ReportaseMendalamKonflik Perusahaan Gereja dan Warga Adat di Sikka, Belasan Warga Kembali Diperiksa Terkait Laporan Dua Pastor

Konflik Perusahaan Gereja dan Warga Adat di Sikka, Belasan Warga Kembali Diperiksa Terkait Laporan Dua Pastor

Pemeriksaan berlangsung di Polres Sikka selama lima hari. Warga kini berupaya meminta bantuan kepada Komnas HAM.

Floresa.co – Belasan warga adat Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai di Kabupaten Sikka kembali diperiksa polisi terkait laporan dua pastor, buntut konflik lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) antara warga dan korporasi milik Gereja Keuskupan Maumere.

Pemeriksaan terhadap enam belas warga berlangsung di Polres Sikka pada hari yang berbeda-beda, mulai 12 hingga 16 Juni, berdasarkan surat pemanggilan kedua dari Polda NTT bernomor SP-GIL/472/VI/2025/Ditirreskum.

Warga tersebut adalah Anastasya, Anton Toni, Bartol, Darius Dare, Don, Hendrikus Hemu, Ignasius Nasi dan Ignasius Soge.

Selain itu, warga lainnya adalah Kasianus Adeo Datus, Liwu, Manto, Riki Fernandez, Servasius Didimus Endi, Thomas Tapang dan Yakobus Juang. 

Pemeriksaan  tersebut merupakan tindak lanjut dari laporan polisi bernomor LP/B/53/III/2025/SPKT yang dilayangkan Romo Aloysius Ndate ke Polda NTT pada 21 Maret. 

Ndate melaporkan 15 warga atas dugaan ancaman dan intimidasi terhadap dirinya yang bertugas sebagai pastor di Nangahale pada Desember 2023.

Kala itu, terjadi ketegangan di Pastoran Nangahale usai penebangan pohon mente oleh korporasi Gereja PT Krisrama yang menurut warga berlangsung tanpa sepengetahuan mereka

Laporan lainnya diajukan Romo Ephivanius Markus Nale Rimo, direktur korporasi itu, pada hari yang sama dengan Ndate.

Epy, sapaannya, melaporkan tindak pidana penyerobotan oleh Antonius Toni, Ignasius Nasi, Leonardus Leo dan pengacara warga dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Jhon Bala. 

Pada 1 Mei, Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda NTT mengeluarkan surat panggilan pertama kepada 16 warga tersebut. 

Namun, pemanggilan yang dijadwalkan pada 9 Mei di Kantor Polda NTT di Kupang tidak dipenuhi warga. 

Mereka mengirim surat kepada penyidik pada 8 Mei, meminta klarifikasi dilakukan di wilayah yang lebih dekat dari tempat tinggal mereka, yakni di Polres Sikka atau Kantor Camat Talibura.

“Kami memiliki itikad baik untuk memenuhi panggilan tersebut. Namun, kami mengalami kendala berupa keterbatasan biaya perjalanan dan jauhnya jarak menuju Kupang,” tulis warga dalam surat itu.

“Merasa Tidak Nyaman”

“Ketika saya masuk, saya langsung dinasehati untuk tidak sembarangan menduduki tanah orang”, kata Ignasius Nasi, Ketua Suku Soge-Natarmage menceritakan perlakuan polisi saat pemeriksaan pada 12 Juni. 

“Pak polisi mengingatkan saya, jangan bodoh ikut orang”, lanjutnya.

Karena itu, ia mengaku “tidak nyaman” dengan proses penyelidikan yang berlangsung.

Ia juga menyesalkan proses tersebut karena pelaporan terhadapnya terkait kasus pengancaman dan pencemaran nama baik, tetapi polisi “selalu bertanya soal hak kami tinggal di sana.”

Hal yang sama diungkapkan Darius Dare, warga lainnya yang merasa pertanyaan polisi tidak relevan. 

Apalagi, katanya, dia tidak berada di lokasi saat terjadi peristiwa pengancaman yang dilaporkan Ndate. 

Selain dia, Hendrikus Hemu, Kasianus Adeodatus, Servasius Didimus Endi, Thomas Tapang, Bartolomeus Tona, Ignasius Soge dan Yakobus Juang juga mengaku tidak berada di lokasi saat peristiwa itu.

“Saya sedikit kesal, saya sudah katakan berulang kali bahwa saya tidak hadir saat peristiwa itu terjadi,” kata Dare.

Ia juga berkata, polisi mengancamnya dengan menunjukkan bukti rekaman video kejadian tersebut.

“Saya tidak terima ketika penyidik mengatakan saya manusia berkepala buaya, lidah ular,” lanjutnya.

Anastasya Dua, wanita berusia 57 tahun yang juga diperiksa berkata dirinya merasa “ditekan,” bukan tentang peristiwa pengancaman tetapi soal legalitas dan sejarah konflik dengan PT Krisrama. 

“Mereka tanya soal alasan kami tinggal di sana dan kenapa kami berani tinggal walaupun sudah tahu PT Krisrama memiliki SK HGU”, katanya. 

Polianus Karpus, kuasa hukum warga, berkata, pertanyaan-pertanyaan  polisi itu “tidak relevan dan terindikasi diskriminatif,” mengingat pemeriksaan sebenarnya terkait tuduhan “pengancaman dan pencemaran nama baik”. 

Menurutnya, persoalan kepemilikan tanah adalah urusan yang lain dan siapapun “tidak boleh melakukan pengancaman atau pencemaran nama baik”.

Ia juga menambahkan, terdapat asas praduga tak bersalah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sehingga “penyidik tidak bisa menghakimi terlapor dengan mengatakan mereka bodoh atau bersalah karena tinggal di sana.”

Sementara itu, terkait pelaporan oleh Epy Rimo, Polda NTT memanggil Antonius Toni, Ignasius Nasi, Leonardus Leo dan Antonius John Bala pada 29 April.

Mereka diperiksa di Kantor Camat Talibura pada 1 Mei, dengan Yakobus Juang, Hendrikus Hemu, Darius Dare dan Thomas Tapang sebagai saksi.

Terkait pemeriksaan itu, John Bala berkata mereka mengirimkan surat keberatan ke Polda NTT, yang menyatakan masa waktu pengusutan kasus itu sudah kedaluwarsa , merujuk Pasal 78 ayat 1 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Pidana karena tudingan penyerobotan terjadi pada tahun 2000 dan 2014.

Keberatan lainnya adalah konflik ini telah direkomendasikan untuk diselesaikan secara dialogis oleh Kementerian ATR/BPN sejak 2015, namun kesepakatan tak pernah dijalankan.

Konflik Berdekade

Warga Nangahale dari Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut-Tana Ai telah terlibat dalam konflik berdekade dengan PT Krisrama, yang bermula dari pengambilalihan paksa lahan mereka oleh sebuah perusahaan Belanda pada masa kolonial. 

Lahan seluas 868.730 hektare itu lalu beralih ke Keuskupan Agung Ende melalui PT. Perkebunan Kelapa Diag untuk masa kontrak selama 25 tahun hingga 2013.

Keuskupan Maumere mulai menguasainya setelah keuskupan itu didirikan pada 2005, yang lalu membentuk PT Krisrama.

Upaya warga mengklaim kembali lahan itu dimulai pada 2014. Namun, di tengah konflik dan pendudukan oleh warga, PT Krisrama kembali mengantongi perpanjangan izin HGU pada 2023.

Dari total luas lahan 868,703 hektare, 325 hektare yang diberi hak oleh negara untuk dikelola PT Krisrama. Sisanya, 543 hektare dikembalikan kepada negara, yang sebagiannya untuk warga adat.

Sengketa terus berlanjut karena wilayah HGU PT Krisrama mencakup lahan yang sudah ditempati warga adat sejak 2014, sementara lahan seluas 543 hektare disebut bagian yang tidak produktif dan ditelantarkan sejak dikelola oleh PT Diag.

Di tengah saling klaim dan pelaporan terhadap warga, korporasi itu melakukan beragam upaya penguasaan, termasuk penggusuran yang disebut “pembersihan” pada 22 Januari, di mana 120 rumah warga dan tanaman mereka hancur dan rusak.

Korporasi itu juga sempat merencanakan mobilisasi umat dari berbagai paroki di Keuskupan Maumere untuk menguasai lahan Nangahale pada 18 2025 Maret, namun gagal.

Sejumlah kelompok advokasi menganggap langkah PT Krisrama sebagai bagian dari rangkaian upaya kriminalisasi untuk menaklukkan perlawanan warga.

Editor: Anno Susabun

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

spot_img

TERKINI

BANYAK DIBACA