Floresa.co – Kelompok masyarakat peduli pariwisata menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan pemerintah yang menaikkan secara drastis tiket masuk ke Taman Nasional Komodo, serta menentang apa yang mereka sebut sebagai ‘monopoli bisnis’ di kawasan konservasi itu.
Aksi tersebut yang berlangsung pada Senin, 18 Juli 2022 di Labuan Bajo, ibukota Kabupaten Manggarai Barat dimotori oleh Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp) dan diikuti para pelaku pariwisata dan para aktivis yang peduli pada pengelolaan TN Komodo.
Dalam aksi ini mereka mendatangi sejumlah lokasi, termasuk kantor bupati Manggarai Barat dan kantor Balai Taman Nasional Komodo (BTNK).
Dalam sebuah pernyataan tertulis, mereka menyatakan, secara tegas menyatakan penolakan kebijakan kenaikan harga tiket dan “berbagai praktek monopoli bisnis berbasis korporasi di Taman Nasional Komodo.”
“Kebijakan ini sangat bertentangan dengan konservasi dan keadilan ekonomi sebagai prinsip dasar pariwisata di TN Komodo yang selama ini sangat kami junjung tinggi,” tegas mereka.
Dalam kebijakan yang rencananya berlaku mulai 1 Agustus mendatang , pemerintah menetapkan biaya tiket masuk ke kawasan TN Komodo Rp 3.75 juta per orang untuk periode satu tahun. Skema ini juga diterapkan secara kolektif dengan Rp 15 juta untuk empat orang per tahun.
Kebijakan ini menempatkan PT Flobamora sebagai pengelola tunggal melalui paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) untuk Pulau Komodo dan Pulau Padar serta perairan di sekitarnya.
Dana sejumlah Rp 15 juta melaui paket wisata EVE ini akan diolokasikan untuk berbagai kepentingan yaitu (1) Rp 2 juta untuk Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke pemerintah, khususnya Balai TN Komodo; (2) Rp 200.000 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke Pemprov NTT dan Pemkab Manggarai Barat; (3) Rp 100.000 biaya Asuransi; (4) Rp 7,1 juta dana konservasi; (5) Rp 5,435 juta fee (upah) PT Flobamor; (5) dan Rp 165.000 biaya pajak.
Pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini dilakukan untuk membatasi jumlah pengunjung ke kawasan TN Komodo, di mana ditetapkan bahwa jumlah ideal wisatawan adalah 219.000 orang per tahun, tahun dengan jumlah maksimal 292.000 orang per tahun.
Pihak PT Flobamora mengklaim kebijakan ini berdasarkan hasil kajian daya dukung daya tampung wisata (DDDTW) berbasis jasa ekosistem ini untuk meminimalisai dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kelestarian populasi komodo dan satwa liar lainnya, mempertahankan kelestarian ekosistem TN Komodo, kenyamanan dan keamanan pengunjung serta petugas selama beraktivitas di dalam kawasan TN Komodo.
Fomapp menentang kebijakan ini dan menyebutnya sangat merugikan masyarakat lokal Kabupaten Manggarai Barat dan masyarakat NTT secara umum yang selama ini hidup dari sektor pariwisata.
“Peningkatan harga tiket secara drastis menjadi sangat mahal berpotensi menurunkan jumlah wisatawan yang datang ke Flores, NTT,” kata mereka.
“Disertai dengan pembangunan resort-resort ekslusif di dalam Kawasan konservasi, pengunjung yang terbatas dan ekslusif itu dicaplok oleh perusahaan-perusahaan yang sudah diberi izin beroperasi di dalam Kawasan Taman Nasional. Kebijakan ini mematikan mata pencaharian masyarakat yang umumnya berskala kecil dan menengah,” kata mereka.
Mereka juga menyebut, waktu penetapan kebijakan ini yang terjadi langsung setelah pandemi, yaitu pada saat ekonomi pariwisata baru perlahan-lahan hidup kembali, “merugikan masyarakat pelaku pariwisata dan menghambat pemulihan ekonomi pasca-pandemi pada umumhya.”
“Pada saat ini, sejumlah wisatawan membatalkan kunjungan mereka ketika mendengar informasi kenaikan tiket ini,” kata mereka.
Selain meminggirkan warga lokal, kebijakan ini dianggap sebagai “praktek monopoli bisnis pariwisata di tangan segelintir orang.”
“Skema ini memposisikan PT Flobamora dan para mitra bisnisnya menjadi penguasa atas pariwisata di Pulau Komodo dan Pulau Padar. Kunjungan berbasis quota yang dikuasi oleh PT ini sangat berpontesi merugikan para pelaku pariwisata setempat karena akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat,” kata Formapp.
“Penerapan kuota yang disetai dengan digitalisasi atau registrasi online otomatis hanya akan menguntungkan PT Flobamora yang sudah tentu menguasai sistem ini dari hulu hingga hilir,” kata mereka.
“Keuntungan yang diambil oleh PT Flobamora ini juga bombastis; yaitu Rp. 5.435.000 per 4 pengunjung. Dengan total target 292,000 pengunjung per tahun, maka PT ini akan meraup dana Rp, 396.755.000.000 (396.755 Milyard) dari tiket masuk,” kata mereka.
Formapp juga menyatakan, melalui kebijakan ini pemerintah, secara khusus KLHK “telah menciptakan hoaks terbaik yaitu penyebab rusaknya konservasi di TN Komodo adalah warga lokal.”
“Padahal dalam kenyatannya, penghancuran ekosistem secara massif dalam TN Komodo justeru disebabkan oleh pembangunan infrastruktur dalam skala besar, baik oleh negara maupun yang akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta yang telah mengantongi izin untuk membangun resort-resort eksklusif,” kata mereka.
“Telah kita saksikan bagaimana penghancuran ekosistem di Pulau Rinca akibat pembangunan Jurrassic Park. Penghancuran eksositem bahkan jauh lebih dahsyat akan terjadi jika Pemerintah tetap menutup mata dan telinga atas rencana pembangunan resort-resort eksklusif oleh perusahaan-perusahaan swasta,” kata Formapp.
Selain itu, jelas kelompok ini, “pemberlakukan tiket seperti ini juga menyebabkan ketidakadilan bagi wisatawan yang ingin menikmati TN Komodo sebagai situs warisa dunia.
“Perlu dicatat bahwa berwisata ke TN Komodo merupakan hak banyak orang yang ingin menikmati kekayaan pengatahuan dan kebudayaan dari cagar alam dan biosfer tersebut,” kata mereka.
Karena itu, mereka meminta agar Presiden Joko Widodo membatalkan pemberlakuan kenaikan tiket masuk TN Komodo dan seluruh praktek monopoli bisnis di dalamnya.
“Kami juga menolak sistem registrasi online yang melanggengkan monopoli itu,” kata Formapp.
Mereka juga mendesak pemerintah mencabut semua izin perusahaan-perusahaan baik Peruahaan swasta maupun perusahaan milik negara yang telah mengantongi izin usaha pariwisata di dalam kawasan TN Komodo.
“Bagi kami, selain membahayakan konservasi, kehadiran perusahaan-perusahaan ini juga menciptakan monopoli bisnis pariwisata di kawasan TN Komodo yang meminggirkan warga lokal,” tegas mereka.
Formapp juga mendorong pemerintah untuk menghentikan wacana liar dan serampangan dalam mengelola TN Komodo yang cenderung merugikan konservasi dan masyarakat lokal.
“Sebaliknya, berkali-kali kami tegaskan, sudah saatnya pemerintah duduk bersama untuk mengevaluasi segala bentuk rancangan pembangunan atas TN Komodo serta membuka semua informasi kepada publik,” kata mereka.
“Jika mendorong konservasi di TN Komodo serta menciptakan kesejahteraan bagi warga lokal, kami mendesak pemerintah untuk mengalokasikan anggaran yang besar untuk mendorong kinerja BTNK sebagai penjaga konservasi serta mendorong keterlibatan masyarakat sebagai pelaku aktif konservasi dan wisata komunitas,” tambah Formapp.
Kebijakan kontroversia yang membawa-bawa agenda konservasi ini hadir di tengah masifnya protes publik atas sederetan pembangunan dalam kawasan TNK yang membahayakan konservasi dan ekonomi masyarakat lokal.
Dalam empat tahun belakangan ini, warga terus mendesak Pemerintah untuk mencabut izin-izin perusahaan swasta dalam kawasan TNK (PT SKL di Pulau Rinca, PT KWE di Pulau Padar & Komodo dan PT Synergindo Niagatama di Pulau Tatawa). Selain itu warga Kampung Komodo juga memprotes keras rencana pemindahan mereka pada tahun 2019 dalam rangka menjadikan Pulau tersebut sebagai destinasi wisata eksklusif.
Hingga sekarang, protes publik telah mendapatkan perhatian dari lembaga internasional UNESCO dengan melakukan kunjungan lapangan (reactive monitoring) beberapa waktu lalu.
FLORESA
Silahkan klik di sini untuk mengunduh pernyataan lengkap Formapp