Floresa.co – Sepekan setelah penggusuran pemukiman masyarakat adat Besipae di Kabupaten Timor Tengah Selatan [TTS] oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT], Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat mendatangi lahan di wilayah hutan adat Pubabu untuk melakukan penanaman anakan pohon lamtoro pada Kamis, 27 Oktober 2022.
Hal itu, kata dia, adalah dalam rangka program Kolaborasi Sosial Membangun Masyarakat [Kosabangsa] yang melibatkan tim dari Universitas Nusa Cendana Kupang.
Dalam kesempatan itu, Gubernur Viktor mengatakan, program Kosabangsa bertujuan meningkatan ekonomi masyarakat NTT, khususnya di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan [TTS] melalui pengembangan peternakan, termasuk di antaranya penyediaan pakan.
Ia juga menyinggung warga yang memprotes penguasaan lahan itu oleh Pemprov NTT, menuding mereka telah mengeksploitasi anak-anak untuk kepentingan mereka.
“Jangan ada drama di Pulau Timor, khususnya Besipae. Jangan pura-pura menangis dalam penderitaan, apalagi memanfaatkan anak-anak,” katanya seperti dikutip Victorynews.id, media yang berafiliasi dengannya.
“Mari kita kerja kolaborasi, sebab orang malas dalam penderitaan tidak akan disukai,” tambahnya.
Kedatangan gubernur itu bersama sejumlah pejabat dari Pemprov NTT terjadi setelah pada 20 Oktober, Pemprov NTT kembali melakukan penggusuran terhadap pemukiman masyarakat adat Pubabu-Besipae.
Penggusuran yang melibatkan Satpol PP dan dipimpin Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, Alex Lumba itu dikawal ketat aparat Polres TTS dan Brimob bersenjata lengkap.
Dari 19 rumah yang digusur, 12 diantaranya merupakan rumah yang pernah dibangun oleh Pemprov NTT sebagai kompensasi atas penggusuran yang dilakukan sebelumnya pada 20 Februari 2020.
Dalam beberapa video yang merekam peristiwa penggusuran itu, tampak warga, baik dewasa, lanjut usia maupun anak-anak berlindung di bawah bekas atap rumah yang telah digusur saat hujan lebat mengguyur area tersebut.
“Ketika penggusuran [terjadi], tidak ada tempat yang disiapkan oleh pemerintah provinsi untuk merelokasi masyarakat sehingga masyarakat sudah seperti ini,” kata salah seorang bapak yang sedang menggendong anaknya.
“Kami hanya dibiarkan saja seperti ini,” tambahnya, sebagaimana dalam sebuah video yang didapat Floresa.co.
Dalam sebuah video lain, seorang ibu menangis, meratapi barang-barang miliknya yang telah rusak akibat penggusuran itu.
“Barang tenun kami semua sudah basah dan benang-benang kami [yang] sementara guling juga basah,” terangnya.
Sama seperti halnya pernyataan Gubernur Viktor, Alex Lumba saat ini mengatakan, masyarakat menggunakan perempuan dan anak-anak untuk melakukan aksi protes terhadap langkah pemerintah untuk memanfaatkan lahan seluas 3.780 hektar untuk peternakan.
“Ini yang dipakai [sebagai] senjata oleh mereka untuk selalu memprotes pemerintah. Karena yang ada dalam pikiran mereka, apa yang diperbuat pemerintah berkaitan dengan program pemberdayaan masyarakat di lokasi itu selalu salah. Jadi, tidak ada benarnya” tambah Alex, sambil mencap warga sebagai okupan, pihak yang mengokupasi atau menduduki lahan milik pemerintah dan karena itu “harus ditertibkan.”
“Ditertibkan dengan cara apa? Ditertibkan dengan cara melakukan pembongkaran kembali rumah-rumah yang telah disiapkan oleh pemerintah, karena mereka adalah penghuni ilegal, bahkan ada penambahan beberapa rumah yang dibangun oleh beberapa orang yang tidak bertanggung jawab,” katanya dalam konferensi pers.
Sementara itu, Daud Selan, salah satu warga yang vokal memprotes tindakan Pemprov NTT menuding bahwa pemerintah telah bertindak di luar jalur dan telah melawan hukum.
“Mengapa saya bilang di luar jalur? Sebenarnya kan sudah ada rekomendasi Komnas HAM,” kata Daud merujuk pada rekomendasi Komnas HAM pada 2020 yang meminta penyelesaian secara bermartabat konflik lahan itu.
Ia juga menyinggung kedatangan Kapolda NTT ke lahan itu sebelumnya yang “meminta kami untuk tinggal sementara di rumah-rumah Pemprov yang dibangun itu, dan warga yang belum ada rumah bisa bangun gubuk-gubuk di situ untuk tinggal sama-sama.”
“[Ini] sambil menunggu penyelesaian sesuai dengan rekomendasi Komnas HAM. Nah, proses itu tidak diindahkan sama Pemprov NTT,” katanya kepada Floresa.co.
Ia mengatakan, merujuk pada poin-poin yang tertera dalam rekomendasi Komnas HAM itu, Pemprov NTT dan warga harus bisa menahan diri hingga penyelesaian konflik tersebut.
Karena itulah, kata Daud, hingga sekarang warga belum mulai mengolah lahan itu, baik untuk pekerjaan kebun, peternakan dan lain-lain hingga adanya penyelesaian konflik.
Duduk Soal Polemik Lahan
Menurut sejumlah dokumen yang diakses Floresa.co, ditarik ke belakang, polemik antara masyarakat adat Besipae yang mencakup warga Desa Oe Ekam, Desa Mio, Desa Pollo dan Desa Linamnutu bermula sejak 1982 ketika Pemprov NTT membangun kesepakatan dengan mereka untuk proyek percontohan Intensifikasi Peternakan, bekerja sama dengan Pemerintah Australia.
Pada saat itu, karena luas hutan adat Pubabu yang hanya 2.671,4 hektare, para tetua adat setempat sepakat untuk memasukkan belukar dan pekarangan masyarakat, sehingga luas tanah yang dialokasikan untuk proyek tersebut akhirnya menjadi 6.000 hektar.
Pada prosesnya, proyek yang dilaksanakan dalam rentang 1982-1987 tidak berjalan dengan baik. Karena itu setelah program tersebut berakhir, Pemprov NTT di bawah masa pemerintahan Gubernur Aloysius Benedictus Mboi melaksanakan program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan (Gerhan) di atas lahan 6.000 hektar tersebut.
Dengan skema Hak Guna Usaha (HGU), wilayah tersebut dijadikan sebagai kawasan budidaya untuk sejumlah tanaman komoditas, seperti jati dan mahoni. Program tersebut berlangsung dari 1988 hingga 2008.
Namun, selama proses ini, Pemprov NTT mengeluarkan kebijakan yang dituding warga merugikan mereka, di mana pada tahun 1995 Dinas Kehutanan mengeluarkan register tanah kehutanan dengan nomor 29 yang mengubah status hutan adat Pubabu-Besipae menjadi kawasan hutan negara dengan fungsi hutan lindung seluas sekitar 2.900 hektare.
Selain itu dalam rentang tahun 2003 hingga 2008, Dinas Kehutanan Kabupaten TTS juga melakukan pembabatan dan pembakaran hutan adat Pubabu-Besipae seluas kurang lebih 1.050 hektare.
Karena rangkaian kebijakan tersebut, pada tahun 2008 masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU program Gerhan, karena menilai pembabatan hutan telah mengakibatkan keringnya sumur-sumur di sekitar kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber air mereka, kehilangan akses terhadap hutan dan populasi hewan buruan seperti rusa semakin berkurang.
Di tengah penolakan warga, pada April 2008, pemerintah melalui sekelompok orang yang dibentuk Dinas Kehutanan TTS kembali membabat sebagian wilayah hutan di Desa Pollo dan Desa Linamnutu dengan alasan untuk merehabilitasi hutan melalui Gerhan.
Aksi pembabatan hutan sepihak ini selanjutnya dilaporkan oleh masyarakat adat ke Komnas HAM pada 2009.
Bersamaan dengan itu pada tahun 2011 masyarakat yang tergabung dalam Ikatan Tokoh Adat Pencari Kebenaran dan Keadilan membuat surat pembatalan perpanjangan kontrak Dinas Peternakan Provinsi NTT di instalasi Besipae dengan nomor surat: 03/ITAPKK/II/2011.
Pada tahun yang sama Komnas HAM juga mengeluarkan surat nomor 873/K/PMT/IV/2011 yang berisi himbauan agar menjaga situasi aman dan kondusif dan menghindari intimidasi sampai adanya solusi masalah tersebut.
Kendati gelombang protes terus berdatangan, pada Oktober 2012 pemerintah dituding mengkriminalisasi 17 masyarakat adat, di mana mereka dijebloskan ke dalam tahanan untuk beberapa bulan.
Pada November 2012, Komnas HAM kembali mengeluarkan surat bernomor 2.720/K/PMT/XI/2012 yang meminta Pemprov NTT mengembalikan lahan pertanian yang telah dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT yang kontraknya telah berakhir pada 2012.
Selain itu, Komnas HAM juga mendesak pemerintah untuk mengevaluasi UPTD Dinas Kehutanan Pemprov NTT dan Program Dinas Peternakan yang melibatkan warga, di mana pada kenyataannya program tersebut dianggap tidak mengembangkan warga, justru membebani mereka.
Alih-alih menanggapi gelombang desakan masyarakat ini, pada 19 Maret 2013, Pemprov NTT menerbitkan Sertifikat Hak Pakai dengan Nomor 00001/2013-BP.794953 dengan luas 3.780 hektare. Sertifikat inilah yang diklaim Pemprov NTT sebagai dasar atas penguasaan hutan adat saat ini, yang membuat konflik dengan warga terus memanas.
Konflik Belum Selesai, Penggusuran Jalan Terus
Sementara akar konflik belum diselesaikan, dalam dua tahun terakhir Pemprov NTT memilih mengambil cara-cara represif terhadap warga.
Penggusuran pada 20 Oktober 2022 tercatat sebagai aksi yang kelima sejak 2020.
Pada peristiwa pertama 17 Februari 2020, kendati dihalang warga, Tim Gabungan yang terdiri dari Kepolisian, Brimob, Satuan Polisi Pamong Praja dan TNI, juga Sniper Pasukan Anti Huru-Hara melakukan penggusuran terhadap bangunan milik tiga kepala keluarga yang diklaim sebagai aset pemerintah.
Saat itu barang-barang milik mereka dikeluarkan secara paksa, hingga rusak, hilang dan sebagian lagi diambil oleh aparat.
Sebulan kemudian, pada 10 Maret 2020, Pemprov NTT kembali membongkar pondok dan pagar milik warga.
Sebagai gantinya, pihak Pemprov membangun satu buah pondok ukuran 4×4 meter untuk dihuni dua keluarga. Namun, warga tidak menerima dan membongkar ulang bangunan itu dan membangun lagi pondok di dekat lokasi yang sama.
Dua bulan setelah itu, pada 12 Mei 2020 Pemprov NTT lagi-lagi melakukan penggusuran, di mana Gubernur Viktor Bungtolu Laiskodat juga ikut. Datang dalam rombongan, gubernur marah-marah meminta warga membuka pagar kompleks perumahan.
Walau berusaha dihalangi massa, namun rombongan memaksa untuk menerobos masuk. Dalam keadaan terdesak, dengan spontan ibu-ibu melakukan aksi buka baju utuk menghadang dan menghalangi mereka.
Penggusuran keempat terjadi pada 18 Agustus 2020, di mana tim gabungan aparat SatPol PP, TNI dan kepolisian melakukan penggusuran dan perusakan atas rumah milik 29 keluarga.
Aksi mereka juga dilakukan dengan melepaskan beberapa kali tembakan senjata api. Kendati aksi penembakan senjata api tersebut ditentang keras oleh publik luas, saat itu Pemprov NTT berdalih bahwa apa yang dilakukan oleh polisi merupakan “efek kejut.”
Rangkaian aksi itu membuat Komnas HAM membuat rekomendasi kepada Gubernur NTT, Kapolda NTT dan beberapa pihak lainnya.
Dalam rekomendasi pada tanggal 3 September 2020 itu, Komnas HAM meminta untuk mengedepankan dan memberikan opsi-opsi penyelesaian lahan di Pubabu- Besipae berdasarkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, segera melakukan pengukuran ulang dan pendataan yang partisipatif dengan melibatkan seluruh masyarakat adat Pubabu-Besipae, baik yang terdampak penggusuran, maupun tua-tua adat dan tokoh adat dan pihak lain yang terkait seperti KLHK dan BPN terkait dengan batas-batas wilayah pada Sertifikat Hak Pakai No.1 Tahun 2013.
Komnas HAM juga meminta menyediakan ruang dialog, menjamin pemenuhan hak atas kebutuhan dasar masyarakat adat Pubabu-Besipae yang terdampak penggusuran, menjamin pemenuhan hak atas rasa aman, pemulihan psikologis dan menjamin terpenuhinya hak pendidikan dan kesehatan mereka.
Perlu Penyelesaian Manusiawi
Merespon penggusuran warga yang baru saja terjadi di Besipae, Komnas HAM kembali buka suara.
“Apapun fungsinya nanti [lahan itu], harusnya diberi alternatif solusi. Tidak main gusur saja,” kata Beka Ulung Haspara, salah satu Komisioner Komnas HAM.
Ia mengatakan, Pemprov NTT mesti membangun dialog terbuka dengan warga setempat agar ada solusi permanen atas konflik lahan yang sudah berlangsung 35 tahun.
Ia mengatakan, langkah Pemprov NTT sebelumnya yang membangun hunian sementara bagi warga hanyalah solusi sementara dari persoalan ini.
Komnas HAM juga juga mendesak Pemprov NTT untuk melakukan ulang pengukuran lahan secara partisipatif yang melibatkan masyarakat adat Pubabu-Besipae, sebagai salah satu rekomendasi Komnas HAM yang dikeluarkan pada 3 September 202l.
Pengukuran ini, menurut Komnas HAM, juga mesti melibatkan KLHK dan BPN.
Di sisi lain, Komnas HAM juga mendesak Pemprov NTT menjamin kebutuhan dasar warga Besipae yang mengalami penggusuran, yang mencakup tempat tinggal sementara yang layak selama upaya penyelesaian konflik.
Sementara itu, Roni Septian dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, pada dasarnya pemerintah tidak dapat melakukan pembangunan jika belum ada kesepakatan dengan masyarakat pemilik hak.
“Perlu ada pengukuhan kawasan hutan sesuai regulasi dimana perlu ada tata batas bersama masyarakat terlebih dahulu, bukan penetapan sepihak yang ugal-ugalan,” katanya kepada Floresa.co.
“Setelah itu barulah membahas masalah pembangunan bersama masyarakat adat yang terbaik semacam apa, apa tugas dan manfaat yang diberikan KLHK untuk masyarakat di sekitar kawasan hutan Besipae,” katanya.
Sementara itu, Yuvens Nonga, wakil direktur Wahana Lingkungan Hidup Cabang Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT) mengatakan tidaklah dibenarkan bahwa cara-cara tidak manusiawi dipakai dengan dalih penertiban aset yang membuat warga, termasuk anak-anak terlantar.
Ia juga mengkritik pernyataan pemerintah yang kerap meminta agar warga dipersilahkan melakukan gugatan hukum.
“Pemerintah wajib punya itikad baik untuk menyelesaikan kasus ini dengan tidak membiarkan warga mencari keadilan sendiri,” kata Yuven.
“Ketika warga berjuang sendiri dan menuntut hak atas hutan adatnya dan respon pemerintah dengan tindakan intimidatif dan menyarankan pada gugatan hukum, sebenarnya pemerintah telah gagal memegang mandat rakyat,” tambahnya.