Labuan Bajo, Floresa.co – Perwakilan pegiat pariwisata di Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar), Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak menandatangani berita acara rekomendasi Konsultasi Publik Rancangan Rinci Tata Ruang (RRTR) di Sekitar Kawasan Otoritatif Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo – Flores, pada Kamis, 22 Agustus 2019 di Hotel La Prima Labuan Bajo.
Langkah itu diambil perwakilan pegiat pariwisata karena masih banyak informasi yang belum tersampaikan dengan jelas terkait rencantan tata ruang dalam konsultasi publik itu.
“Kami memilih untuk tidak menandatangani itu karena tidak mendapatkan informasi yang utuh dari apa yang dipaparkan oleh pemateri,” kata salah satu perwakilan pelaku wisata, Aloysius Suhartim Karya kepada Floresa.co sesaat usai kegiatan tersebut.
Luas wilayah yang akan diatur melalui RRTR itu mencapai 3.538,73 hektar yang mencakup Kecamatan Komodo dan Kecamatan Boleng. Sementara itu, uas wilayah itu BOP sendiri mencapai sekitar 400 hektar.
Mengatur wilayah dengan seluas itu, kata Aloysius, tidak cukup hanya dilakukan dalam waktu sesingkat itu, tetapi butuh waktu yang panjang sehingga semua tidak menimbulkan kecurigaan dari masyarakat.
“Dalam presentasi tim, mereka tidak menjawab pertanyaan kami mau diapakan lahan seluas itu. Apakah akan didirikan bangunan atau dikelola menjadi objek pariwisata, Tidak disampaikan secara jelas,” ujarnya.
Lebih lanjut, katanya, walaupun sudah mengikuti acara itu sekitar beberapa jam, dirinya belum menemukan peruntukan wilayah seluas ribuan hektar tersebut. Pasalnya, pemateri tidak menyebutkan kondisi rill di atas lahan tersebut.
“Kami hanya mau memastikan, lahan seluas itu mau diapakan. Kondisi riilnya sekarang seperti apa? Apakah ada hutan, lahan pertanian, pemukiman atau apa. Mereka harus sampaikan itu ke publik,” ujarnya.
Baca Juga: Luas TNK Capai 218 Ribu Hektar, 16% Untuk Konservasi, Paling Besar Untuk Investasi
Ia menegaskan, kegiatan semacam itu harus dilakukan secara transparan dan melibatkan semua elemen masyarakat yang ada di dalam wilayah yang akan diatur.
“Mestinya harus lebih banyak melibatkan masyarakat lokal, terutama yang ada dalam wilayah yang diatur itu. Nyatanya, yang hadir lebih banyak dari unsur pemerintah,” katanya.
“Kita tahu, di Manggarai, berbicara tentang tanah, berarti berbicara tentang harga diri. Dan, sudah banyak korban berjatuhan akibat perebutan tanah,” ujarnya mencontohkan kasus perebutan tanah di daerah Labuan Bajo dan Boleng yang sudah banyak memakan korban.
Sementara itu, Direktur Penataan Kawasan Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Sufrijadi tidak memberikan tanggapan saat Floresa hendak mewawancarainya sesaat usai acara tersebut.
“Tidak usa, tanyakan saja ke pemerintah daerah,” katanya.
Adapun daftar pesrta yang diundang dalam konsultasi publik itu antara lain, 22 pejabat dari beberapa kementerian, 9 pejabat Pemprov NTT, pejabat dari Pemda Mabar, termasuk Lurah Wae Kelambu, Batu Cermin dan Kades Tanjung Boleng, Tim Pendamping Penyusun RRTR serta pihak BOP Labuan Bajo Flores.
Sementara itu, kuota untuk perwakilan tokoh masyarakat dan penggiat pariwisata masing-masing dua orang.
ARJ/Floresa