BerandaREPORTASEMENDALAMPelecehan Seksual di SMK...

Pelecehan Seksual di SMK Negeri di Manggarai: Polisi Kantongi Bukti, Siap Gelar Perkara

Ada harapan besar kepada polisi agar berupaya maksimal memberi perhatian pada kepentingan pelapor yang adalah anak-anak di bawah umur.

Floresa.co – Kepolisian Resor [Polres] Manggarai, NTT mengklaim sudah mengantongi bukti untuk melanjutkan proses hukum kasus dugaan pelecehan seksual di sebuah SMK Negeri, dengan terduga pelaku adalah seorang guru yang kemudian dipecat.

Kapolres Manggarai, AKBP Yoce Marten mengatakan penyidik “sudah menemukan bukti permulaan yang cukup” dalam kasus ini.

“Maka, kita [akan] lakukan gelar perkara untuk meningkatkan statusnya ke penyidikan dan juga sampai dengan nanti penetapan tersangka,” ujarnya  Kamis, 16 Februari 2022. 

Kasus ini terungkap pada awal Desember 2022 ketika lima siswi dari SMK Negeri itu mendatangi Polres Manggarai, mengadukan pelecehan seksual oleh guru mereka. Terungkap kemudian bahwa jumlah terduga korban mencapai 17 orang.

Saat itu, lima siswi tersebut hendak membuat laporan polisi, namun polisi belum bisa menerimanya karena status mereka sebagai anak di bawah umur yang menurut undang-undang harus didampingi orangtua ketika berurusan dengan hukum. 

Meski demikian, polisi menanggapi laporan itu dengan melakukan pra rekonstruksi di sekolah pada 14 Desember 2022.

Penyidik dari Unit Perempuan dan Perlindungan Anak [PPA] Polres Manggarai sedang melakukan pra rekonstruksi kasus dugaan pelecehan seksual di sebuah SMK Negeri di Manggarai pada 14 Desember 2022. (Foto: John Manasye/Floresa.co)
Berdasarkan hasil pra rekonstruksi dan keterangan para siswi, polisi lalu memilih lima orang untuk membuat laporan resmi.

Menurut Yoce, pemilihan lima orang itu karena menurut penyidik, peristiwa yang mereka alami “dapat dikategorikan masuk ke dalam unsur tindak pidana kekerasan seksual” sesuai  Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Namun, katanya, dari kelimanya hanya satu orang yang kemudian membuat laporan polisi dengan pendampingan orangtua. 

“[Untuk] korban lainnya, orangtuanya tidak mau membuat laporan. Mereka hanya mau mendampingi anaknya ketika dipanggil sebagai saksi,” kata Yoce. 

Meski hanya satu korban yang membuat laporan dengan pendampingan orangtua, jelasnya, ia memastikan bahwa  pendalaman atas laporan tersebut telah memenuhi bukti permulaan yang cukup untuk peningkatan status kasus ini dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan hingga penetapan tersangka. 

Perihal kapan peningkatan status dan penetapan tersangka, Yoce belum memberi kepastian.

Berdasarkan pengakuan beberapa korban yang sempat diwawancarai dengan Floresa, pelecehan seksual mereka alami sejak secara berulang-ulang sejak Maret 2022 di beberapa tempat di sekolah seperti di ruang kelas, ruang praktikum, dan ruang perpustakaan. 

Para siswi pun kemudian melaporkan terduga pelaku, yang adalah Guru Agama Katolik dan berstatus guru tidak tetap atau guru komite, ke Guru Bimbingan Konseling dan Kepala Sekolah.

Di hadapan kepala sekolah dan dewan guru, oknum guru tersebut, yang kemudian terungkap bernama Milikior Sobe, mengakui perbuatannya. Hal itu ia nyatakan dalam sebuah surat pernyataan pada 25 Oktober 2022 yang salinannya diperoleh Floresa, di mana ia berjanji untuk tidak mengulangi tindakannya.

Namun, para terduga korban mengklaim guru itu tetap melecehkan mereka, sehingga kembali melapornya ke sekolah.

Hal itu membuat kepala sekolah memberhentikannya “demi kenyamanan dan keselamatan siswa-siswi.”

Milikior sempat membantah tuduhan terhadapnya, menyebut hal itu sebagai rekayasa kepala sekolah di SMK Negeri itu. Ia menyebut tuduhan itu untuk menjatuhkan dirinya karena menjadi saksi kunci dalam kasus pemalsuan absensi yang sedang diadili di Pengadilan Negeri Ruteng, dengan terdakwa kepala sekolah.

“Semua tuduhan terhadap saya, itu tidak benar,” katanya dalam pernyataan pada 17 Desember.

Milikior Sobe, terduga pelaku pelecehan seksual terhadap belasan siswi sebuah di SMK Negeri di Kabupaten Manggarai sedang diwawancarai pada Sabtu, 17 Desember 2022. (Foto: John Manasye/Floresa.co)

Namun, Kepala Unit Perempuan dan Perlindungan Anak [PPA] Polres Manggarai, Anton Habun mengatakan pihaknya tidak akan terpengaruh dengan kasus lain yang diusahakan untuk dikait-kaitkan dengan kasus dugaan pelecehan terhadap para siswi.

“Tugas kami untuk meneruskan laporan siswi ini,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Yoce, bahwa pihaknya tidak terpengaruh dengan klaim terlapor yang mengaitkan kasus ini dengan kasus lain.

Ndak ada [hubungannya]. Kita akan fokus pada kasus per kasus. Kita ndak mempermasalahkan yang calon [tersangka] atau terduga terlapor ini sebagai, katanya, saksi kunci atau apa. Itu beda kasus lagi,” katanya pada 20 Desember.

Pentingnya Keseriusan Polisi

Kasus ini tercatat sebagai pelecehan seksual pertama di wilayah Manggarai dengan pelapornya adalah korban sendiri dan merupakan anak di bawah umur.

Karena itu, sejumlah pihak berharap polisi serius menanganinya dan berupaya memaksimalkan memberi perhatian pada kepentingan terduga korban.

Azas Tigor Nainggolan, seorang advokat berbasis di Jakarta yang kerap mendampingi para korban kekerasan seksual mengatakan, semua pihak sudah seharus bekerja sama untuk memberantas tindak kekerasan seksual. 

Ia juga meminta Polres Manggarai untuk bekerja profesional, dengan “menciptakan suasana aman, nyaman” bagi keluarga korban supaya berani mengajukan laporan.

“Polisi harus berupaya meyakinkan orangtua korban supaya mereka paham dan mau melapor,” kata Tigor kepada Floresa.

Menurut Tigor yang juga aktif di divisi hukum dan hak asasi manusia Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau Konferensi Waligereja Indonesia, polisi mestinya tidak hanya berhenti pada satu korban yang laporannya didampingi oleh orangtuanya. 

Dari pengalamannya, kata dia, kasus pelecehan seksual biasanya biasanya tidak hanya satu korban sehingga tugas polisi untuk melakukan pengembangan dengan menemukan korban-korban lainnya. 

“Bila perlu seperti kejadian di daerah Bekasi atau Bogor, polisi buka posko pengaduan untuk siapa pun yang menjadi korban dalam kasus ini. Siapa-siapa yang menjadi korban dari tersangka ini. Buktinya kan banyak korbannya yang melapor,” kata Tigor, yang tahun lalu mendamping beberapa putra altar yang dilecehkan oleh petugas Gereja di sebuah paroki di Keuskupan Bogor. 

Ia mengingatkan jangan sampai polisi justru menghadirkan rasa takut seperti ancaman lapor balik oleh terduga pelaku. 

“Polisi tidak boleh menakut-nakuti korban dan keluarganya. Kalau ada upaya-upaya seperti itu, bisa laporkan ke Propam Polda dan tembusannya ke Kompolnas,” tegasnya. 

Ia juga mendorong orangtua korban untuk mendampingi anaknya selama berurusan hukum dan  meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia [KPAI] untuk terlibat mendampingi terutama terhadap korban yang tidak didampingi orangtuanya.

“Menurut UU Perlindungan Anak, kalau masih anak-anak itu harus didampingi oleh orangtua. Kalau tidak ada orangtua, itu KPAI yang harus melaporkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia,” katanya. 

Dalam wawancara sebelumnya, Theresia Iswarini dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] juga menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap para siswi terduga korban “yang seharusnya dilindungi oleh sekolah dan para guru.”

Ia berharap Polres Manggarai menjalankan mandat Undang-Undang No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual [UU TPKS], mengingat kewajiban melaksanakannya merupakan perintah Kapolri melalui Surat Telegram Nomor: ST/1292/VI/RES.1.24/2022 pada 28 Juni 2022.

“Selain itu, saya ingatkan juga bagi pihak kepolisian untuk menggunakan UU Perlindungan Anak yang di dalamnya mengatur pemberatan sepertiga untuk sanksi bagi pelaku yang harusnya melindungi tapi justru melakukan kekerasan,” tambahnya.

Komnas Perempuan juga mendorong pihak sekolah untuk memberikan pendampingan, termasuk dalam proses hukum dan pemulihan korban.

Sekolah, kata Theresia, seharusnya menyusun protokol atau panduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di sekolah.

“Untuk pemulihan, pihak sekolah harus memastikan tidak terjadi stigma terhadap korban atau korban harus tetap mendapatkan hak atas pendidikan,” katanya. 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga