Keputusan Instan Bupati Lembata soal Geotermal, Melawan Rakyat Demi Kekuasaan?

Bupati Lembata mesti sadar bahwa sesuatu yang keluar dari mulutnya akan berpengaruh besar terhadap masyarakat di lingkar proyek. Mereka adalah para petani yang pernah terbius dengan janji kampanye saat pilkada.

Oleh: Antonius Rian

Uskup Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung telah secara terbuka menyatakan penolakan terhadap proyek geotermal di wilayahnya yang mencakup Kabupaten Flores Timur dan Lembata.

Sikap itu yang disampaikan pada 1 Juni sejalan dengan pernyataan para Uskup se-daratan Flores dan Bali pada Maret, menyebut proyek itu tidak sesuai dengan kondisi fisik dan sosial Pulau Flores dan kepulauan sekitarnya. Uskup Fransiskus juga ikut meneken pernyataan itu.

Namun, sikap berbeda ditunjukkan Bupati Lembata, Petrus Kanisius Tuaq yang justru menyatakan dukungannya terhadap proyek geotermal. Salah satunya berlokasi di wilayahnya di Desa Atakore, Kecamatan Atadei.

Dalam audiensi dengan PT PLN Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara pada 13 Maret, Bupati Tuaq dengan tegas mengklaim proyek ini ramah lingkungan. Wakil Bupati Muhamad Nasir juga turut memberikan dukungan serupa.

Sayangnya, dukungan itu muncul instan, tanpa riset memadai tentang konteks sosial budaya dan potensi konflik horizontal yang bisa timbul di wilayah itu. Mereka begitu enteng, seolah-olah masyarakat di lokasi terdampak tidak gelisah dengan kehadiran proyek raksasa ini. 

Khawatir Kehilangan Lahan hingga Takut Bencana 

Pada 22 Mei, warga Desa Atakore telah mengirim surat protes kepada Bupati Lembata merespons pernyataannya.

Secara ringkas, isinya menegaskan lima hal, yakni minimnya sosialisasi dan pengabaian partisipasi warga, ancaman serius terhadap lingkungan dan keselamatan alam, krisis air bersih dan dampak kesehatan, tekanan psikologis dan ketidakadilan terhadap pemilik lahan dan pelanggaran terhadap hak adat dan nilai kultural. 

Protes tersebut tentu bukan yang pertama dilayangkan warga.

Sebagaimana yang pernah dipublikasi Floresa, dalam pernyataan sebelumnya, penolakan warga Atakore merujuk pada kekhawatiran hilangnya lahan pertanian, sumber air hingga rusaknya situs budaya yang biasa disebut Ina Kar. Tempat yang biasanya jadi ritual adat itu berada persis di titik yang rencananya akan dibor.

Petrus Ata Tukan, salah satu tokoh adat di Desa Atakore misalnya khawatir ritual syukuran panen Ploe Kwar di Ina Kar “sewaktu-waktu bisa punah akibat proyek geotermal.”

Terkait sumber air, Petrus yang tegas menolak menjual tanah kepada PT PLN beralasan “air bertalian dengan setiap tahap hidup warga adat setempat, mulai dari kelahiran hingga kematian.”

Dalam konteks kebencanaan, kita perlu mengenang bencana yang memakan banyak korban jiwa yakni Waiteba, Kecamatan Atadei. Bencana yang terjadi pada Juli 1979 itu dipicu longsor dan sapuan gelombang pasang setinggi 50 meter. Dampaknya 539 orang tewas, 364 orang hilang dan 470 orang lainnya menderita luka-luka.

Jauh sebelum itu, nenek moyang sebagian orang Lembata juga mengalami bencana di Pulau Lapang dan Batang yang letaknya di timur Lembata. Ada juga cerita bencana Awololong, banjir dan gunung meletus. 

Cerita-cerita kebencanaan, baik yang ada dalam tuturan lisan maupun yang dirasakan langsung oleh warga Lembata saat ini serentak melahirkan trauma.

Karena itu, setiap proyek pembangunan modern yang dilakukan dengan cara mengeksploitasi alam, termasuk geotermal, akan melahirkan kegelisahan psikologis.

Alasan berikut yang membuat warga Atadei menolak proyek ini adalah pengalaman warga di wilayah Flores lainnya, di antaranya Ulumbu di Manggarai, Mataloko di Ngada dan Sokoria di Ende yang telah merasakan dampak buruk geotermal.

Bahkan di tempat lainnya di Indonesia, seperti Dieng di Pulau Jawa dan Mandailing Natal serta Sarulla di Pulau Sumatera, ada warga yang harus meninggal dunia akibat gas beracun. 

Poin-poin penolakan warga itu mendorong Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena membentuk satuan tugas atau Satgas yang menginvestigasi situasi di lokasi polemik geotermal di Flores-Lembata. 

Sayangnya anggota Satgas itu adalah orang-orang yang mendukung geotermal. Hasilnya, Satgas datang ke lokasi bukan untuk mencari akar persoalan, melainkan mensosialisasikan dampak positif geotermal. Hal itu juga yang terjadi ketika Satgas itu berkunjung ke Lembata pada 21 Mei.

Lantas, dari informasi-informasi buruk seperti ini, apakah sikap Bupati dan Wakil Bupati Lembata bisa kita terima sebagai keputusan yang bijaksana?

Saya mencurigai bahwa dukungan tersebut didasarkan pada penerimaan begitu saja terhadap narasi-narasi besar tentang geotermal, yakni energi hijau, aman dan seterusnya.

Sikap ini juga patut diduga dalam rangka menjaga relasi politik mereka dengan Jakarta, demi terus mengamankan kekuasaan.

Melawan Rakyat 

Bagi saya, sikap keduanya ironis, karena slogan utama mereka saat kampanye pilkada tahun lalu adalah ‘Tani, Ternak dan Nelayan’. 

Lantas, apakah dua sosok pemimpin ini sudah mendengarkan keluhan petani di sekitar lokasi proyek? Apakah keduanya sadar bahwa membiarkan warga menjual tanah untuk proyek geotermal akan berdampak pada berkurangnya lahan pertanian di kemudian hari?

Tanpa riset dan diskusi yang adil dengan masyarakat, dukungan bupati dan wakil bupati adalah bentuk penyalahgunaan wewenang, sembari  mengorbankan masyarakat sebagai subyek pembangunan.

Proyek geotermal Atadei muncul dalam rencana pemerintah pusat melalui Surat Direktur Jenderal Mineral, Batu Bara dan Panas Bumi Nomor 1580/06/DJB/2008. PT PLN telah mendapat izin prinsip dari Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada 27 November 2020, dengan luas lahan yang menjadi lokasi proyek 31.200 hektare.

Hal ini menunjukkan bahwa keputusan soal proyek ini datang dari atas, bukan lahir dari diskursus terbuka dan partisipatif dengan masyarakat akar rumput sebagai pemilik lahan.

Karena itu, seharusnya Bupati Lembata lebih hati-hati memberikan keputusan. Memang, saat ini kita belum melihat dampak kerusakan yang terjadi akibat proyek itu di Lembata karena belum dikerjakan. Namun dari pengalaman kerusakan di berbagai tempat lain, kita seharusnya terbantu untuk mencurigai cara kerja yang penuh manipulasi, rahasia dan terburu-buru.

Oleh karena itu, Bupati Lembata perlu memberi klarifikasi lanjutan soal keputusannya dan merespons suara-suara protes warganya agar publik merasa mempunyai pemimpin yang mampu mendengarkan aspirasi. 

Bupati Lembata mesti sadar bahwa sesuatu yang keluar dari mulutnya akan berpengaruh besar terhadap masyarakat di lingkar proyek. Mereka adalah para petani yang pernah terbius dengan janji kampanye saat pilkada.

Masyarakat yang sedang terlibat pro-kontra mestinya didatangi, didengarkan dan dirangkul untuk kemudian diajak bicara.

Pemimpin hadir agar masyarakat tidak gelisah, bukan bersikap dan mengambil keputusan sendiri di ruang nyaman tanpa melihat bahwa di luar gedung mewah banyak warga yang sedang berteriak dan cemas dengan hidup mereka.

Investasi apapun bentuknya harus dilalui dengan sosialisasi yang adil, jujur dan berimbang agar seluruh lapisan masyarakat memahami dampak baik dan buruk dari setiap proyek. 

Saya juga berharap Bupati Lembata mampu membaca peta sejarah kabupaten ini. Beberapa tahun silam, warga Kedang dan Leragere melakukan demonstrasi besar-besaran menolak proyek pertambangan. Kita akan lihat apa yang bakal terjadi jika proyek geotermal yang juga ditentang warga ini tetap dipaksakan.

Antonius Rian adalah warga Lembata

Editor: Anno Susabun


DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING