Masyarakat Sipil Kritik Gubernur NTT yang ke Poco Leok dengan Aparat Bersenjata Laras Panjang

Laka Lena menyatakan hal itu mengikuti prosedur yang ditetapkan aparat keamanan

Floresa.co – Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Geotermal di Flores-Lembata mengkritisi langkah Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena yang mengunjungi Poco Leok di Kabupaten Manggarai dengan kawalan aparat bersenjata laras panjang dan iring-iringan aparat kepolisian dan TNI.

Sementara itu, Laka Lena menyatakan, hal itu mengikuti kebijakan aparat  keamanan terkait kunjungannya sebagai aparat negara.

Dalam siaran pers yang diterima Floresa pada 17 Juli, kolisi menyatakan “kami mengecam keras kunjungan Gubernur NTT yang diwarnai intimidasi bersenjata ini.”

Alih-alih menjawab penderitaan rakyat, kata mereka, kunjungan Laka Lena pada 16 Juli itu “mempertegas kontrol kekuasaan” terhadap warga.

“Suasana mencekam kembali tercipta, memperpanjang daftar praktik intimidasi yang telah lama dilakukan oleh PT PLN bersama Pemerintah Kabupaten Manggarai,” kata koalisi yang mencakup Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jaringan Advokasi Tambang, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Terranusa Indonesia,  dan dua lembaga Gereja Katolik – JPIC-OFM Indonesia dan JPIC-SVD Ruteng.

Kedatangan Laka Lena terjadi beberapa hari setelah publikasi hasil investigasi Satgas Geotermal yang dibentuknya. Salah satunya terkait proyek geotermal di Poco Leok yang dikerjakan PT PLN dan merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu.

Satgas itu merupakan respons atas penolakan masyarakat di enam lokasi proyek geotermal Flores dan Lembata. Pembentukan Satgas juga terjadi usai pada 4 April Laka Lena bertemu dengan Uskup Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden yang menentang keras proyek geotermal di Flores.

Soal proyek di Poco Leok, Satgas menyebut terdapat masalah “tertutupnya ruang dialog serta kurangnya informasi yang dapat diakses warga.”

“Hal tersebut dianggap sebagai bagian dari hambatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah dalam pengembangan proyek ini,” tulis Satgas.

Menurut koalisi, kunjungan Laka Lena usai publikasi hasil investigasi itu “seharusnya membawa penyelesaian konflik.”

Namun, yang terjadi “justru kembali menghadirkan wajah lama kekuasaan: arogan, represif, dan anti terhadap suara masyarakat adat.”

Mereka menyatakan, sejak dua tahun terakhir, pola pengawalan bersenjata kerap mengiringi pengukuran lahan, pemasangan patok, hingga berbagai aktivitas proyek geotermal di Poco Leok.

“Masyarakat Adat Poco Leok yang sebelumnya hidup damai dipaksa menjalani keseharian mereka di bawah ancaman senjata,” tulis mereka.

Sayangnya, Laka Lena “justru mengukuhkan pola intimidasi yang sama—mengirim pesan bahwa pemerintah lebih memilih menaklukkan rakyatnya sendiri ketimbang melindungi hak-haknya.”

Mereka mengingatkan bahwa “intimidasi, kekerasan fisik, dan kriminalisasi telah menimpa sedikitnya 22 warga Poco Leok, termasuk jurnalis yang meliput konflik ini.”

Kini, “bukan perlindungan yang hadir, melainkan arogansi kekuasaan yang menempatkan rakyat sebagai ancaman,” kata mereka.

Karena itu, mereka mengingatkan bahwa “kunjungan ini sama sekali bukan simbol kepemimpinan yang mendengarkan, melainkan pameran kekuatan untuk menekan warga.”

Mereka menyebut gubernur “menghadirkan bayang-bayang senjata di kampung adat, memperlihatkan kesombongan kekuasaan yang mengabaikan konstitusi dan hak-hak masyarakat adat.” 

“Lebih jauh, pola represif ini membuka jalan bagi pendekatan serupa di wilayah lain di Flores dan Lembata yang saat ini juga berjuang menolak proyek geotermal bermasalah,” kata mereka.

Koalisi menuntut dihentikannya pengerahan aparat keamanan ke wilayah-wilayah adat, penghentian segala bentuk tekanan terhadap masyarakat adat, serta pencabutan seluruh proyek geotermal di Flores dan Lembata.

“Selain itu, kami mendesak penghentian kriminalisasi terhadap 22 warga (Poco Leok)  yang hingga kini masih dijerat proses hukum,” kata mereka.

Warga yang diproses hukum itu termasuk yang dituding merusak pagar kantor bupati Manggarai saat unjuk rasa pada Maret.

Koalisi memperingatkan bahwa “kekuasaan yang ditegakkan dengan senjata dan intimidasi bukanlah tanda kepemimpinan, melainkan penjajahan.”

“Poco Leok tidak akan tunduk pada kekuasaan yang korup dan rakus. Masyarakat Adat berhak hidup damai di tanah leluhur mereka, tanpa teror bersenjata, tanpa penggusuran dan tanpa ketakutan,” tulis koalisi.

Dua anggota Polres Manggarai tampak berjaga di luar aula Stasi Lungar sambil menenteng senjata laras panjang. (Dokumentasi Floresa)

Menanggapi kritik perihal kehadirannya dengan pengawalan ketat aparat, Laka Lena berkata, “sebagai pejabat negara pasti ada protap yang dilalui karena kondisi lapangan.” 

“Lalu aparat mengambil antisipasi dengan datang seperti kemarin (membawa laras panjang),” katanya kepada wartawan di Labuan Bajo pada 17 Juli. 

Ia menjelaskan, aparat “juga menjalankan prosedurnya bila nanti terjadi sesuatu.”

“Saya sudah mengatakan bahwa (senjata laras panjang) tidak boleh digunakan, tetapi tetap aparat pada prosedurnya. Jadi tidak masalah,” katanya.

Ia berkata, dalam pertemuan dengan warga “dialognya sangat baik.”

“Saya disambut dengan demonstrasi seperti biasa dan saya bilang kepada teman-teman Poco Leok bahwa yang dilakukan ini mengingatkan saya dulu. Saya membuat hal yang sama waktu zaman reformasi. Saya ini aktivis, saya ini tukang demo. Jadi saya merasa dihormati disambut dengan cara masa lalu. Menurut saya, tidak ada masalah,” katanya.

Dalam kunjungannya, Laka Lena menolak berdialog dengan semua warga, tetapi hanya dengan lima perwakilan.

Ia berkata, kehadirannya untuk mendengarkan aspirasi, masukan, tanggapan dan keberatan terhadap proyek itu, sembari menegaskan bahwa ia juga akan mendengarkan warga yang pro.

Tugas pemerintah, katanya, mencari solusi atas kekhawatiran masyarakat, sebab pembangunan seharusnya bertujuan membawa kebaikan bagi semua.

“Yang bagus kita teruskan, yang kurang bagus kita perbaiki jadi bagus, yang sama sekali tidak bagus  kita akan tutup,” ujarnya.

Masyarakat Adat Poco Leok sedang berdialog dengan Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena di dalam Aula Stasi Lungar. (Dokumentasi Floresa)

Sementara itu, Agustinus Tuju, perwakilan warga, menyatakan mereka akan terus menolak karena proyek itu berada di tanah ulayat mereka.

“Kalau tanah ulayat dialihfungsikan ke penggunaan lain, maka nilai adat kami tidak ada lagi,” katanya dalam dialog.

Maria Teme, salah satu perempuan yang ikut dalam dialog berkata, “tanah di Poco Leok adalah ibu kandung kami, kalau dibor akan hancur lingkungan dan ekonomi kami.”

“Kami tidak akan menjual tanah karena ini bukan tanah kami, melainkan milik leluhur kami,” katanya.

Ia berkata, “kami menolak proyek ini sudah empat tahun, tetapi pemerintah selalu datang untuk memaksa tanah kami.”

“Hidup kami sengsara, kami sering diinjak-injak dan didorong TNI, polisi, dan Pol PP,” katanya.

Warga Poco Leok tercatat 26 kali mengadang pemerintah dan perusahaan dari PT Perusahaan Listrik Negara yang mengerjakan proyek itu.

Selain itu, mereka juga telah tiga kali menggelar unjuk rasa di Ruteng, memprotes langkah Bupati Manggarai, Herybertus GL Nabit yang mengeluarkan izin penetapan lokasi proyek itu.

Dalam unjuk rasa terakhir pada 5 Juni, mereka bubar setelah diadang massa tandingan di bawah pimpinan Nabit.

Nabit tidak ikut mendampingi Laka Lena ke Poco Leok pada 16 Juli. Ia hanya ikut saat Laka Lena meninjau PLTP Ulumbu.

Proyek geotermal Poco Leok merupakan perluasan dari Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP) Ulumbu, di mana pemerintah menargetkan kapasitas listrik sebesar 2×20 megawatt. 

Proyek ini dikerjakan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan didanai oleh Bank Pembangunan Jerman atau Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW).

Pada 22 Mei, Bank KfW mengirim perwakilan ke Manggarai untuk berdiskusi dengan sejumlah pihak terkait kelanjutan proyek ini. Namun, warga Poco Leok menolak menemui utusan bank tersebut.

Kunjungan ini terjadi usai  tahun lalu Bank KfW mengutus tim independen yang dalam hasil kajiannya menyebut bahwa proyek ini melanggar sejumlah standar sosial internasional.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA