyatakan, X-Ray Mission “bisa dikatakan sebagai eksplorasi kreatif atas riwayat hidup W.Z. Johannes” dan pementasan ini akan “mengenang seorang pahlawan nasional, pelopor radiologi, dan pejuang kemanusiaan Indonesia.”
Keseharian di rumah sakit, yang menjadi latar cerita teater, tak sekadar menarasikan perjalanan W.Z. Johannes dari masa ke masa.
Lebih dari itu, menurut Marcelus Ungkang, penulis naskah dan sutradara, pementasan berupaya menggambarkan “perjalanan seorang individu yang mencoba menemukan cara melihat diri dan dunia di sekitarnya yang berubah dan bermasalah.”
“Saya ingin penonton tidak datang untuk menonton akting atau tata artistik, tetapi untuk menonton diri mereka sendiri di atas panggung,” tambahnya.
Ia menjelaskan, materi teater tersebut “bersumber dari pelbagai hal atau fenomena yang terjadi sehari-hari,” sebagaimana pertunjukan lainnya yang pernah mereka tampilkan.
“Bergantung pada kepekaan estetik kita [melihat persoalan sosial],” katanya.
Siapa W.Z. Johannes?
W.Z. Johannes lahir di Pulau Rote, NTT pada 16 Juli 1895 saat Indonesia masih dijajah Belanda..
Berorang tua seorang guru sekolah dasar sekaligus pengurus gereja dan ibu rumah tangga, W.Z. Johannes masuk Sekolah Melayu di Kupang, lalu melanjutkan pendidikan di Europese Lagere School [ELS] di kota yang sama.
Hal itu tergolong tidak biasa pada masa penjajahan, sebab hanya anak bangsawan yang bisa mengakses pendidikan tinggi.
Setelah tamat dari ELS, ia melanjutkan pendidikan dokter di Sekolah Dokter Bumiputera atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen [STOVIA] di Batavia, kini bernama Jakarta.
Di sekolah itu, ia menyelesaikan studi setahun lebih cepat dari sembilan tahun yang ditentukan.
Pengabdian pertamanya sebagai dokter tercatat di Bengkulu, sebelum berpindah tugas ke sejumlah kota lain di Sumatra, seperti Muara Aman [Lampung], Kayu Agung dan Palembang [Sumatra Selatan].
Pada 1930, ia mengalami lumpuh kaki kanan, yang memaksanya dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, yang dulu dikenal sebagai Centrale Burgelijke Ziekenhuis atau CBZ.
Saat menjalani perawatan itulah pertama kali dia tertarik dan berkenalan dengan teknologi radiologi, bagian dari ilmu kedokteran yang mempelajari tentang teknologi pencitraan, yaitu memindai bagian dalam tubuh manusia untuk mendeteksi suatu penyakit.
Setelah sembuh, ia menjadi asisten Profesor B.J. Van der Plaats, dokter spesialis radiologi asal Belanda di CBZ.
Saat itulah ia mulai meneliti penyakit tumor yang menurutnya hanya bisa dideteksi dan didiagnosis melalui pemeriksaan dengan metode penyinaran atau rontgen.
Pada 1935, Johannes bertugas sebagai asisten ahli radiologi di Rumah Sakit Umum Pusat di Semarang, yang kini bernama Rumah Sakit dr. Karyadi.
Kembali ke CBZ pada 1936, ia menjadi kepala bagian radiologi. Ia pun tercatat sebagai ahli radiologi pertama di Indonesia.
Pada 1949, ia diangkat menjadi guru besar pertama di Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia, lembaga yang kemudian menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ia kemudian terpilih sebagai rektor kampus itu pada 1951. Namun, ia hanya mengemban jabatan itu sebentar karena meninggal pada 1952. Ia mengalami serangan jantung dalam perjalanan studi radiologi di Eropa.
Atas jasa-jasanya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 27 Maret 1968.
Selain diabadikan sebagai nama RSUD W.Z. Johannes Kupang, namanya juga dipakai RS dr. Karyadi Semarang untuk nama ruang radiologi.
Bawa Konteks Sosial ke Panggung Seni
Menurut Teater Saja, W.Z. Johannes “tidak hanya cerdas tetapi juga menjadi pejuang, pemimpin dan organisatoris yang cakap,” yang diharapkan mendorong publik untuk memiliki sikap yang sama di tengah berbagai masalah sosial yang terjadi.
Pementasan ini, kata mereka, bagian dari upaya membawa konteks sosial ke panggung seni, hal yang relevan dengan situasi masyarakat Manggarai dan NTT pada umumnya yang masih berkutat dengan persoalan-persoalan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan literasi.
Retha Janu, Ketua Komunitas Teater Saja berharap pertunjukan ini “menciptakan semesta emosi tersendiri bagi audiens, sehingga menghasilkan tafsiran baru atas pengertian pahlawan.”
“Bahwa kata pahlawan bisa disematkan juga pada orang-orang sakit yang berjuang melawan makhluk renik yang ada di dalam tubuh mereka, juga pada keluarga dari orang-orang sakit yang berjuang untuk kesembuhan anggota keluarganya,” katanya.
Teater Saja adalah komunitas seni beranggotakan 16 orang, terdiri atas kaum muda, akademisi, ASN dan guru.
Terbentuk pada 2018, komunitas itu telah mementaskan dua teater, delapan episode storytelling, 13 seri kelas teater, tujuh bioskop Teater Saja, dua lagu orisinal, dan suatu monolog.
Selain itu, mereka juga dua kali menjadi kolaborator pada Flores Writers Festival, sebuat acara tahunan yang mempertemukan para penulis, pengarang dan pekerja seni di Flores.
Lolik Apung dari Tim Produksi X-Ray Mission mengerjakan laporan ini
Editor: Anno Susabun