Hina Warga Tolak Tambang, Rotok Tuai Kritikan Pedas

Christian Rotok
Christian Rotok

Floresa.co – Pernyataan Bupati Manggarai, Christian Rotok yang menghina warga yang menolak tambang membuatnya menuai kritikan pedas, di mana ia disebut tak tahu diri dan dianggap sedang melanggengkan pola pikir pejabat yang hanya mempersalahkan masyarakat.

Sebagaimana diberitakan Floresa.co sebelumnya, Rotok menuding warga yang tolak tambang pernah terima uang, tapi sekarang menolak karena uang yang mereka dapat sudah habis. (Baca: Bupati Rotok Hina Warga yang Tolak Tambang)

“Mereka yang keberatan itu yang sudah habis uangnya. Sebelumnya, juga mau terima,” kata Rotok sebagaimana dilansir Harian Kompas, Selasa (17/2/2015).

Pernyataan itu ia sampaikan menjawab pertanyaan soal konflik tambang di Manggarai, di mana ada warga yang menolak dan ada yang menerima tambang. Kompas pada Selasa menyediakan hampir setengah halaman yang secara khusus mengulas konflik tambang di Manggarai dan Manggarai Timur (Matim).

Ino Jemabut, salah satu warga Manggarai yang menolak kehadiran tambang di daerah itu menganggap pernyataan Rotok sebenarnya mencerminkan apa yang Rotok sendiri lakukan.

“Kira-kira begitulah kelakuan Rotok, seperti yang dia bilang itu,” kata Ino kepada Floresa.co, Selasa.

Ia menjelaskan, tuduhan Rotok bahwa warga sebelumnya menerima uang, sebetulnya mau mengatakan bahwa ia sendiri, awalnya menolak tambang.

“Tetapi karena sudah terima uang, maka ia kemudian setuju dengan tambang”, jelas Ino.

“Hanya memang uang yang ia dapat dari tambang, pasti jumlahnya berbeda dengan yang didapat warga yang ia tuduh,” lanjutnya.

Dari pernyataan Rotok, kata Ino, publik bisa balik bisa bertanya, “Berapa yang ia terima dari tambang”?.

Ia menjelaskan, Rotok tidak bisa hanya mempersalahkan masyarakat yang ia pimpin, mengingat kapasitas pengetahuan masyarakat lingkar tambang terkait seluk-beluk tambang terbatas.

“Seharusnya dia sendiri yang adalah bupati, bisa mengambil sikap bijak terhadap persoalan tambang di wilayahnya, bukan menyelamatkan diri, sambil menyalahkan masyarakat. Ini cerminan pejabat yang tak tahu diri,” tegas Ino.

Sementara itu, Ferdy Hasiman, penulis buku Monster Tambang (2013) mengatakan, lewat pernyataannya, Rotok sudah menegaskan diri sebagai orang yang menatap warga Manggarai sebagai individu-individu yang hanya butuh uang.

“Ia sudah sangat merendahkan masyarakat,” tegasnya kepada Floresa.co

Rotok, kata Ferdy, cermin pejabat yang hanya berorientasi pada uang.

“Ia tutup mata pada argumentasi penolakan warga selama ini, bahwa tambang ditolak karena akan menghancurkan alam Manggarai, mengingat lokasi tambang dekat sekali dengan pemukiman warga,” katanya.

Selain itu, kata dia, tambang berseberangan dengan pekerjaan mayoritas warga Manggarai yang adalah petani.

“Berapa yang ia dapat dari tambang sampai ngotot. Padahal PAD (Pendapatan Asli Daerah – red) Manggarai hampir setengahnya dari RSUD Ruteng. Jadi PAD dari orang-orang yang sakit di Manggarai,” katanya.

Ia menjelaskan, Rotoknya seharusnya malu, karena selama 10 tahun memimpin Manggarai, tidak mampu produktif untuk menghasilkan PAD dari sektor-sektor unggulan, seperti pertanian.

Argumentasi Rotok yang mendukung tambang, jelas Ferdy, itu-itu saja, karena memang tidak punya argumentasi yang sahih dan bisa mematahkan argumentasi mereka yang menolak tambang.

Apa yang disampaikan Rotok, kata dia, lagi-lagi menegaskan bahwa ia sudah tidak punya kepedulian  pada nasib warga.

“Meski memang, ia selalu klaim dekat dengan rakyat,” kata alumnus STF Diyarkara Jakarta ini.

Kata Ferdy, masyarakat sudah sejak lama diidap dengan gejala banalitas terhadap pola pikir penjabat yang hanya memikirkan dirinya sendiri.

“Orang seperti Rotok memang sudah tak peduli, karena ia sudah nyaman dengan dirinya sendiri. Tapi, masyarakat kita sudah terbiasa menganggap itu sebagai hal banal, biasa-biasa saja”.

Merujuk pada apa yang pernah disampaikan sosiolog Ignas Kleden, jelas  Ferdy, publik di Indonesia juga kerap menganggap biasa pola dan gaya hidup para pejabat publik, juga keluarga mereka.

Padahal, jelasnya, pola hidup pejabat dan keluarganya, bisa dijadikan rujukan untuk menilai, seperti apa karakternya sebagai pemimpin dan bagaimana ia sendiri menatap jabatan.

Dikaitkan dengan apa yang dikatakan Rotok, memang, jelas Ferdy, sangat sulit berharap pemimpin seperti dia, peduli dengan nasib masyakat, karena ia sendiri sudah nyaman dengan aset-aset yang Rotok miliki.

Informasi yang dia dapat, Rotok, misalnya punya rumah mewah di Bali dan anaknya yang kuliah di Jakarta, tinggal di apartemen dengan mobil sendiri.

“Jadi, jelas, informasi-informasi ini menujukkan bahwa ia memang sudah sampai pada titik nyaman menjadi pejabat. Jadi, taka da lagi ruang untuk memikirkan masyarakat”, kata peneliti di Indonesia Today ini.

Ia menambahkan, “karena itu, suara protes masyarakat yang melawan kebijakannya akan dianggap sebagai angin lalu dan masyarakat sendiri yang dipersalahkan.”

Pernyataan Rotok di Harian Kompas, jelas dia, adalah sebuah tudingan menyakitkan kepada warga yang tolak tambang.

“Karena itu, yang tolak tambang wajib menuding balik, ada apa di balik pernyataan Rotok itu”, tegas Ferdy. (ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA