Floresa.co – Transaksi jual beli tanah antara warga Labuan Bajo dengan seorang imam Katolik itu dilakukan 20 tahun silam.
Kala itu, Pastor Marselinus Agot, SVD membeli tanah dari Daniel Gabriel Turuk.
Seluas 8.685 meter persegi, tanah itu berlokasi di Ke’e Batu, Kelurahan Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat.
Berdasarkan kuitansi tertanggal 13 Agustus 2004, harga jual tanah itu Rp16 juta.
Kini, transaksi itu dipersoalkan ahli waris, yang melapor imam tersebut secara pidana pada 27 November 2024.
Pastor Katolik pemilik usaha Hotel Prundi di Labuan Bajo itu dituduh melakukan tindak pidana penggelapan.
Namun, yang melaporkan bukan ahli waris Daniel Gabriel Turuk, melainkan Kornelia Minung, istri I Made Arwitha Adisena.
Dalam Laporan Polisi Nomor LP/B/144/W2024/SPKT/Polres Manggarai Barat/Polda Nusa Tenggara Timur itu, Kornelia menuding Marselinus menggelapkan sertifikat tanah.
Atas laporan ini, Marselinus mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 10 Oktober 2024.
Dalam perkara dengan nomor 44/Pdt.G/2024/PN Lbj yang terdaftar pada 11 Oktober 2024 itu, Marselinus meminta majelis hakim menyatakan jual beli tanah yang dia lakukan dengan Daniel Gabriel Turuk itu adalah “sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.”
Bagaimana Duduk Soal?
Tanah yang dibeli Marselinus itu tercatat dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1190 Tahun 2001.
Nama pemiliknya adalah I Made Arwitha Adisena, kendati transaksinya dengan Daniel Gabriel Turuk.
Merujuk pada gugatan perdata yang diajukan Marsel di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, antara Daniel Gabriel Turuk dan I Made Arwitha Adisena ada perjanjian tukar menukar tanah pada 5 Agustus 2004.
Made menyerahkan tanah miliknya seluas 8.685 meter persegi dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1190 Tahun 2001 kepada Daniel Turuk. Tanah inilah yang pada 13 Agustus 2004 atau sekitar sepekan kemudian dijual ke Marsel Agot.
Sebaliknya, Daniel menyerahkan tanah seluas 10.000 meter persegi [100×100] di Loh Mbongi, Boe Batu, Kelurahan Labuan Bajo kepada I Made.
Karena itu, dalam gugatan perdata itu, Marsel meminta majelis hakim menyatakan, perjanjian tukar menukar tanah hak milik antara Made dan Daniel itu adalah “sah dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.”
Karenanya, tanah dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 1190 Tahun 2001 yang dia beli dari Daniel Turuk itu adalah sah miliknya.
Marsel Agot juga meminta kepada majelis hakim menyatakan dirinya sebagai “pembeli yang beritikad baik yang harus mendapat perlindungan hukum.”
Sementara, tindakan Kornelia Minung “yang mengklaim kepemilikan atas tanah sengketa melalui dua somasi dan membuat laporan polisi” adalah “tidak sah dan tidak memiliki dasar hukum.”
Selain itu, Marselinus juga meminta majelis hakim menyatakan tindakan Kornelia Minung adalah “perbuatan melawan hukum.”
Perkara perdata yang diajukan Marsel Agot ini mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada 29 Oktober 2024.
Sidang ketiga dengan agenda mediasi dilakukan pada 3 Desember 2024. Namun, mediasi itu tidak berhasil sehingga sidang dilanjutkan.
Saat ini, proses perdata ini masih bergulir. Rencananya, pada 27 Februari sidang memasuki agenda pembuktian para pihak.
Klaim Pengacara Kornelia Minung
Di tengah proses perdata ini, kuasa hukum Kornelia Minung, Fitroh Irawati “bernyanyi di media.”
Pada 30 Januari 2025, ia menyatakan, Marsel dilaporkan ke Polres Manggarai Barat karena “diduga ada unsur penggelapan” “atas jual beli tanah yang dilakukan bukan kepada pemilik sah sertifikat tetapi kepada orang ketiga yakni Daniel Gabriel Dance Turuk.”
“Terlapor sebagai pembeli diduga ikut terlibat dalam persekongkolan penggelapan sertifikat bersama Dance Turuk,” ujarnya dikutip dari Harian Labuan Bajo.
Fitroh mengakui adanya kesepakatan tukar guling tanah antara Daniel Turuk dan Made Arwita Adisena yang terjadi pada 5 Agustus 2004.
Namun, ia berkata, Dance Turuk tidak bisa menunjukkan lahan seluas 10.000 meter persegi yang harusnya diberikan kepada Made.
Menurut Fitroh, laporan polisi kliennya ke Polres Manggarai Barat terindikasi dihentikan dengan alasan Marsel Agot dianggap sebagai pembeli beritikad baik, hal yang menurunya tak sejalan dengan Surat Edaran Mahkamah Agung [SEMA] Nomor 4 Tahun 2016.
SEMA itu antara lain menjelaskan kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat [3] KUHPerdata. Salah satunya adalah melakukan jual beli atas objek tanah dengan tata cara atau prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan.
Beberapa ketentuan tersebut, antara lain pembelian tanah melalui pelelangan umum, pembelian tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan pembelian dilakukan dengan harga yang layak.
Apabila pembelian tanah milik adat atau yang belum terdaftar, dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu dilakukan secara tunai dan terang yaitu di hadapan atau diketahui kepala desa/lurah setempat. Selain itu adalah didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual.
Selain dengan tata cara atau prosedur dan dokumen yang sah, menurut SEMA tersebut, pembeli beritikad baik juga melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan.
Hal-hal yang harus diteliti antara lain penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya.
Menurut Fitroh, bila dikatakan sebagai pembeli beritikad baik, maka Marsel Agot tidak mengetahui bahwa tanah yang dia beli dari Daniel Taruk itu adalah milik I Made Arwita Adisena.
“Kenyataannya dia tahu tanah itu punya I Made Arwita Adisena. Kenapa tidak langsung ke I Made Arwita Adisena dan melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah?”, ujarnya.

Apa Kata Marsel Agot?
Siprianus Ngganggu, kuasa hukum Marsel Agot berkata, karena sengketa ini sudah dalam proses gugatan perdata di Pengadilan Negeri Labuan Bajo, “pada prinsipnya tidak mau terlalu berkomentar di luar pengadilan”.
“Kalau pandangan hukum kami, Pater Marsel itu termasuk pembeli beritikad baik,” ujarnya kepada Floresa pada 15 Februari.
Alasannya, jelas Siprianus, dalam surat jual beli tanah antara Marsel Agot dan Dance Turuk, “Made itu juga ikut sebagai saksi.”
“Nanti kita akan buktikan di persidangan. Fakta yang sesungguhnya, di surat jual beli Pater dengan Dance Turuk itu ada tanda tangan Made,” ujarnya.
“Makanya, saya omong ke Pater, mereka ini tidak usah kita tanggapi. Perkaranya sesungguhnya di pengadilan, mari kita buktikan itu semua di pengadilan,” tambahnya.
Selain Made sebagai pemilik sertifikat atas objek tanah yang diperjualbelikan, menurut Siprianus, dalam transaksi jual beli itu saksi dari pemerintah juga ada.
“Lurah Labuan Bajo juga ikut tanda tangan di surat jual beli itu,” ujarnya.
Soal tanah seluas 10.000 meter persegi [100×100] di Loh Mbongi, Boe Batu, Kelurahan Labuan Bajo yang diklaim ahli waris Made tak ada, Siprianus berkata, hal itu bukan urusan Marsel Agot sebagai pembeli.
“Karena itu adalah perbuatan hukum antara Pak Made dengan Dance Turuk, tidak bisa ditanyakan ke pater,” ujarnya.
Siprianus kembali menegaskan bahwa dalam transaksi jual beli tanah itu, Made menjadi saksi, termasuk saat mengecek lokasi tanah.

Apa Kata Ahli Waris Gabriel Dance Turuk?
Eduardus Walter Gunung, ahli waris Gabriel Dance Turuk berkata, I Made Arwita adalah seorang anggota polisi yang berasal dari Bali dan pernah berdinas di Ruteng.
Tahun 2000-an, ia tugas di Labuan Bajo. Saat itulah, Made dekat dengan keluarganya.
Apalagi, kata dia, istri Made, Kornelia Minung, masih memiliki hubungan kerabat dengan ayahnya.
Edu menceritakan masa-masa kecilnya tinggal di rumah dinas kantor Kecamatan Komodo di depan Rumah Sakit Siloam.
Made, katanya, sering berkunjung ke rumah mereka.
Edu yang berbicara dengan Floresa pada 18 Februari mengkonfirmasi terjadi tukar guling tanah antara ayahnya dengan Made.
Berdasarkan surat kesepakatan tukar menukar tanah itu, ia berkata, tanah milik ayahnya yang terletak di Loh Mbongi di sekitar Bukit Silvia berukuran 100×100 meter ditukar dengan tanah bersertifikat milik Made Arwita yang terletak di Ke’e Batu, sebelah timur Plataran Komodo.
Tanah itulah yang kemudian dijual ke Marsel Agot.
Eduardus mengklaim, tukar menukar tanah itu juga diketahui istri Made.
“Ibu Kornelia tahu kok pada saat pembicaraan tukar guling itu. Ibu Kornelia juga hadir di rumah orang tua saya,” ujar Edu.
Setelah sepakat untuk melakukan tukar-menukar, mereka langsung membuat surat.
Made sendiri, klaim Edu, yang mengetik surat tukar-menukar tersebut di kantor Polsek Komodo.
Dalam surat tukar menukar tersebut, klaim dia, terdapat tanda tangan Dance Turuk dan Made Arwita.
”Silakan uji di Lab Forensik kalau memang ada indikasi surat itu dipalsukan.”
Setelah perjanjian tukar menukar itu, kata Edu, Made Arwita membawa sertifikat tanahnya yang telah ditukar itu kepada ayahnya, Dance Turuk.
Selanjutnya, tanah yang sudah diperoleh Dance Turuk dari Made Arwita, dijual kepada Marsel Agot seharga Rp16 juta.
Dalam proses jual beli ini, kata Edu, bahkan Made berperan mengetik surat jual beli, termasuk ikut menandatangani sebagai saksi transaksi jual beli itu.
Karena sudah terjadi proses jual beli, kata Edu, sertifikat yang masih atas nama Made Arwita itu kemudian diserahkan oleh Dance Turuk kepada Marsel Agot.
Pada 2006, Made meninggal, disusul Dance Turuk yang meninggal pada 2008.
Sejak saat itu tidak ada konflik terkait tanah tersebut.
Edu mengatakan, konflik baru muncul pada 2019, saat Marsel Agot hendak mengajukan proses balik nama atas sertifikat yang masih atas nama Made.
Dalam proses itu, Badan Pertanahan Nasional, memanggil Kornelia untuk proses balik nama.
Saat itulah, kata dia, Kornelia mengklaim baru mengetahui sertifikat tanah atas nama suaminya dikuasai oleh Marsel.
Bagaimana dengan Tanah Tukar Guling?
Edu mengatakan, ayahnya adalah penata tanah di Labuan Bajo pada tahun 1990-an.
Tanah seluas satu hektar di Loh Mbongi, yang ditukarkan dengan Made, kata dia, merupakan bagian dari 12 hektar tanah ayahnya di wilayah itu.
Namun, menurut dia, tanah-tanah tersebut diduga diberikan Haji Ramang Ishaka kepada keluarga pemilik toko Surya Agung, Labuan Bajo.
Haji Ramang merujuk pada anak Haji Ishaka, Dalu Nggorang yang selama ini dianggap sebagai pemangku ulayat wilayah Labuan Bajo.
Edu, jelasnya, pada tahun 2011 pernah mencegat keluarga Surya Agung melakukan pengukuran tanah tersebut untuk penerbitan sertifikat, namun gagal.
”Waktu itu tetap ada pengukuran, tetap proses dan sertifikatnya terbit,” klaimnya.
Saat ia mencegat, katanya, Haji Ramang juga berada di lokasi tersebut.
Semua tanah ayahnya, kata Edu, sudah disertifikasi atas nama orang lain.
“Bisa jadi termasuk tanah satu hektar yang telah ditukar dengan Made. Karena tanah Made itu hanya satu bagian tanah bapak saya di situ,” ujarnya.
Edu mengatakan, tanah sejumlah 12 hektare itu tak sedikitpun yang dikuasai oleh pihaknya sebagai ahli waris Dance Turuk.
“Kami tidak dapat apa-apa,” katanya.
Ia tidak mengetahui, apakah Haji Ramang menjual ataupun membagi tanah itu kepada orang lain. Meski demikian, Edu juga tidak bisa memastikan, apakah tanah satu hektar untuk Made, sebagai hasil tukar guling dengan ayahnya, ikut dijual atau dibagikan Haji Ramang.
“Kami tidak bisa pastikan tanah di sana apakah dijual oleh Made ataukah sudah diambil orang, saya juga tidak tahu,” ujarnya.
Ia mengatakan, hingga kini, semua dokumen termasuk dokumen tukar guling antara Made dan Dance Turuk disimpan Marsel Agot.
Editor: Petrus Dabu