Floresa.co – Kampianus Jebarus bukannya tidak pernah mendengar informasi soal dampak buruk rokok bagi kesehatan.
Ia bahkan pernah diberi tahu secara langsung oleh perawat saat ia sakit pada Juni 2023.
Kala itu, ia cedera sehingga mesti mendapat perawatan medis di Puskesmas Ponggeok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai.
Setelah beberapa jam dirawat di puskesmas itu, ia disarankan melakukan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut di Rumah Sakit Umum Daerah [RSUD] Ben Mboi di Ruteng.
Dokter di RSUD itu memberi tahu Kampianus bahwa ia mengalami “sesak napas,” sehingga mesti dirawat inap selama dua hari.
Kampianus berkata, dokter juga “menasihati saya segera berhenti merokok.”
Alih-alih menurut, segera setelah keluar dari ruangan perawatan, lelaki 55 tahun itu langsung meminta rokok kepada salah satu anaknya.
“Saya rasa lain sekali kalau tidak merokok. Semacam kehilangan semangat,” kata warga Desa Lungar itu kepada Floresa pada 24 Oktober.
Ahmad, seorang warga di Kecamatan Komodo, Manggarai Barat mengaku “rokok membuat saya tidak bermalas-malasan ketika merawat lahan tanam.”
Sehari-hari Ahmad merawat sendiri kebunnya di Kampung Merombok, Desa Golo Bilas.
Tak cuma perkengkapan berkebun yang ia siapkan sebelum berangkat berladang, “rokok pun harus tersedia.”
Kehidupan sehari-hari yang “sulit” jauh dari rokok itu membuat Kampianus dan Ahmad tidak ambil pusing pada pemerintah yang terus menerus melakukan upaya pembatasan terhadap rokok.
Kementerian Kesehatan [Kemenkes] tengah menggodok suatu rancangan peraturan terkait pengendalian produk tembakau dan rokok elektronik.
Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan [R-Permenkes] itu memicu kontroversi.
Para pelaku industri mendesak Kemenkes membatalkannya karena akan menurunkan pendapatan mereka. Seruan serupa juga terlontar dari komunitas petani tembakau di perkebunan rakyat di sejumlah wilayah Pulau Jawa.
Kampianus berkata, bagaimana pun rokok menjadi “pendongkrak semangat sekaligus pelepas lelah.”
Mengandalkan pemasukan dari mencari madu hutan yang biasanya berlangsung Desember sampai Juni, ia harus memanjat pohon-pohon tinggi, aktivitas yang baginya “sangat melelahkan.”
“Mengisap rokok setelah menyelesaikan pekerjaan berat, rasanya lega sekali,” katanya.
Polemik R-Permenkes
Terhadap beragam protes atas R-Permenkes itu, Kemenkes beralasan regulasi tersebut dibutuhkan guna mengendalikan peredaran produk rokok ilegal.
Salah satu upaya dalam pengendalian itu adalah penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
Namun, Institute for Development of Economics and Finance [INDEF], lembaga riset ekonomi berbasis di Jakarta, mengkritisi dalih Kemenkes, merujuk pada hasil serangkaian riset dan analisis.
INDEF memprediksi aturan kemasan polos justru menurunkan permintaan rokok legal sebesar 42,09 persen lantaran perokok beralih ke produk ilegal.
Sebabnya, konsumen tak lagi mengerti mana yang legal dan ilegal karena kemasannya akan sama-sama polos.
Sejalan dengan argumen INDEF, Ahmad, warga di Kecamatan Komodo berkata, jika R-Permenkes itu disahkan, “kami tidak tahu mana rokok yang punya izin penjualan dan mana yang tidak.”
Yang jelas, “saya tentu memilih rokok dengan harga lebih murah dan itu pasti ilegal, bukan?”
Peredaran rokok ilegal memang kian masif di berbagai wilayah di NTT, termasuk Flores. Di kios-kios, beragam merek rokok ilegal bebas dipasarkan.
Meski ilegal, harga yang lebih murah membuat rokok-rokok itu digandrungi konsumen.
Stevanus Sudirman, seorang pekebun di Desa Bangka Leleng, Kecamatan Lamba Leda Selatan, Kabupaten Manggarai Timur sehari-hari mengisap rokok merek Sniper Bold.
Ia mengetahui Sniper Bold merupakan produk ilegal, namun jadi pilihannya karena harga murah. Ia membeli satu bungkus rokok itu dengan isi 20 batang seharga Rp15 ribu.
Bila membeli rokok legal, katanya, “setidaknya saya mesti mengeluarkan uang Rp28 ribu untuk satu bungkus.”
Stevanus juga menyebut rokok “sudah seperti teman saya bekerja seharian di kebun kopi.”
Setiap musim panen yang berlangsung sekitar Mei hingga Agustus, kebunnya menghasilkan kopi sekitar lima karung yang masing-masing berukuran 50 kilogram. Stevanus juga membantu para tetangga memanen cengkih dengan upah Rp75 sehari.
Aloysius Odos, rekan sekampung Stevanus menambahkan, “semangat saya turun kalau tidak punya rokok [selama bekerja] di kebun.”
Keduanya menyadari pendapatan bulanan tak selalu baik.
Namun, kata Aloysius yang mengaku terbiasa mengisap rokok ilegal bermerek Saga Bold, “harus tetap punya rokok untuk teman bekerja di kebun sendiri.”
Serupa Stevanus dan Aloysius, Kampianus pun mendengar informasi bahwa rokok Latto yang kini ia sering konsumsi adalah ilegal. Ia membelinya seharga Rp15 ribu dan berisi 20 batang.
“Karena isinya banyak, saya menghabiskannya dalam dua hari,” katanya.
Namun, katanya, “kalau memang ilegal, kenapa pemerintah membiarkannya beredar di masyarakat?”
‘Bukan Pedagang yang Mesti Pindah’
Salah satu poin yang diatur dalam R-Permenkes itu adalah larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari institusi pendidikan dan tempat bermain anak.
Menyoal penerapan zona penjualan rokok dalam R-Permenkes, INDEF menemukan aturan tersebut bakal menurunkan penjualan rokok sebesar 33,08 persen di warung-warung dekat sekolah dan taman bermain.
Sementara Hari Prasetiyo, praktisi hukum administrasi negara dari Universitas Indonesia menyoroti minimnya ruang diskusi publik selama proses perancangan R-Permenkes itu, yang “mulai menimbulkan kekhawatiran bagi pelaku usaha.”
Yosep Ndeja, pedagang kecil di sekitar Waterfront Marina di Labuan Bajo, Manggarai Barat, termasuk salah satu pelaku usaha yang khawatir itu.
Selain sebagai tempat wisata umum, Waterfront Marina juga memiliki tempat bermain anak-anak.
Yosep berjualan kurang dari 200 meter dari tempat itu, dengan rokok sebagai salah satu produk utama jualannya.
Warungnya berukuran 2×3 meter, yang setiap hari buka mulai pukul 17.00 Wita sebelum ia tutup pada pukul 23.00 Wita.
Dari warung mungil yang ia buka sejak 2020 itulah ia “mampu menyekolahkan ketiga anak saya.”
Yosep mengaku “menggunakan lahan usaha ini atas izin pemerintah,” namun tak berkewajiban membayar biaya sewa lahan usaha.
Bila dilarang berjualan kurang dari 200 meter dari Waterfront Marina, “artinya kami harus bayar sewa lahan,” pengeluaran yang mungkin akan memangkas bujet bulanan keluarga, termasuk untuk pendidikan ketiga anaknya.
Sementara itu, berjarak sekitar 12 meter dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Komodo di Manggarai Barat, Maria Herta Imakulata membuka warung yang turut menawarkan sejumlah merek rokok, mulai legal hingga ilegal.
Sebagai orang tua tunggal, warung itu merupakan satu-satunya sumber pendapatan Maria sekaligus kedua putrinya.
“Rokok merupakan produk terlaris di warung saya,” kata perempuan 56 tahun itu.
Pembelinya berasal dari pelbagai kalangan, tak terkecuali pelajar di sekolah itu.
“Bagi siswa yang mau membeli rokok, saya tidak punya hak untuk melarang mereka,” katanya.
Tak ubahnya Yosep, ia juga telah mendengar rencana pelarangan penjualan rokok di dekat sekolah. Maria menilai rancangan itu “ibarat membunuh pedagang kecil” termasuk dirinya.
Andaikan mesti berpindah dari lahan usahanya kini, “biayanya pasti mahal untuk sewa tanah,” kata Maria ketika ditemui Floresa di kiosnya pada 16 Oktober.
Sementara sejak membuka kios itu pada 1995, ia mengaku “sulit sampai akhirnya balik modal.”
Bila pemerintah menilai rokok dapat merusak masa depan pelajar, kata Maria, “mestinya bukan dengan memindahkan warung dan pedagangnya, tetapi menambah kesadaran siswa tentang bahaya merokok.”
“Bukankah itu tugas pemerintah?,” katanya.
Ada Aturan, Nihil Pengawasan
Sebelum munculnya wacana R-Permenkes, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat telah mengeluarkan setidaknya dua aturan terkait kawasan tanpa rokok.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Manggarai Barat, Adrianus Ojo berkata, aturan normatif itu tertuang dalam Peraturan Daerah Manggarai Barat Nomor 8 Tahun 2023 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Peraturan Bupati Manggarai Barat Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 8 tentang Kawasan Tanpa Rokok.
Walaupun peraturan tersebut sudah diterbitkan setahun lalu, kata Adrianus pada 19 Oktober, “tetapi hingga kini fungsi pengawasannya, termasuk pembentukan tim satuan tugasnya, belum dieksekusi.”
Sementara Yohanes Hani, Kepala Dinas Pendidikan Manggarai Barat mengatakan kantornya telah menerbitkan surat edaran bernomor PKO/400.39.2/SEKRET/1043/V11/2024 tentang Larangan Bebas Rokok di Lingkungan Sekolah.
Meski sudah mengeluarkan surat edaran, Yohanes mengaku “belum melakukan pengawasan terkait muatan surat itu.”
Mengaku mengikuti perkembangan polemik R-Permenkes soal rokok, ia mengaku “tidak berwenang melarang pedagang rokok di dekat sekolah.”
“Itu hak mereka untuk berjualan,” katanya.
Rokok dalam Budaya Manggarai
Dalam analisisnya, INDEF merekomendasikan pemerintah “membatalkan R-Permenkes yang berpotensi berdampak negatif terhadap perekonomian nasional.”
Selain itu, INDEF juga mendorong “solusi yang lebih inklusif, serta mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial dari kebijakan tersebut.”
Menyoal dampak sosial yang berpotensi timbul akibat penerapan R-Permenkes itu, Inosensius Sutam, seorang pemerhati budaya Manggarai berkisah tentang fungsi tembakau dalam ritual adat setempat.
Menurut Ino, sapaan imam Katolik sekaligus dosen di Universitas Katolik Santu Paulus Ruteng, “tembakau memiliki nilai sosial yang tinggi dalam budaya Manggarai, terutama dalam tradisi menyambut tamu.”
Tuan rumah di Manggarai Raya akan berkata “Mai rongko di ew” [Mari merokok] atau “Mai cepa di ew” [Mari mengunyah sirih pinang] ketika kediaman mereka baru kedatangan tamu.
Dalam bahasa Manggarai, “rongko” berarti rokok, sedangkan “cepa” mengacu pada sepaket sirih pinang yang terdiri dari sirih, pinang, kapur dan tembakau kunyah [cecu].
“Inilah cara masyarakat Manggarai mengundang tamu untuk duduk bersama, berbicara, dan mempererat hubungan,” kata Ino pada 14 November.
Sementara cecu diyakini dapat membersihkan gigi dan membunuh kuman. Warga adat Manggarai juga memanfaatkan tembakau untuk mengobati luka, juga melindungi tubuh dari serangan lintah hutan.
Serangkaian kepercayaan setempat itu “akhirnya tak membatasi fungsi tembakau hanya sebagai perekat relasi.”
Tembakau, katanya, “turut menandakan pentingnya hidup dalam harmoni dan penerimaan.”
Pada masa lampau di Manggarai Raya, “sebagian leluhur sehari-hari mengisap tembakau dan mengunyah cecu,” kata Ino.
Sebegitu dekat tembakau dan keseharian leluhur, sehingga penerus mereka tak lupa menghadirkannya sebagai bagian dari sepaket sesaji.
Laku spiritual itu “turut menunjukkan bahwa tembakau senantiasa menghubungkan mereka dengan leluhur.”
“Dulu, tembakau digulung dengan daun jagung [saung latung], pelepah pinang [saung lungkuk], atau daun pisang [saung muku],” katanya.
Seiring peralihan zaman, “penggunaan rokok modern mulai muncul dalam ritual sejak sekitar era 2000-an” meski sebagian masyarakat adat tetap memilih tembakau tradisional.
Misalnya jenis tembakau yang digunakan sebagai bahan dasar cecu [mbako londa] atau yang dipakai sebagai tembakau linting [mbako tumpi].
Namun, ia merasa tetap perlu membubuhkan catatan soal dampak buruk tembakau bagi kesehatan yang membuat pemakaiannya dalam ritual adat “perlu dibatasi demi kebaikan generasi mendatang.”
Ia menyoroti pentingnya kerja sama antarkomunitas adat untuk berbagi pengetahuan tentang dampak negatif tembakau sekaligus mempertahankan nilai-nilai adat.
Menjadi tugas bersama “untuk memastikan tradisi tetap ‘hidup’ tanpa mengorbankan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat,” kata Ino.
Tetap Susah Lepas dari Rokok
Kampianus Jebarus mengaku mulai merokok ketika berumur 20 tahun “karena waktu itu saya sudah bisa cari uang sendiri.”
Jika dihitung-hitung, “saya menghabiskan Rp450 ribu per bulan dan Rp7,2 juta per tahun untuk beli rokok.”
Namun, ia mengaku tidak setiap hari mengeluarkan uang untuk membeli rokok karena “seringkali anak saya yang beli.”
Ia juga kadang-kadang membeli tembakau di pasar sebelum meramunya menjadi rokok lintingan.
“Saya beli satu plastik tembakau seharga Rp30 ribu. Saya juga beli kertas rokok. Kalau rokok lintingan, saya mengeluarkan uang Rp100 ribu per bulan,” katanya.
Terpisah dari soal bekerja di kebun, ia menyebut rokok membantunya membangun keakraban dan memperlancar komunikasi.
Tanpa rokok, kata Kampianus, “komunikasi saya kurang lancar dan terkesan kaku.”
Sementara ketika mengisap rokok, “saya bisa bicara lebih santai dan ‘mengalir.’”
Laporan ini dikoordinatori Petrus Dabu. Peliputan dan penulisannya dikerjakan oleh Anjany Podangsa, Arivin Dangkar, Herry Kabut dan Mikael Jonaldi
Editor: Ryan Dagur