Floresa.co – Viralnya video sepasang laki-laki dan perempuan tanpa busana yang diduga lulusan baru suatu SMA di Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT menjadi catatan bagi masyarakat tentang pentingnya memahami dampak aktivitas seksual berisiko.
Di sisi lain, polisi diminta mengutamakan pendekatan restoratif dalam pengusutan kasusnya.
Video berdurasi 19 detik itu menyebar luas di kalangan warga di Ruteng, terutama lewat aplikasi percakapan WhatsApp, juga media sosial Instagram, demikian informasi yang diperoleh Floresa.
Kepolisian Resor [Polres] Manggarai menyatakan sedang menyelidiki video itu, baik terkait terduga pelaku maupun pihak yang menyebarkannya.
“[Polisi] tengah melakukan proses pengumpulan bahan dan keterangan” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Manggarai, Iptu Hendricka Risqi Ario Bahtera kepada Floresa, Rabu, 12 Juli 2023.
“Soal siapa yang ditindak nanti apaka pelaku dalam video itu atau orang yang menyebarkannya, akan kami informasikan perkembangannya,” katanya.
Dari informasi yang diperoleh Floresa, video itu mulai tersebar sejak bulan lalu.
Pelakunya diduga mantan pelajar yang tahun ini baru lulus dari suatu SMA di Ruteng.
Pendekatan Restoratif
Theresia Sri Endas Iswarini, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] mengatakan penyebaran video itu memang terancam melanggar sejumlah undang-undang [UU], termasuk UU Pornografi dan Pornoaksi.
Namun, ia berharap polisi mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, apalagi jika “mereka tidak sengaja menyebarkannya.”
Ketika tak sengaja menyebarkan, “artinya mereka tidak memiliki intensi untuk mendapatkan keuntungan atau [melakukan] kejahatan, tetapi murni kelalaian,” katanya.
Mershinta Ramadhani dari Puanitas, organisasi yang berfokus pada pemberdayaan perempuan, menyepakati pendekatan restoratif dalam pengusutan kasusnya.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya pendampingan hukum dan bantuan psikologis bagi kedua lulusan SMA itu, yang ia sebut sebagai korban
Ia mengatakan keduanya mungkin sekali mengalami depresi dan kecemasan yang berkepanjangan jika tidak mendapat penanganan psikologis.
“Korban akan rentan mengalami kekerasan seksual di dunia nyata karena mindset masyarakat yang melihat track record korban, juga [berpeluang] kehilangan pekerjaan dan kesempatan melanjutkan pendidikan,” katanya.
Selain itu, tak menutup kemungkinan keduanya akan kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri dan orang-orang sekitar.
“Akan ada perubahan konsep melihat dan menilai diri, hingga yang paling fatal adalah bunuh diri,” kata Mershinta kepada Floresa.
Menurutnya, “bantuan psikologis yang berkelanjutan dan terus-menerus akan membantu korban bangkit dan berdaya serta menjadi penyintas.”
Waspada Terhadap Aktivitas Seks Berisiko
Terlepas dari proses pengusutan kepolisian, kasus ini juga memicu diskusi terkait praktik normalisasi hubungan seks di luar nikah, termasuk di kalangan pelajar.
Theresia dari Komnas Perempuan mengatakan soal ini perlu mendapatkan pengarahan dari orang dekat, termasuk orang tua “agar mereka tidak mengulangi perbuatannya.”
Seks pada usia muda, lanjutnya, dapat berdampak pada kehamilan yang tidak diinginkan.
“Akibatnya dapat menyebabkan mereka putus sekolah dan kehilangan hak pendidikan, terutama anak perempuan bila mengalami kehamilan tidak diinginkan,” katanya,
“Apabila hamil, bisa jadi mendapatkan kekerasan dari sang pacar [dan desakan untuk] menggugurkan kandungan, sehingga potensial terkena pidana,” tambahnya.
Meshinta dari Puanitas menyatakan, bagi orang tua yang memiliki anak di usia remaja, kejadian ini perlu menjadi kesempatan berefleksi diri tentang model pengasuhan yang dipraktikkan selama ini.
Ia juga menyatakan, kasus ini menjadi pelajaran tentang pentingnya pendidikan seksual yang memadai.
“Mereka [anak muda] membutuhkan pendidikan seksual yang komprehensif untuk dapat melindungi dan membentengi diri dari berbagai tindak kejahatan/kekerasan seksual dalam berbagai bentuk, baik di dunia nyata maupun dunia maya,” lanjutnya.
Ia misalnya menyebut penyebaran video tersebut sebagai ekses dari kurangnya “kesadaran dan pemahaman tentang sebuah relasi dan aktivitas seksual yang berisiko.”
“Terbukti dengan adanya perekaman aktivitas seksual tanpa berpikir panjang bagaimana dampaknya di masa depan,” katanya.
Meski hal itu dilakukan berdasarkan pada kesepakatan bersama, “namun itu tetap merupakan bentuk penyalahgunaan teknologi yang berimbas pada diri mereka sendiri.”
Ia menyatakan, masih terdapat ketidaktahuan akan dampak penyalahgunaan teknologi.
“Jejak digital itu abadi, sekalipun sudah dihapus di banyak platform, akan tetap ada dalam database, sebut saja di Instagram atau WhatsApp,” katanya.
Tidak Perlu Ikut Menyebarkan
Salah satu upaya yang bisa dilakukan publik untuk mencegah dampak buruk dari video semacam itu adalah tidak ikut menyebarkannya lagi ke pihak lain.
Siapapun penerima konten video seperti itu “harus sadar untuk bertindak cepat dengan menghentikan penyebarannya,” kata Meshinta.
“Dengan kita mengunduh, membuka bahkan jika sampai menyebarkan konten ini, berpeluang menjadi pelaku juga,” katanya.
Ia mengatakan, langkah lain yang bisa ditempuh adalah melaporkannya kepada platform digital yang menjadi medium penyebarannya, seperti Instagram, Facebook atau WhatsApp.
“[Tujuannya] agar konten tersebut dapat diblokir dan dibekukan,” katanya.
“Ini upaya masif yang dapat dilakukan secara bersama-sama jika masih ada yang terus menyebarkan konten semacam ini,” katanya.