‘Merusak Citra Polri’, Kata Pakar Hukum Soal Sanksi Ringan untuk Polisi Pelaku Kekerasan terhadap Pemred Floresa

Polisi pelaku penganiayaan seharusnya tidak hanya dikenakan sanksi etik tetapi juga diproses pidana, kata pakar hukum

Floresa co – Sanksi ringan berupa permintaan maaf yang dijatuhkan terhadap anggota Polres Manggarai, Hendrikus Hanu, yang terbukti bersalah dalam kasus penganiayaan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut, menuai kritik dari berbagai pihak.

Salah satunya pakar hukum Siprianus Edi Hardum, yang menilai sanksi itu justru semakin merusak citra Polri karena menunjukkan ketidakseriusan institusi itu dalam menegakkan hukum terhadap anggotanya.

“Putusan ini menunjukkan bahwa polisi tidak bisa diharapkan untuk memproses hukum anggotanya sendiri yang diduga melakukan tindak pidana,” katanya kepada Floresa melalui pesan Whatsapp pada 25 Februari. 

Ia mengatakan, “lembaga Polri, termasuk pimpinan, Divisi Provos dan Propam, seharusnya berperan sebagai pengawas internal yang memastikan profesionalisme di tubuh kepolisian.”

Provos adalah divisi kepolisian yang bertugas menegakkan disiplin dan ketertiban di lingkungan Polri, sedangkan Divisi Propam bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi pertanggungjawaban profesi dan pengamanan internal, termasuk penegakan disiplin dan ketertiban di lingkungan Polri.

Namun, kata Edi “kenyataan di lapangan justru berbeda.”

Dalam putusan yang diumumkan pada akhir Sidang Komisi Kode Etik Polri [KKEP] pada 24 Februari, Hendrikus Hanu dinyatakan “terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf c Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri.”

Majelis menyatakan, Hendrikus “tidak profesional dalam melakukan pengamanan kegiatan identifikasi dan pendataan awal lokasi” proyek geotermal Poco Leok saat peristiwa pada 2 Oktober 2024.

Tindakannya terhadap Herry dinyatakan “tidak sesuai prosedur” dan “sebagai perbuatan tercela.”

Namun, sanksi yang dijatuhkan kepada Kanit IV Satuan Intelkam Polres Manggarai itu tergolong ringan, yakni “menyampaikan permintaan maaf secara lisan di hadapan sidang KKEP serta secara tertulis kepada Pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.”

Kikis Kepercayaan Publik

Dalam pernyataan resminya beberapa jam setelah sidang etik, Floresa menyatakan kekecewaan terhadap sanksi ringan yang dijatuhkan kepada Hendrikus.

Menurut Floresa, kasus ini dilaporkan ke Polda NTT di Kupang pada 11 Oktober, setelah sangsi bahwa kasus ini akan diproses jika melaporkannya ke Polres Manggarai yang merupakan kesatuan pelaku.

“Namun, harapan kami untuk sebuah proses yang berpihak pada keadilan tidak tercapai.”

Sementara itu, Erick Tanjung, Koordinator Satgas Anti Kekerasan Wartawan Dewan Pers menilai sanksi itu sebaga bentuk pelanggengan impunitas terhadap polisi pelaku kekerasan.

“Kalau penegak hukum sendiri yang melakukan pelanggaran pidana, seharusnya hukuman yang dijatuhkan itu berat, sehingga benar-benar memberikan efek jera,” kata Erick.

Edi Hardum berkata, “jika Polri benar-benar ingin memperbaiki citra mereka, seharusnya anggota yang melanggar diberikan hukuman berat, bahkan bisa sampai pemecatan atau penurunan pangkat.”

“Keputusan ini justru memberi pesan kepada masyarakat bahwa jika ada anggota kepolisian yang melanggar hukum, institusi ini akan cenderung melindungi mereka.”

Menurutnya, sanksi ringan tersebut semakin mengikis kepercayaan publik terhadap institusi Polri.

“Seolah-olah mereka ingin menunjukkan bahwa lembaga ini memang sudah buruk dan tidak peduli terhadap reputasi mereka sendiri. Ini seperti orang gila yang berharap bisa berbicara waras,” Kata Edi.

Edi juga berkata “penganiayaan terhadap wartawan independen ini tidak terjadi tanpa sebab.”

Ia mencurigai “adanya aliran dana dari pihak tertentu, khususnya PT PLN, kepada oknum kepolisian sebagai bentuk ‘pembayaran’ untuk melakukan intimidasi terhadap pers.”

PT PLN adalah pengelola proyek geotermal Poco Leok, perluasan dari PLTP Ulumbu yang mulai beroperasi sejak 2012, menargetkan energi listrik 2×20 Megawatt, meningkat dari 10 Megawatt saat ini.

Edi menduga “tindakan kekerasan terhadap Pemred Floresa diperintahkan langsung oleh atasan yang tidak memahami fungsi pers dalam demokrasi.” 

Padahal, kata dia, pers adalah pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 

‘Jangan Hanya Sanksi Etik’

Selain sanksi etik yang ringan, Edi juga berkata proses hukum terhadap polisi pelaku kekerasan seharusnya juga dilakukan secara pidana.

“Polisi yang bersalah harus dipenjara, bukan hanya menerima sanksi etik dari Propam,” katanya.

Hal itu merespons keputusan Polda NTT pada 6 Januari yang menghentikan penyelidikan pidana penganiayaan Herry karena alasan “tidak cukup bukti”.

Penghentian proses pidana, kata dia, menunjukkan Polda NTT gagal dalam penegakan hukum. Padahal, polisi yang memukul jelas bukanlah pihak yang mengayomi dan melindungi masyarakat tetapi pelaku tindak pidana penganiayaan.

Edi mempertanyakan alasan polisi tidak memasukkan pasal terkait penghalangan tugas pers dalam kasus tersebut, hal yang menurutnya jelas diatur secara khusus dalam Undang-Undang Pers.

“Undang-Undang Pers itu lex specialis, siapapun yang menghalang-halangi itu harus dipidana.”

“Dalam Undang-Undang Pers, terdapat sanksi pidana bagi siapapun yang menghalangi tugas wartawan, dengan ancaman hukuman maksimal tiga tahun penjara. Kenapa polisi tidak menggunakan pasal ini?” katanya.

Karena itu Edi mendesak Kapolri “untuk segera menganulir keputusan penghentian penyelidikan ini dan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelaku.”

“Selain memperbaiki citranya untuk benar-benar menegakkan hukum, Polri perlu memberikan pesan kepada masyarakat bahwa siapapun yang menghalang-halangi tugas wartawan atau pers pasti dihukum,” tegasnya.

Editor: Anno Susabun

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA