PLN Catut Nama Lembaga Gereja Katolik dan Kutip Ensiklik Laudato si, Diduga untuk Loloskan Proyek Geothermal Poco Leok

Pimpinan lembaga Gereja Katolik mempersoalkan pencatutan nama lembaga mereka, yang menimbulkan kesan seolah-olah mereka mendukung proyek geothermal itu.

Floresa.co – Pimpinan lembaga Gereja mempersoalkan tindakan Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mencatut nama lembaga-lembaga itu, diduga untuk meloloskan proyek geothermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, NTT.

Pencatutan nama lembaga-lembaga Gereja itu terdapat dalam sebuah booklet yang dibagikan PLN kepada warga baru-baru ini.

Menurut informasi yang diperoleh Floresa.co, booklet berjudul “Pengembangan PLTP Ulumbu Unit 5-6 (Poco Leok) 2×20 MW” itu yang di luarnya terdapat logo PLN antara lain disebarluaskan saat sosialiasi persiapan pengadaan tanah proyek itu pada Kamis, 20 Oktober 2022 di aula milik Gereja Katolik Stasi Lungar.

Sosialiasi itu disebut-sebut sebagai tahap terakhir untuk memastikan bahwa warga yang memiliki lahan di lokasi-lokasi yang akan menjadi titik pemboran (wellpad) sudah bersedia menyerahkannya kepada pemerintah.

Di dalam booklet tersebut, di bawah judul “Pendekatan Adat yang Konsultatif” PLN menulis telah melakukan “pendekatan dan konsultasi kepada tokoh dan pemangku kepentingan.”

Pemangku kepentingan itu disebut eksplisit. Selain Pemerintah Kabupaten, Camat Satar Mese, PLN juga mencantumkan lembaga layanan advokasi Gereja Katolik, Komisi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) dari Keuskupan Ruteng, Ordo Fransiskan [OFM] dan Serikat Sabda Allah [SVD]. Rektor Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng juga turut disebut.

Isi booklet yang mencantumkan nama-nama lembaga Gereja Katolik. (Foto: Floresa.co)

Di bagian lain booklet itu, PLN juga menyatakan bahwa geothermal didukung  oleh Vatikan melalui Ensiklik Laudato si yang dikeluarkan Paus Fransiskus pada 2015, sebuah dokumen yang menegaskan sikap gereja terhadap masalah lingkungan hidup.

Di booklet itu dimasukkan sebuah kutipan dari teks Laudato si, yang secara sengaja menambahkan kata panas bumi/geothermal.

Pastor Fridus Derong OFM, Direktur Eksekutif JPIC-OFM mempersoalkan pencatutan nama lembaganya yang menimbulkan kesan seolah-olah mereka mendukung proyek geothermal itu.

Ia mengatakan kepada Floresa.co bahwa perwakilan lembaganya memang pernah diundang dalam sebuah kegiatan sosialiasi oleh PLN terkait proyek itu Ruteng pada Agustus lalu.

“Bedakan konsultasi publik dengan sekedar sosialisasi,” katanya.

Ia menyatakan, secara kelembagaan mereka tetap menyatakan menolak proyek itu karena  menilainya merugikan dan merusak kehidupan warga.

Pastor Fridus mengatakan, sebagaimana yang ia tekankan dalam kesempatan menjadi pemateri diskusi terkait proyek itu, pemerintah seharusnya menjunjung tinggi keadilan partisipatif dalam proses pengambilan setiap kebijakan.

Masyarakat, jelasnya, harus dilihat sebagai subjek dari pembangunan itu.

“Pembangunan selama ini seringkali menganggap warga hanya sebagai objek pembangunan. Warga dianggap tidak tahu apa-apa, bodoh dan lain-lain,” katanya.

Ia mengatakan, penolakan lembaganya juga berangkat dari pengalaman proyek geothermal di tempat lain yang justru membawa masalah serius bagi warga.

Ia mencontohkan proyek geothermal di Mataloko, Kabupaten Ngada di mana puluhan semburuan air panas pasca pengeboran itu tumbuh di lahan-lahan warga yang menyebabkan lahan mereka menjadi kering.

Bantahan juga disampaikan oleh Hermanus Herimanto Mau, Ketua Bidang Advokasi JPIC-SVD Ruteng.

“Mereka [PLN] pernah datang diskusi dan hanya mau mengetahui sikap JPIC-SVD dan jawaban kita tetap menolak pengembangan panas bumi di Poco Leok,” katanya.

“Pada dasarnya JPIC-SVD Ruteng menolak industri ekstraktif di wilayah Manggarai,” tambahnya.

Ia menyatakan, sikap mereka diputuskan karena melihat dan mempertimbangkan dampak negatif geothermal yang sulit dielak seperti yang terjadi di sejumlah tempat.

Ia menyebut proyek geothermal di Mandaling Natal, Sumatera Utara yang baru-baru ini kembali mengalami kebocoran, sehingga puluhan warga dilarikan ke rumah sakit karena terpapar gas beracun.

Sementara itu Romo Marten Jenarut, Ketua JPIC Keuskupan Ruteng menyatakan, pihak PLN memang pernah menemuinya untuk berdiskusi.

“Pendapat saya dalam diskusi tersebut, kegiatan geothermal tidak boleh merusak struktur lingkungan hidup yang ada, serta tidak mengganggu hak dasar masyarakat, khususnya hak hidup yang nyaman dan lingkungan yang bersih serta jaminan bahwa kegiatan tersebut tidak membawa risiko yang membahayakan,” katanya.

“Jadi, waktu bertemu itu hanya diskusi biasa, bukan konsultasi,” imbuhnya.

Perihal pencantuman Laudato si, di booklet itu dimasukkan sebuah kutipan berikut: “Penggunaan bahan bakar fosil solar, batu bara untuk pembangkit listrik sangat mencemari lingkungan dan Kesehatan. Energi terbarukan Panas Bumi/Geotermal adalah pilihan yang tepat karena lebih ramah lingkungan dan tersedia dalam waktu lama.”

Kutipan itu, termasuk penyebutan eksplisit geothermal/panas bumi tidak ada dalam isi dokumen Laudato si yang diterjemahkan Konferensi Waligereja Indonesia.

Dalam artikel Laudato si artikel 165, yang diduga  menjadi rujukan teks yang dikutip PLN itu isinya adalah sebagai berikut: “Kita tahu bahwa teknologi yang menggunakan bahan bakar fosil yang sangat mencemari terutama batubara, tetapi juga minyak dan, pada tingkat lebih rendah gas perlu diganti, secara bertahap dan tanpa ditunda-tunda. Selama pengembangan energi terbarukan yang seharusnya sudah berjalan belum memadai, maka sah untuk memilih yang kurang jahat dan beralih kepada solusi sementara”

Dihubungi pada Kamis, 3 November 2020, Muhammad, Manager PLN Rayon Ruteng mengatakan, pencantuman nama lembaga-lembaga Gereja itu bukan tanggung jawabnya karena dalam proyek ini mereka “hanya sebagai pendamping [untuk] menunjukkan lokasi.”

Proyek itu, kata dia, merupakan tanggung jawab Unit Induk Pembangunan Panas Bumi [UIPPB] Nusa Tenggara yang kantornya berada di Mataram, Nusa Tengggara Barat.

“Mereka datang ke sini tidak pernah ke kita, hanya tanya Ulumbu di mana, kita arahkan ke sana,” katanya.

“Mereka sendiri yang berurusan dengan Pemerintah Daerah Manggarai dan masyarakat. Waktu sosialisasi di sana [Poco Leok] juga tidak pernah ajak kita. Jadi, saya tidak tahu masalah [pencatutan nama lembaga Gereja] ini,” katanya.

Muhammad tidak bersedia memberikan nomor pihak UIPBB kepada Floresa.co.

Proyek geothermal Poco Leok adalah perluasan dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi [PLTP] Ulumbu dalam rangka memenuhi target menaikkan kapasitas PLTP itu dari 7,5 MW saat ini menjadi 40 MW, menurut pemerintah.

Perluasan proyek PLTP Ulumbu  juga terjadi menyusul penetapan Pulau Flores sebagai pulau panas bumi pada 2017, yang mendorong eksploitasi di beberapa tempat, termasuk di Wae Sano di Kabupaten Manggarai Barat dan Mataloko, yang juga mendapat resistensi warga.

Wilayah Poco Leok mencakup 13 kampung di tiga desa di Kecamatan Satar Mese, yakni Desa Lungar, Desa Mocok, dan Desa Golo Muntas.

Lokasi pengeboran (wellpad) yang ditargetkan berjumlah 60 titik dan menyebar di kampung-kampung itu.

Kehadiran proyek tersebut membuat warga Poco Leok terbelah, di mana ada warga yang menyerahkan tanahnya dan ada yang tegas menolak.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA