Indeks Keselamatan Naik, Namun Mayoritas Jurnalis tetap Cemaskan Masa Depan Kebebasan Pers

“Jangan lagi jenderal, melainkan tamtama yang diberi pemahaman soal kekerasan terhadap pewarta,” kata organisasi pers

Floresa co – Meski indeks keselamatan jurnalis di Indonesia meningkat perlahan setiap tahun, namun terjadi pergeseran “kualitas kekerasan” yang tetap menuntut perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah.

Menurut ”Indeks Keselamatan Jurnalis 2024” yang diluncurkan pada 20 Februari oleh Konsorsium Jurnalisme Aman – Yayasan Tifa, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara dan Human Rights Working Group – dalam kolaborasi dengan lembaga riset Populix, indeks keselamatan jurnalis pada 2024 meningkat sebesar 0,7 persen menjadi 60,5 dari setahun sebelumnya. 

Level 60,5 persen masuk dalam kategori “agak terlindungi.”

Indeks disusun berdasarkan survei terhadap 760 jurnalis aktif, meningkat dari 330 responden pada 2023.

Dari tiga pilar yang dipotret dalam indeks ini, individu jurnalis mencatat skor terendah, 56,40 persen, disusul negara dan regulasi 64,39 persen dan stakeholder media 73,32.

Untuk pilar jurnalis, selain menggunakan data sekunder yang dihimpun dari sejumlah organisasi jurnalis, tim periset juga melakukan wawancara mendalam, termasuk dengan Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut yang mengalami kekerasan pada Oktober tahun lalu.

Laporan itu menyatakan, sepanjang 2024, 22% mengaku pernah mengalami kekerasan saat menjalankan tugas jurnalistik, dengan bentuk kekerasan yang paling umum adalah pelarangan liputan [46%]. 

“Mayoritas pelaku kekerasan berasal dari organisasi masyarakat, kepolisian, TNI, serta individu dengan motif tertentu,” menurut Manajer riset Populix, Nazmi Haddyat Tamara.

Selain itu, survei juga menunjukkan bahwa 39% jurnalis mengalami penyensoran terhadap liputan mereka. Mayoritas sensor dilakukan oleh redaksi sendiri, diikuti oleh organisasi masyarakat, pemilik media, sponsor, dan lembaga pemerintah. 

“Kondisi ini mendorong banyak jurnalis melakukan sensor mandiri, dengan alasan utama untuk menghindari konflik atau kontroversi,” tambah Nazmi.

Laporan itu juga menyoroti soal persepsi jurnalis terhadap situasi di tengah transisi pemerintahan baru.

Mayoritas jurnalis masih mencemaskan masa depan kebebasan pers.

Kekhawatiran itu, kata Dewan Pengawas Yayasan TIFA, Natalia Soebagjo, terwakilkan lewat 66 persen jurnalis yang “mengaku lebih berhati-hati memproduksi berita karena terancam dikriminalisasi, bekerja di bawah bayang-bayang swasensor serta tekanan dari berbagai pihak.”

Laporan itu mencatat bentuk kekerasan yang diprediksi naik dalam lima tahun mendatang adalah pelarangan liputan [56 persen] dan larangan pemberitaan [51 persen].

Organisasi masyarakat dinilai sebagai aktor utama yang paling mengancam, menurut jawaban 23 persen responden.

“Kualitas Kekerasan” Meningkat

Berbicara dalam diskusi panel saat peluncuran itu, perwakilan organisasi jurnalis mengingatkan bahwa pekerja media belum sepenuhnya terlindungi. 

“Secara kuantitas [kekerasan terhadap jurnalis] memang menurun. Tetapi ‘kualitas kekerasan’ meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen [AJI], Bayu Wardhana.

Salah satu kasus yang ia soroti ialah kematian Rico Sempurna Pasaribu, jurnalis asal Kabupaten Karo, Sumatra Utara yang tewas terbakar pada Juli 2024. 

Rico sebelumnya menulis berita soal usaha judi oleh sejumlah anggota TNI setempat. Komite Keselamatan Jurnalis [KKJ] menduga kematian Rico merupakan bagian dari pembunuhan berencana.

Bayu juga menggarisbawahi temuan AJI bahwa polisi merupakan pelaku kekerasan terbanyak terhadap jurnalis.

AJI menilai perlakuan polisi itu dipicu kurangnya pemahaman terhadap hak asasi manusia [HAM]. Pada saat yang sama, “bukannya tamtama, melainkan jenderal-jenderal yang diberi pemahaman atas kekerasan terhadap jurnalis.”

Bayu menilai langkah tersebut tak efektif mencegah kekerasan oleh polisi terhadap jurnalis.

“Yang di lapangan kan tamtama, bukan jenderal. Yang berhadapan dengan jurnalis, ya tamtama,” katanya.

Tamtama merupakan jenjang kepangkatan terendah Polri, secara berturut-turut disusul bintara dan perwira.

Pergeseran Bentuk Kekerasan

Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia [AMSI], Wahyu Dhyatmika menekankan hal serupa.

Walaupun indeks keselamatan jurnalis membaik, kata Wahyu, “terjadi pergeseran bentuk kekerasan terhadap jurnalis yang tak sebatas fisik melainkan juga digital.”

Karenanya, “tak cuma jurnalis, tetapi perusahaan persnya pun kini menjadi sasaran kekerasan.”

Salah satu bentuk serangan digital yang menurut Wahyu kerap terjadi berupa Distributed Denial of Service (DDoS), merujuk pada praktik yang menyebabkan peramban web kelebihan muatan [overload] sehingga tak bisa diakses pembaca.

“DDos biasa terjadi sehabis suatu media massa digital menerbitkan berita yang mengkritisi lembaga tertentu,” katanya.

AMSI mencatat setidaknya tujuh dari 421 perusahaan media anggotanya melaporkan terkena DDoS. Beberapa di antaranya adalah Project Multatuli, Tempo dan KBR68H.

“Kebanyakan dari mereka baru saja menerbitkan berita terkait polisi ketika terkena DDoS,” kata Wahyu.

Awalnya AMSI menganggap praktik tersebut sporadis, sebelum mulai berpikir “membuat riset lebih serius tentangnya.”

Selain memetakan kausalitas, riset itu juga bertujuan “meminta pertanggungjawaban lembaga manapun di balik serangannya.”

Merespons rentetan serangan DDoS terhadap para anggota AMSI, Wahyu mengingatkan negara supaya “tak hanya hadir sebagai regulator, melainkan juga pelindung bagi ekosistem pers.”

Jangan Lagi Ada Kekerasan

Penganiayaan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut pada 2 Oktober 2024 menjadi satu dari tiga studi kasus dalam Indeks Keselamatan Jurnalis 2024. 

Dua studi kasus lainnya adalah dugaan pembungkaman hak berserikat atau union busting terhadap sejumlah jurnalis CNN Indonesia dan kekerasan sistematis yang dialami H, seorang jurnalis Tempo kala meliput aksi penolakan RUU Pilkada 2024. 

Pada 20 Februari, Polda NTT seyogianya menggelar sidang etik terhadap Henrikus Hanu, anggota Polres Manggarai yang dilaporkan ikut menganiaya Herry. Sidang ditunda usai tim Polda NTT beralasan tak dapat tiket pesawat ke Ruteng. 

Sidang etik merupakan kelanjutan satu dari dua pelaporan Herry ke Polda NTT. Selain etik, Herry dan warga Poco Leok mengadukan kejadian 2 Oktober berupa laporan tindak pidana umum. 

Pada 6 Januari, Polda NTT memutuskan menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana umum, berdalih “tidak cukup bukti.”

Berbicara sebagai narasumber dalam diskusi panel peluncuran laporan tersebut, Editor Floresa, Anastasia Ika menyatakan Floresa akan terus memperjuangkan proses hukum terkait kejadian 2 Oktober. 

Ia menyatakan, kekerasan yang dialami Herry diduga karena pilihan sikap Floresa yang dalam kebijakan editorialnya menyatakan keberpihakan yang jelas pada masyarakat yang seringkali jadi korban dalam praktik pembangunan.

Ika berkata, kasus serupa dapat terulang pada jurnalis lain “bila keberpihakan yang serupa dengan kami terus dimasalahkan.”

Ika menegaskan, Floresa akan tetap pada keberpihakan yang sama, “karena inilah cara kami pulang pada hakikat jurnalisme” yang melayani kepentingan publik.

Tanggapan Pemerintah

Sementara Noudhy Valdryno, Deputi II Kantor Komunikasi Kepresidenan RI yang juga menjadi narasumber dalam diskusi panel berkata, pemerintah memiliki komitmen untuk terus mendukung kerja-kerja jurnalistik.

“Presiden Prabowo Subianto berupaya membangun ekosistem media yang lebih sehat,” katanya. 

“Sejauh ini kami menemukan sejumlah missing link dalam ekosistem media,” katanya mengacu pada “media sebagai industri belum mendapat perhatian khusus dalam penyusunan kebijakan publik.”

Ia mengklaim Prabowo turut mengubah kebijakan itu, salah satunya dengan tak lagi berfokus pada cara-cara informasi sampai ke masyarakat.

“Presiden Prabowo juga memikirkan bagaimana ekosistem media dapat terjaga, sehingga kami kini punya jalur komunikasi khusus dengan media,” kata Ryno, sapaannya, meski tanpa menjabarkan bentuk “komunikasi khusus” itu.

Ryno hanya mengatakan “Prabowo berharap interaksi antara pemerintah dan media bisa semakin terbuka.”

Perihal peningkatan indeks keselamatan jurnalis tahun ini, katanya, “angka 60,5 ini patut kita syukuri” dan “tahun depan harus masuk kategori ‘terlindungi.’”

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA