Floresa.co – Direktur Stasiun Pengisian Bahan Umum (SPBU) Sernaru di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat akhirnya menghadiri mediasi setelah mangkir dari panggilan Dinas Ketenagakerjaan, Transmigrasi, Koperasi dan UMKM (Disnakertrans) pada bulan lalu.
Dalam perundingan yang berlangsung pada 30 Juni itu, Vinsensius Hugeng Syafriadi, pemimpin SPBU tersebut membayarkan sebagian pesangon kepada Ferdinandus Darling dan Wilfridus Tagut.
Ferdinandus dipecat sepihak dari unit usaha PT Predicator Unitatis Mundi (PT Prundi) itu — perusahaan milik Pastor Marselinus Agot, SVD — beberapa saat usai mengalami kecelakaan kerja.
Sementara Wilfridus diberhentikan karena dituding melanggar Standar Operasional Prosedur (SOP) SPBU.
Kepala Disnakertrans Manggarai Barat, Theresia Primadona Asmon berkata, dalam perundingan tersebut, Hugeng menyatakan bersedia membayarkan pesangon dalam dua termin.
Total pesangon itu, kata dia, adalah Rp65 juta, masing-masing Rp40 juta untuk Ferdinandus, sementara Wilfridus akan memperoleh Rp25 juta.
Pembayaran termin pertama, katanya, dilakukan saat mediasi di mana Ferdinandus menerima Rp20 juta, sedangkan Wilfridus memperoleh Rp12,5 juta.
“Sisanya akan dibayarkan pada 30 Juli. Pelunasan tetap berada di bawah pengawasan dinas,” katanya kepada Floresa usai mediasi itu.
“Jika terjadi keterlambatan pembayaran, maka akan dikenai denda Rp100 ribu per hari” tambahnya.
Jumlah pesangon yang sudah dan akan dibayar itu lebih rendah dari tuntutan Ferdinandus dan Wilfridus.
Sebelumnya, perusahaan dituntut membayar hak normatif sebesar Rp97 juta untuk Ferdinandus dan Rp60 juta untuk Wilfridus.
Sintus Jemali, kuasa hukum Ferdinandus dan Wilfridus menganggap pemutusan hubungan kerja itu tidak manusiawi.
Bagaimana Duduk Perkara?
Ferdinandus telah bekerja di SPBU Sernaru sejak 27 April 2010, berdasarkan Surat Perjanjian Kerja Nomor: 57/PERUNDI/V B/2010.
Ia mengalami kecelakaan saat menjalani pekerjaannya sebagai operator SPBU itu pada 19 Februari 2022.
Kala itu, ia ditabrak mobil pikap saat sedang mengisi bahan bakar minyak.
Berbicara kepada Floresa pada 27 Juni, Sintus Jemali menyatakan akibat kecelakaan itu, kliennya mengalami retak tulang ekor dan tulang paha.
Ferdinandus, kata dia, sempat dirawat di Rumah Sakit Siloam dan harus beristirahat selama beberapa bulan untuk menjalani perawatan.
Selama dirawat di rumah sakit, katanya, manajemen SPBU tidak sedikitpun mengeluarkan biaya perawatan medis bagi Ferdinandus.
“Bahkan tidak pernah menjenguk. Kesannya perusahaan lepas tanggung jawab,” katanya.
Setelah pulih pada November 2023, Ferdinandus tiga kali menemui Hugeng, meminta agar ia kembali bekerja.
Namun, kata Sintus, permintaan itu ditolak oleh perusahaan karena posisi tersebut sudah diisi orang lain sejak Ferdinandus mengalami kecelakaan.

Sementara Wilfridus yang menjadi operator di SPBU Sernaru sejak 2008 dipecat pada 27 November 2023.
Pemecatan itu dilakukan setelah sebelumnya ia mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke jeriken konsumen, hal yang dinilai Hugeng sebagai pelanggaran terhadap SOP.
“Padahal pelanggan yang butuh BBM (diisi pakai jeriken). Kami isi sesuai arahan pengawas,” kata Wilfridus.
Atas tuduhan melanggar SOP itu, pada 16 November 2023, Hugeng meminta Wilfridus membuat pernyataan tertulis untuk tidak lagi melayani pengisian BBM dalam jeriken.
Dalam surat pernyataaan yang salinannya diperoleh Floresa, Wilfridus menyatakan, “apabila saya melanggar, saya bersedia menerima sanksi yang diberikan,” termasuk “dirumahkan.”
Kendati tidak mengulangi pelanggaran yang sama, sebelas hari kemudian, Wilfridus menerima telepon dari atasan yang menyatakan bahwa ia diberhentikan dari pekerjaannya.
“Tiba-tiba bos telpon. Dia bilang mulai hari ini kamu harus istirahat,” kata Wilfridus.
Penuhi Hak Pekerja
Kendati tak merinci, Theresia Primadona Asmon menyebut perselisihan hubungan industrial antara SPBU Sernaru dengan karyawannya bukan merupakan kasus pertama yang ditangani Disnakertrans.
Ia berkata, pemecatan sepihak tanpa memenuhi hak pekerja kerap terjadi di Labuan Bajo.
Karena itu, ia mengingatkan perusahaan agar tetap memenuhi hak-hak pekerja dan “jangan ada hal yang dilanggar.”
Ia menegaskan perusahaan wajib melakukan sosialisasi SOP sehingga “semua pekerja mengetahui peraturan itu.”
“Perusahaan tidak boleh memberikan kontrak lisan bagi pekerja, harus tertulis,” katanya.
“Kontrak kerja itu penting sebagai bukti-bukti jika suatu waktu pemberi kerja melakukan PHK,” katanya.
Theresia juga mengingatkan pekerja agar sadar dengan hak-haknya karena “kadang-kadang mereka tidak tahu kalau ada hak yang dilanggar pemberi kerja.”
Editor: Herry Kabut