Gubernur NTT yang Mewarisi Kolonialisme Intelektual

Dalam pernyataan gubernur yang meremehkan warga Poco Leok, ia secara implisit hendak menegaskan bahwa warga di kampung seharusnya tidak bisa rapi, tidak bisa berpikir logis dan tidak layak bersuara di ruang-ruang formal

Oleh: Elkelvin Wuran

Tinggal di kawasan yang dikelilingi oleh perbukitan di Kabupaten Manggarai, hari-hari warga Poco Leok sedang bergolak melawan proyek geotermal.

Perlawanan mereka tidak datang tiba-tiba. Naif untuk menganggapnya sebagai produk provokasi dadakan. 

Ini adalah perjalanan panjang yang lahir dari sejarah, pengalaman terancam kehilangan ruang hidup, serta kesadaran akan nilai tanah sebagai warisan leluhur.

Perlawanan ini diorganisir secara mandiri, dari warga, oleh warga dan untuk masa depan warga.

Mereka telah menyampaikan keresahan, ketakutan, dan harapan—dengan caranya sendiri, termasuk melalui spanduk dalam Bahasa Inggris yang Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena lihat pada 18 Juli saat ke wilayah itu.

Namun, alih-alih mendengar dengan hati terbuka, ia memilih menuduh perjuangan warga ditunggangi aktor luar, hanya karena mereka menulis spanduk protes dalam bahasa asing itu.

“Kelihatan sekali ada desain rapi di balik penolakan itu. Tulisan-tulisan pakai Bahasa Inggris yang sangat rapi, itu bukan tulisan rakyat,” demikian kata Laka Lena pada 18 Juli dalam sebuah forum di Jakarta.

Ia hadir ke Poco Leok pada 16 Juli dengan kawalan aparat bersenjata laras panjang. Warga, termasuk para perempuan berdiri bersuara, dengan spanduk penolakan, bermodalkan keberanian. 

Pemandangan itu, juga pernyataan Laka Lena setelahnya, menunjukkan bagaimana negara melihat rakyat sebagai ancaman dan gangguan.

Bahkan ketika rakyat memilih cara yang damai untuk menyampaikan sikap, mereka tetap dihadapi dengan senjata, dicurigai macam-macam.

Inilah yang disebut kekerasan simbolik: mengintimidasi tanpa bicara, menghakimi tanpa diskusi.

Setiap pemimpin tentu boleh punya perspektif. Tapi ketika perspektif itu muncul dalam bentuk tuduhan dan kecurigaan yang ditopang arogansi, ia berubah menjadi pelecehan terhadap kecerdasan kolektif rakyat.

Pernyataan Laka Lena adalah ekspresi dari logika kekuasaan yang arogan, yang tak percaya rakyat bisa berpikir, bicara dan berjuang dengan cara yang cerdas dan terorganisir.

Laka Lena mengklaim, dengan kunjungannya itu ia ingin membuka dialog. Namun dalam pernyataannya di forum elit di Jakarta itu, ia sudah menghakimi dan mengarahkan kecurigaan kepada rakyat yang ia temui hanya beberapa hari sebelumnya. 

Apakah itu bentuk dialog yang sehat? Apakah begitu cara pemimpin membangun kepercayaan?

Jika benar gubernur ingin berdialog, mengapa ia misalnya tidak mengajukan pertanyaan kepada warga secara langsung soal spanduk Bahasa Inggris itu? 

Mengapa justru melontarkan tuduhan di depan kamera dan mikrofon di Jakarta, seolah rakyat hanya wayang yang digerakkan oleh dalang asing?

Respons Tadeus Sukardin, salah satu warga yang menyatakan “Kami masyarakat Poco Leok memang berasal dari wilayah yang cukup terpencil, tetapi manusianya bukan kampungan,” bukan sekadar tanggapan emosional terhadap Laka Lena.

Ia adalah tamparan terhadap cara berpikir kekuasaan hari ini, sebagaimana diwakili Laka Lena—yang masih melihat rakyat kecil sebagai objek yang tak layak punya suara, apalagi pengetahuan.

Banyak anak muda Poco Leok menempuh pendidikan tinggi. Karena itu, benar apa yang dikatakan Servasius Masyudi Onggal, salah satu pemuda Poco Leok: “Apa yang salah kalau kami bisa Bahasa Inggris?”

Mereka membuat spanduk dalam Bahasa Inggris karena ini adalah cara menyampaikan pesan kepada dunia—terutama kepada pihak asing yang mendanai proyek ini, Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) atau Bank Pembangunan Jerman.

Dalam dunia hari ini, kemampuan menyuarakan aspirasi dalam berbagai bahasa adalah kekuatan. Sayangnya, di mata kekuasaan yang curiga, justru ini dianggap sebagai ancaman.

Kolonialisme Intelektual

Pernyataan Gubernur soal tulisan “terlalu rapi” dan berbahasa Inggris sejatinya juga bentuk kolonialisme intelektual yang masih hidup dalam narasi kekuasaan hari ini. 

Di dalamnya tersimpan cara pandang yang menghina: bahwa warga di kampung seharusnya tidak bisa rapi, tidak bisa berpikir logis, dan tidak layak bersuara di ruang-ruang formal.

Pandangan ini adalah sebuah penindasan kultural, yang mereduksi pengetahuan hanya sebagai milik elit, seolah-olah kecerdasan lahir dari ijazah, bukan dari kearifan yang bisa terbentuk lewat hidup berdampingan dengan tanah, hutan dan alam. 

Padahal, jauh sebelum republik ini berdiri, rakyat kecil telah menjadi garda terdepan dalam melawan penindasan, entah oleh kolonialisme asing maupun oleh penguasa lokal yang bersekutu dengan kepentingan pemodal. 

Kita bisa menengok kembali ke abad ke-19, ketika petani di Banten mengangkat senjata dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 melawan sistem tanam paksa dan penindasan feodal. 

Mereka bukan kaum elit. Mereka tidak memiliki pendidikan tinggi. Tapi, mereka tahu kapan saatnya melawan.

Kita juga tidak boleh lupa Perang Diponegoro (1825–1830), di mana ribuan rakyat desa, petani kecil, ulama dan kaum tani ikut serta dalam gerakan melawan dominasi kolonial Belanda. 

Ini bukan hanya perang seorang pangeran, tapi perang rakyat—perlawanan kolektif yang lahir dari penderitaan yang menumpuk dan ketidakadilan yang membusuk.

Begitu pula di Sumatera Barat, rakyat membentuk perlawanan dalam Perang Padri—sebuah konflik yang pada awalnya dilandasi oleh semangat keagamaan dan moralitas, namun kemudian meluas menjadi gerakan rakyat melawan dominasi Belanda dan elit lokal yang dianggap korup. 

Di balik semua peristiwa itu, ada benang merah yang tegas: kekuasaan yang tak berpihak kepada rakyat akan dilawan dan rakyat tak pernah tinggal diam.

Bahkan dalam era modern, setelah Indonesia merdeka, suara rakyat terus menjadi faktor penting dalam perubahan sosial-politik. 

Lihat saja reformasi 1998. Yang menggulingkan rezim otoriter Soeharto bukanlah elit politik semata, melainkan gelombang massa rakyat dan mahasiswa yang menolak penindasan, korupsi dan militerisme. 

Mereka bersuara bukan karena digerakkan dari luar, melainkan karena kesadaran kolektif dan keyakinan bahwa Indonesia layak diperjuangkan.

Penting untuk disadari bahwa semua momen penting dalam sejarah nasional itu dimulai dari satu hal sederhana: keberanian rakyat biasa untuk mengatakan “tidak.”

Keberanian untuk menolak kebijakan yang tak adil dan kekuatan untuk bersatu dalam menghadapi kekuasaan yang merendahkan mereka.

Jadi, saat Gubernur NTT mencurigai spanduk Bahasa Inggris sebagai “tanda ditunggangi,” sesungguhnya ia sedang mengabaikan pelajaran sejarah bangsanya sendiri. 

Ia gagal membaca sejarah bangsa ini dengan jujur. Ia lupa bahwa republik ini berdiri bukan karena elit, melainkan karena rakyat kecil yang berani melawan ketika hak-haknya diinjak.

Poco Leok adalah kelanjutan dari tradisi panjang perlawanan rakyat. Yang berbeda hanyalah bentuk dan bahasanya—dulu lewat keris dan bambu runcing, sekarang lewat spanduk dan Bahasa Inggris. 

Namun, semangatnya sama: mempertahankan martabat, tanah dan masa depan.

Poco Leok juga bukan gerakan yang kecil. Ia bagian dari Indonesia yang besar—Indonesia yang pantas diperjuangkan, bukan diabaikan.

Perlawanan warga Poco Leok adalah cermin dari martabat rakyat kecil yang tahu apa yang mereka perjuangkan.

Mereka butuh pengakuan bahwa mereka juga manusia yang bisa berpikir, menulis, dan mencintai tanahnya dengan cara yang mulia.

Pemerintah boleh bicara soal ketahanan energi nasional, proyek strategis, bahkan tentang Indonesia Emas. 

Tapi semua jargon itu tidak akan bermakna jika mengorbankan ruang hidup masyarakat lokal. 

Jika rakyat menolak, maka negara wajib menghormati. Jika perlu dialog, maka lakukanlah tanpa prasangka.

Kita punya prinsip Free, Prior, Informed Consent (FPIC) dalam hukum internasional—persetujuan bebas, didahului informasi dan dilakukan dengan sadar. 

Prinsip ini bukan sekadar prosedur, melainkan bentuk penghargaan terhadap hak dasar masyarakat adat untuk menentukan nasibnya sendiri.

Hari ini, suara warga Poco Leok bukan hanya jeritan dari kampung terpencil. Ia adalah refleksi dari bagaimana kekuasaan memperlakukan suara secara berbeda. 

Kalau pemerintah sungguh ingin melayani rakyat, maka belajarlah mendengar dengan rendah hati, bukan curiga dengan penuh arogansi.

Kalau proyek geotermal benar-benar bermanfaat, yakinkan warga dengan bukti dan penghormatan. 

Namun, jika warga tetap menolak, jangan paksa. Jangan ganti ruang hidup mereka dengan luka yang akan diwariskan turun-temurun.

Kita seharusnya mengambil bagian, berdiri bersama mereka yang rentan, yang tengah menghadapi kekuasaan dengan segala perangkatnya untuk menindas.

Elkelvin Wuran adalah jurnalis Floresa

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING